2020, Tahun untuk Bertahan

2020 tahun bertahan

Tahun 2020 sudah berlalu. Ia meninggalkan kesan mendalam bagi semua orang. Semua berubah, semua berbeda. Dulu yang bisa begini begitu, di tahun 2020 tak bisa lagi. Banyak pula yang akhirnya harus membubarkan diri karena tak kuat menahan gempuran keadaan.

Akar penyebabnya hanya satu, virus Corona! Virus yang terdeteksi di akhir tahun 2019 di China ini menyebar dengan cepat di seluruh dunia. Ia pun merambah Indonesia akhirnya pada Maret 2020 setelah berbagai upaya defensif dilakukan, mulai dari pengecekan suhu tubuh di setiap titik masuk, sampai upaya kocak pun dilakukan, salah satunya meluncurkan kalung anti corona. Entah apa efeknya, yang penting usaha dulu.

Karena wabah ini pula Indonesia harus pontang-panting menangani pasien. Rumah sakit kewalahan menampung pasien. Berapa mobil ambulans harus berseliweran di jalanan untuk mengantar mereka yang sakit atau yang sudah meregang nyawa. Tenaga kesehatan harus berlelah-lelah melayani pasien sampai ada yang mengorbankan nyawa. Sampai 700 ribuan kasus terjadi, belum ada vaksin atau obat ampuh yang bisa menyembuhkan penyakit ini.


Tidak hanya masalah kesehatan, Covid-19 berimbas kepada perubahan pola sosial dan ekonomi negara. Orang-orang lebih memilih belanja secara daring dibandingkan di belanja di pusat perbelanjaan. Paling-paling, belanja di warung tetangga jadi solusi. Ke pasar jadi opsi darurat kalau kebutuhan di warung tidak dapat tercukupi. 

Bagi sebagian orang, tahun 2020 ini penuh dengan ketakutan. Takut keluar rumah, takut bekerja, takut sebagainya. Tahun ini pula, kita waspada. Waspada terhadap ancaman penyebaran, waspada terhadap ancaman keamanan karena lesunya ekonomi akibat pandemi, waspada terhadap fitnah-fitnah akibat wabah.

Bagi saya, ada beberapa perubahan yang terjadi dalam hidup saya di tahun 2020. Saya harus mampu bertahan hidup dari serangan virus. Sebisa mungkin saya menghindari sakit agar tidak dikira kena virus Corona. Kan berabe kalau kena beneran, bisa-bisa satu lingkungan bisa tertular! Adapun usaha saya untuk tetap survive adalah menjaga kesehatan, tetap stay di kampus, mengenakan masker ke mana-mana, dan berolahraga.

Tulisan saya ini terinspirasi dari tulisannya mas Anjas Permata di Kompasiana yang berjudul 2020: Tahun Transformer!

Di Kampus Aja

senja di UNIDA Gontor
Menikmati senja di lapangan bola

Sebenarnya saya tidak ada masalah ketika harus bermukim lama-lama di kampus, bahkan bisa dibilang betah. Akan tetapi, bermukim dalam kondisi serba tidak aman karena Covid-19 juga mengerikan. Serba dilema dalam kondisi seperti ini, mau jalan-jalan takut ketularan, mau di rumah bosan!

Dulu, kalau bosan dengan kerjaan kampus, saya bisa dan sempat buat refreshing, Minimal sepedaan atau berangkat ke kolam renang. Kalau ada teman, kami bisa berangkat ke telaga Ngebel. Atau bahkan bisa ngambil jatah buat nyepur di Malang. Pokoknya, asal ada uang dan waktunya mendukung, ayolah jalan-jalan.

Namun, Covid-19 mengikis kesempatan refreshing saya. Ketika awal pandemi, saya jarang keluar kamar. Lama-lama, akhirnya bosan dan perlu juga buat pergi keluar. Ya udah, keluar kalau ada yang perlu misalnya belanja. 

