Menyelaraskan Personal Branding dan Relasi

Tulisan ini adalah hasil nongkrong saya dengan teman berbeda di momen yang berbeda. Tongkrongan pertama bermula saat saya mengembalikan kunci motor seorang teman, lalu ngobrol hingga membahas tentang masa depan. Tongkrongan kedua di waktu buka puasa bersama, masih bercerita tentang kelanjutan studi ke depan (sama aja masa depan, sih!). Kedua momen tersebut memang terjadi berdekatan. Namun, setelah berkontemplasi dalam mimpi dan renungan sambil berak, ada hal penting yang bisa saya ambil dari kedua tongkrongan tersebut. 

Bukan soal masa depan. Setiap orang punya masa depannya masing-masing yang menurut saya tidak perlu dibandingkan. Ada yang mau lanjut kuliah lagi, ada yang mau membuka bisnis, itu terserah masing-masing. Saya tidak mau membahas pilihan orang lain yang sama-sama baik. Yang ingin saya bahas adalah jalan menuju masa depan itu sendiri: Yakni membangun personal branding dan relasi.

Tulisan ini bukanlah tulisan dari seorang pakar bisnis atau tetek bengeknya. Ini adalah opini murni hasil renungan pribadi. Jadi, tulisan ini terbuka untuk diskusi. Silakan didiskusikan sekiranya perlu didiskusikan.

Personal branding adalah penting ketika kita memulai usaha di samping niat dan tekad yang kuat, usaha apapun itu! Personal branding penting karena dengannya lah kita mampu mengenalkan usaha kita lebih luas. Awalnya kita dikenal dulu aja, kira-kira begitulah kata teman saya. Bahkan, dia mengatakan kalau memulai usaha dari awal itu salah! Saya sendiri punya pendapat agak lain. Tidak salah jika ia mengatakan demikian, akan tetapi personal branding-lah yang menjadi langkah awal.

Personal Branding sebagai Langkah Awal

Personal branding adalah proses yang dilakukan seseorang dalam mempertahankan dan mempromosikan jati diri seseorang. Personal branding bisa diartikan sebagai bagaimana cara kita mengenalkan diri kita kepada khalayak ramai.

Adalah hal wajar apabila seseorang suka dikenal eksistensinya. Rasa dikenal orang akan menimbulkan perasaan suka diakui, lebih jauh lagi sampai dipuji orang lain. Apalagi di era milenial, generasinya lebih fokus kepada eksistensi diri daripada sekadar materi.

Hati senang walaupun tak punya uang.

Kira-kira lirik lagu itulah yang cukup mewakili. Orang zaman sekarang lebih mendahulukan eksis di media sosial. Makanya tidak heran ada beberapa orang yang mengorbankan rasa malu demi dikenal di dunia maya.

Ada hal yang lebih penting dari proses tersebut; yakni apa yang akan kita perkenalkan kepada orang lain. Maksudnya adalah kita mengenalkan diri dengan karakter kita. Karakter itulah yang menciptakan persepsi bagaimana orang lain menilai kita. Dengan mengenal karakter, seseorang bisa menilai dan memutuskan untuk bekerjasama atau mempromosikan kita ke jenjang yang lebih tinggi. Kita ingin dikenal sebagai apa, nih? Apakah sebagai orang yang pekerja keras, kreatif, tekun atau yang laun. Nah, mengenalkan karakter kita juga adalah salah satu personal branding!

Banyak jalan untuk melakukan personal branding. Hal determinan pertama adalah menentukan siapa kita. Kita perlu mengetahui diri kita terlebih dahulu. Proses ini perlu banyak-banyak introspeksi diri, apa kelebihan dan kekurangan kita, apa tujuan personal branding kita, skill apa yang bisa kita tunjukkan, apa kontribusi untuk masyarakat dsb. Jika kita sudah bisa menentukan, kita pun bisa mengenal diri kita hingga bisa menjelaskannya kepada orang lain. 

Orang yang punya jati diri adalah orang yang tahu diri.