Bukan cuma bepergian, beranjak dari kamar pun jarang. Dari dulu saya memang orang yang jarang ke manapun kalau tidak perlu, kadang sampai mager. Paling-paling pergi sebentar untuk makan. Kadang-kadang juga patroli ke asrama-asrama mahasiswa sebentar lalu balik lagi. Saking jarang keluar kamar, saya sering ditanya orang-orang, “Kamu ke mana aja, lid?” Mereka sepertinya heran saya hampir tidak pernah keluar kamar. Yah, daripada keluar tanpa keperluan, mending mengerjakan segala sesuatu di kamar saja selagi mampu.

Tidak Bisa Pulang


Tahun 2020 ini saya tidak bisa pulang ke rumah keluarga di Bogor. Saya terakhir melakukannya pada bulan Februari-Maret 2020. Tujuannya waktu itu untuk mengurus vaksinasi guna umroh sekeluarga (Rencananya berangkat bulan Ramadhan lalu. Qodarullah batal karena Covid-19). Alhamdulillah, saya tidak cuma menyelesaikan itu, namun juga bisa jalan-jalan dan reuni teman-teman lama yang masih tinggal di Jabodetabek. Jadi, meski tidak sempat pulang, selisihnya tidak lama sehingga saya tidak dikatain Bang Toyib, paling-paling ibu dan adik saya ditanya anak tetangga yang bingung, kenapa kak Ian gak pulang-pulang. 

Akan tetapi, sekembalinya ke Ponorogo, babak baru dalam drama kehidupan terjadi. Kira-kira dua pekan setelah kembali ke Ponorogo, keluar berita yang mengumumkan kasus pertama corona di Indonesia. Setelah kasus itu, pemerintah masih mengeluarkan beberapa pernyataan pers dan belum menginstruksikan adanya PSBB, karantina wilayah, atau apapun istilahnya.

Setelah sebulan berjalan, tepatnya di bulan April. Pemerintah baru mengeluarkan kebijakan PSBB, Jakarta yang menjadi wilayah pertama. Setelah itu, barulah daerah-daerah lain menyusul. Perbatasan-perbatasan antar kota dan antar provinsi dijaga ketat. Bahkan ada pula yang menutup total akses masuk seperti Tegal. Melihat itu, saya berpikir lebih baik menunda kepulangan saya untuk berlebaran bersama keluarga. 

Bulan Ramadhan berlalu, keluar larangan mudik lebaran. Ya sudah, mukim saja di kampus sampai lebaran. Tapi, justru ada kebahagiaan tersendiri ketika melakoni masa-masa mukim di sini. Masih ada beberapa mahasiswa dan staf yang tidak pulang, di antara sebabnya menyelesaikan skripsinya, rumahnya termasuk zona rawan, atau memang tidak mampu pulang lantaran kurang biaya. Bersama merekalah saya menikmati masa-masa libur di kampus. Mulai dari sahur sampai shalat tarawih. Berburu takjil pun kadang-kadang kami lakukan. Meskipun ada beberapa tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan, saya masih bisa enjoy karena masih bisa dikerjakan di tempat yang pas. Coba kalau pulang dan diberi tugas dari kantor, mood-nya enggak akan seperti ketika kerja di kampus.

lebaran di Unida Gontor
Bersama teman-teman staf Unida Gontor dan Dekan Fakultas Ushuluddin, Ust. Syamsul Hadi Untung, M.A,. M.L.S.


Saat Idul Fitri tiba, kami semua yang bermukim di kampus melaksanakan sholat Idul Fitri. Setelahnya, keluarga besar dosen-dosen yang tinggal di kampus menggelar open house bersama. Para dosen yang bertempat tinggal di dalam kampus membawakan hidangan dari rumah masing-masing dan mengumpulkannya di taman di samping Gedung Utama untuk dinikmati bersama. Rata-rata, para hadirin adalah dosen dan keluarga yang tidak mudik dan staf-staf pengabdian. Kami menikmati hidangan pagi sambil bercengkrama lepas lalu foto-foto. Acara dimulai dari setelah sholat ‘Ied sampai matahari menyengat, kira-kira pukul 9.

Akan tetapi, masa libur lebaran kami tidaklah lama. Kami harus menyiapkan kedatangan mahasiswa pasca liburan. Beberapa kali rapat dilakukan, segala persiapan harus dirancang matang-matang. Bahkan terkadang harus begadang untuk persiapan. Belum lagi harus merekrut mahasiswa yang siap membantu. Alhamdulillah, dengan berbagai usaha dan doa penyambutan mahasiswa dapat dilaksanakan.

Masker ke Mana-Mana

Menyikapi pandemi Covid-19 yang semakin menjadi, pemerintah memberlakukan kebijakan 3M. yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Masker untuk saat ini telah menjadi kebutuhan setiap orang, sampai pernah harganya meroket akibat ulah oknum nakal yang menimbun atau menaikkan seenak udel. Penggunaannya pun wajib bahkan berlaku sanksi bagi pelanggarnya. Dari push-up, sanksi sosial sampai denda pernah diberlakukan. Akan tetapi, masih ada sebagian orang yang abai dengan ini, entah apa alasannya.

Begitu pula yang ada di UNIDA Gontor. Kampus mewajibkan masker bagi setiap penghuninya. Tentunya hal ini untuk menjaga keselamatan dan kesehatan semua civitas academica. Tidak hanya mewajibkan, UNIDA juga menyediakan masker, mulai dari yang diperjualbelikan di minimarket atau dibagikan secara cuma-cuma. Alhamdulillah, beberapa kali kami menerima bantuan dari berbagai pihak sehingga masker pun bisa dicukupi.

Secara pribadi, saya sudah terbiasa mengenakan masker. Saya menggunakannya ketika bepergian ke luar rumah. Kalau untuk sekedar ke masjid atau ke komplek sebelah, saya tidak pernah memakainya. Namun, karena corona, mau tidak harus bermasker ke mana-mana. Keluar kamar pun harus pakai masker. Awalnya sih suka lupa-lupa ingat, tapi pernah suatu waktu ayah mengultimatum saya lewat telpon “Kak, keluar asrama pakai masker!” 

Setelah peringatan tersebut, saya pun rajin pakai masker ke mana-mana. Agar stok masker tercukupi, saya membeli masker kain agak banyak. Tinggal cari yang murah meriah, bisa dapat dua masker sekali beli. Saya memilih masker kain agar hemat. Masker kain bisa digunakan hingga 4 jam atau lebih tergantung bahan. Setelah dipakai, masker bisa dicuci dan disimpan untuk digunakan lagi. Tentu saja harus punya banyak agar bisa gonta-ganti. Ini bisa menghemat pengeluaran daripada menggunakan masker medis yang sekali pakai, buang, lalu beli lagi.

Awalnya agak sesak kalau jalan kaki pakai masker, namun lama-lama terbiasa juga. Yang paling nggak enak kalau harus naik tangga, sampai tujuan pasti ngos-ngosan. Sama juga kalau saya mau mengobrol dengan orang, kadang obrolan harus terhenti karena engap dan harus buka masker. Saya termasuk orang yang kadang berbicara dengan cepat macam rapper. Kondisi ini menyulitkan kalau harus bermasker. Lepas dulu, baru bisa ngobrol.

Menjaga Kesehatan

Virus Corona bisa menyerang siapapun. Bagi yang memiliki imunitas tubuh yang cukup baik, mungkin tidak ada gejala-gejala yang terlihat bahkan ada istilah Orang Tanpa Gejala (OTG). Namun, imun tubuh tidak dapat diprediksi, kapan ia menguat kapan ia melemah. Kita tidak tahu kapan kita imun kita kuat. Yang kita bisa lakukan adalah menjaga kesehatan dan kekuatan imunitas tubuh kita.