Ada seorang teman yang curhat karena dia bingung bagaimana meneruskan kehidupan setelah wisuda. Dia dilema antara melanjutkan studi atau berwirausaha. Ia minder untuk melanjutkan program pascasarjana karena dia merasa dia tidak terlalu baik dalam akademik, sedangkan berwirausaha pun belum punya modal. Dalam curhatannya, ia mengaku bahwa akademiknya pas-pasan karena waktunya sebagian tersita untuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Buat saya, itu bukan masalah! Kegiatannya di UKM pun sudah bisa menjadi nilai lebih untuk pengenalan dirinya. Keorganisasian dan skill yang diasah selama beraktivitas di UKM merupakan modalnya. Kalau mau dikembangkan, perlulah kiranya untuk mempertanyakan lagi sumbangsih apa yang bisa diberikan dari apa yang telah digeluti di UKM-nya. Apabila ada kurang, baiknya ditingkatkan lagi.

Ada pula yang berujar kalau lulusan pesantren tidak kalah dalam pengembangan citra diri. Kemampuan berbahasa bisa menjadi bekal utamanya. Dari kemampuan tersebut, alumni pesantren bisa mencari penghidupannya dengan mengajar bahasa asing di tempat tinggalnya. Dihitung-hitung, penghasilannya bisa dibilang lumayan apalagi kalau lingkungannya masih jarang orang yang bisa berbahasa asing. Tinggal melengkapi diri dengan kemampuan lain dan mempelajari kondisi sosial di sekitarnya agar dapat diterima oleh masyarakat.

Sekolah untuk Membangun Relasi

Masa pendidikan di sekolah merupakan masa membentuk jati diri. Sekolah adalah tempat belajar berbagai macam pengetahuan. Sekolah juga salah satu miniatur kehidupan bermasyarakat di mana siswa berlatih tata krama, bagaimana menghormati guru dan siswa lebih tua, teman sesama, dan adik kelas. Selain itu, sekolah merupakan tempat pengembangan diri siswa dengan kehidupan kurikuler dan ekstrakurikuler yang ada. Sarana prasarana sekolah pun dirancang untuk menunjang pendidikan.

ternyata, sekolah memiliki fungsi yang lebih dari itu! Sekolah juga merupakan wadah untuk mencari dan membangun relasi. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, ia adalah miniatur masyarakat. Ia sengaja didesain untuk menciptakan siswanya siap menghadapi masyarakat sebenarnya. Beberapa sekolah selalu menggaungkan jargon “Siap kuliah, Siap kerja!” Itu mungkin harapan agar lulusannya mampu melanjutkan masa depannya dengan kuliah dan bekerja di manapun. Sekolah pun membekali siswanya dengan berbagai keterampilan demi pencapaian itu. Akan tetapi, ada lagi yang lebih penting, yaitu bagaimana agar mereka mampu hidup bermasyarakat dalam dunia kerjanya. Maka, disiapkan pula tata krama dan tata laku yang harus ditaati siswa dalam kehidupan di sekolah.

Bagaimana sekolah bisa menjadi alat membangun relasi?

Sekolah dapat membangun relasi dari dua hal. Pertama, relasi bisa didapatkan dari branding sekolah berasal. Sudah lumrah di kalangan kita bahwa lulusan dari sekolah-sekolah unggulan mampu menciptakan masa depannya lebih cerah. Bisa berkuliah di luar negeri, kerja di perusahaan bergengsi, dapat promosi ke jenjang yang lebih tinggi, itulah contohnya.

Saya bukan ingin membesar-besarkan sekolah favorit atau mendiskreditkan sekolah yang bukan sekolah favorit, tapi itulah realita yang terjadi di masyarakat saat ini. Orang tua pun menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah berlabel favorit agar anak berprestasi dan berprestise lebih daripada bersekolah di sekolah biasa. Akibatnya, teuntu ada kesenjangan antara siswa dari sekolah favorit dan sekolah non-favorit. Seakan-akan, sekolah favorit berisi murid-murid kaya dan berprestasi tinggi dan sekolah non-favorit berisikan murid yang kurang berprestasi. Jangankan buat mencarikan memfasilitasi prestasi, untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar saja kesusahan?!

kedua, oran yang belajar dengan merantau dapat memiliki relasi lebih luas. Dengan mengenal teman dari latar belakang yang berbeda, kita dapat mengerti warna-warna orang dari berbagai daerah. Selain itu, ada pengalaman tersendiri ketika hidup di rantau orang. Sebagai perantau, kita harus bertahan hidup dengan suasana berbeda dari yang ada di rumah. Mau tidak mau kita harus berhubungan baik dengan orang-orang baru di sekitar kita dan saling membantu mereka, sebagai saudara senasib seperantauan sepenanggungan. Pengalaman ini yang membentuk hubungan lebih baik dibandingkan jika menetap di tempat tinggal sendiri. Selain mendapat ilmu pengetahuan, pelajaran hidup dan relasi pun didapatkan.

Terkadang, bersekolah di perantauan lebih diperhitungkan di masyarakat. Kita sering mendengar komentar “Wah, lulusan pesantren mana, nih?” “Masnya kuliah di mana?” atau sebangsanya. Terlebih jika kita hidup di masyarakat rural yang mayoritas tinggal di desa sendiri (hal ini pun agaknya sudah berubah mengingat kesempatan anak muda untuk merantau lebih besar). Masyarakat tentu akan memperhitungkan warganya yang kembali dari perantauan, lalu memanfaatkan mereka untuk berbagai keperluan karena dianggap lebih canggih dan berpengetahuan lebih luas.

Tentu saja hal ini perlu diimbangi dengan sejauh mana kemampuan kita. Siapkah kita untuk kembali? Sudah cukupkah bekal kita yang akan dibawa ke masyarakat? Hal yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat adalah apa yang bisa disumbangkan kepada masyarakat kelak. terlepas apa dan bagaimana kita belajar di luar sana. Oleh karenanya, kita perlu membekali sebelum kembali ke masyarakat. Jangan sampai kita mengecewakan keluarga karena merantau tanpa hasil berarti. Akhirnya, ia akan merusak nama baik kita, almamater, serta dapat memperburuk hubungan baik kita karena tidak dipercaya oleh orang lain.

Pada akhirnya, kita pun perlu memperbaiki diri serta membangun relasi baik dengan orang lain. Bukan maksud mencari muka, namun agar kepercayaan terbangun di antara sesama. Kalau rasa kepercayaan sudah terbangun, bukan tidak mungkin hubungan kita dengan siapapun akan terjaga. Dengan terjaganya hubungan baik, kesuksesan pun akan mampu dicapai.

Wallahu a’lam

Marketing vector created by freepik - www.freepik.com

Posting Komentar

8 Komentar

  1. Betul, personal branding harus dibangun sejak dini. Bahkan semenjak di bangku sekolah. Harapannya, setelah lulus sekolah langsung bisa masuk dunia kerja dengan sentimen positif dari masyarakat.

    #updateblog
    Saya kira kunci keberhasilan di tengah berbagai macam kesibukan adalah pengelolaan waktu. Pengelolaan waktu dilakukan dengan penataan kegiatan. Kegiatan ditata atau diatur sesuai ukuran prioritas.

    https://www.rahmahuda.com/2021/05/kunci-keberhasilan-ada-dalam.html

    BalasHapus
  2. #updateblog
    Saya kira kunci keberhasilan di tengah berbagai macam kesibukan adalah pengelolaan waktu. Pengelolaan waktu dilakukan dengan penataan kegiatan. Kegiatan ditata atau diatur sesuai ukuran prioritas.

    https://www.rahmahuda.com/2021/05/kunci-keberhasilan-ada-dalam.html

    BalasHapus
  3. Setuju dengan tulisan ini mas, karena saya sendiri juga seorang perantau, asli Jogja, tetapi sekarang berdomisili di Sulawesi Tenggara. Susahnya ya jauh dari orang tua, tidak setiap saat bisa bersilaturahmi langsung ke sana. Tapi, ya, enaknya bisa kenal banyak orang baru di sini, dengan suku yang berbeda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, malah kebalik, ya! Biasanya orang Sulawesi yang merantau ke Jawa! Semoga selalu berkah di perantauan

      Hapus
  4. membangun branding personal kudu disiapkan dari masa masa sekolah ya. Dan ini memang bener menurutku, karena kalau dari sekolah udah "malas-malasan" kayaknya ke depannya juga ga bakalan termindset pikiran buat maju

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Makanya ada ungkapan "masa depanmu dimulai hari ini." Itu maksudnya bagaimana kita harus menyiapkan masa depan mulai hari ini.

      Hapus