Secara pribadi, saya menjaga kesehatan diri dengan mengusahakan makan sehat. Makanan sehat dan bergizi menambah asupan nutrisi yang baik untuk tubuh. Saya akhirnay berusaha untuk jangan sampai tidak makan. Dapur yang disediakan kampus sudah sangat cukup bagi saya. Kalau ada sedikit rejeki, saya membeli beberapa lauk yang ada di kantin. Atau kalau memang kehabisan, harus makan di kantin atau keluar buat cari makan. Pkoknya jangan sampai tidak makan!

Selain makan, saya menambah nutrisi dengan mengonsumsi suplemen. Alhamdulillah, kampus menyediakan beberapa suplemen seperti Vitamin C. Ketika ada stok vitamin, saya berusaha untuk memaksimalkannya sebaik mungkin. Bahkan, kantor saya pernah menyediakan madu untuk para stafnya. Saya pun memanfaatkannya dengan minum air hangat dicampur madu setiap bangun tidur. Minum air hangat dicampur dengan madu mempunyai banyak manfaat, seperti membantu masalah pencernaan, menurunkan berat badan, dan mencegah penyakit menular karena ia merupakan antimikroba.

Syukurnya, keluarga saya juga menganjurkan untuk mengonsumsi vitamin. Bahkan, ibu saya menyediakan stok vitamin dan habbatussauda'. Setiap mengunjungi saya, ibu membelikannya di apotek. Pesan ibu memang harus dituruti untuk kebaikan diri, seperti Jingle-nya Padi, band favorit saya

Menghibur Diri dengan Hobi

Menghibur dengan bersepeda


Semakin bosan dengan lockdown, saya pun memutuskan untuk menghibur diri. Sebenarnya banyak cara yang sudah saya lakukan untuk mengusir kebosanan selama lockdown. Jika di kamar, saya menulis blog, nonton YouTube, baca buku, atau main game. Tapi lama kelamaan, menjalani rutinitas seperti itu-itu saja membosankan juga. 

Akhirnya, saya mencoba kembali ke hobi lama, yakni bersepeda. Bersepeda sudah jadi salah satu hobi sejak kecil. Cuman, semenjak lockdown saya sudah jarang banget bersepeda takut hal macam-macam terjadi. Lha wong gowes harus keluar kampus dulu biar puas. Kalau hanya gowes di dalam sudah setiap hari sepertinya. Ke masjid, kantor, dapur, atau ke manapun pasti pakai sepeda.

Saya akhirnya gowes ke salah satu tempat yang jadi jujukan gowes-nya orang Ponorogo, wabil khusus warga UNIDA yang suka bersepeda, yaitu bendungan Bendo. Saya bersepeda atas ajakan teman sekantor, Akbar. Awalnya, saya mau gowes sendirian saja menyusuri pedesaan atau ke kota Ponorogo. Namun, Akbar melihat saya bersiap-siap dengan memakai sepatu dan membawa tumbler. Dia yang tahu kalau saya mau bersepeda akhirnya ikutan juga. Dialah yang mengajak ke daerah Bendo. Namun, kami tidak sampai ke bendungan yang jaraknya lumayan jauh. Kami berdua hanya berhenti di jalan desa yang mengarah ke sana lalu berhenti di salah satu warung. Dia menawarkan diri untuk memfotokan saya kemudian kami nongkrong sambil menikmati cemilan yang dijual di warung tersebut. 

Itulah tadi beberapa hal yang terjadi pada diri saya pada tahun 2020 lalu. Sebenarnya masih banyak hal yang bisa saya tulis di sini, namun peristiwa-peristiwa di atas ini yang paling membuat keseharian saya berubah. Semua yang saya lakukan ini adalah bentuk mengakali hidup agar bisa bertahan dan menikmati hidup di tengah ketakutan. Bagaimana dengan kalian?

Posting Komentar

16 Komentar

  1. Balasan
    1. Ya, setuju! Itulah pelajaran yang saya ambil dari tahun lalu

      Hapus
  2. di 2020, bertahan saja sudah merupakan pencapaian. Hahahaha...
    Tapi, ini semua sudah ditakdirkan. Mungkin ini ujian untuk kita. Atau bisa jadi ini adalah peringatan. Semoga Allah cepat angkat musibah ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin... Semoga demikian. Kita bisa berusaha sesuai kemampuan dan berdoa agar diberikan kekuatan

      Hapus
  3. Halo mas Ian, waah ternyata anak UNIDA yaak. Keren nih kampusnya
    btw saya mau tanya dong, gimana caranya masukkin postingan IG ke postingan blog ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mas...
      .
      .
      Kalau mau memasukkan postingan instagram ke blog, caranya gini:
      1. Buka instagram dari PC
      2. Pilih postingan yang mau dimasukkan
      3. Klik titik tiga di atas postingan, lalu pilih "embed"
      4. Copy kode yang disediakan, kalau mau pakai caption tandai ceklis di "Include Caption"

      Lalu paste di postingan blog kita dengan cara:
      1. Klik postingan, pilih edit
      2. Ubah tampilan ke Tampilan HTML
      3. Paste kode yang telah di-copy ke box postingan kita. Selesai
      Nanti kalau berhasil, postingan instagram akan muncul di tampilan menulis. Gitu sih caranya...

      Hapus
    2. hoo seperti itu yaa, terima kasih banyk

      Hapus
  4. memang benar sih, tahun kemarin bisa disebut tahun untuk bertahan, bertahan dari segala kehancuran

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar. Tahun lalu memaksa kita untuk survive agar tidak hancur

      Hapus
  5. 2020 memang luar biasa ya mas, tapi kita tetap jangan kalah dengan keadaan. Insya Allah apapun yang telah ditakdirkan Allah, pasti ada hal baik yang bisa kita ambil.

    BalasHapus
  6. Gak kerasa udah setahun aja corona hadir dan gak ngapa-ngapain.. Cuma ngeblog ngeblog dan ngeblog.. huhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lumayan, lah...! Setidaknya ada yang bisa dikerjakan
      Timbangan'e gak lapo-lapo (daripada gak ngapa-ngapain), kata orang-orang

      Hapus
  7. 2020, tahun yang berat buat kita, karena harus memaksa kita untuk menerima keadaan.

    BalasHapus
  8. wah ternyata alumni gontor ya, keren :D

    memang di 2 tahun ini kita semua warga dunia harus menjalani adaptasi baru karena corona. Kebiasaan seperti mengenakan masker yang tadinya agak riweuh mau tak mau harua dijalankan. Ya kadang sesek napas juga, tapi mau bagaimana lagi ya. Mudah mudahan pandemi ini cepat berakhir dan kita semua selalu dalam keadaan sehat dan terlindungi aminnn

    BalasHapus
  9. 2020, bahkan 2021, sbnrnya waktu utk tetep survive. Makanya di tahun inipun, aku yg biasa bikin target tahunan yang tinggi, kali ini ga berharap banyak mas. Bisa bertahan yang penting. Alhamdulillah kantor masih stabil dan ga ada mengurangi benefit sedikitpun, tapikan kita blm tahu mau sampai kapan ini terjadi. Makanya aku ttp hrs siap.

    Pandemi ini walopun merenggut banyak nyawa, termasuk mama mertuaku yg ga bisa bertahan, tapi ttp ngasih sisi positif buat semua. Pastinya dalam hal kebersihan, jaga tubuh selalu sehat, jaga makan dll. Menurutku jadi kebiasaan yang seharusnya ttp dipertahankan. Aku rasanya udh ga bisa kalo kluar tanpa masker, risih yg ada :D

    BalasHapus