Museum Multatuli, Museum Sejarah Antikolonialisme Pertama di Indonesia


Museum Multatuli merupakan museum yang memamerkan sejarah kolonialisme Belanda di Lebak, Banten dan perjuangan Multatuli melawan praktiknya. Ia terletak di kawasan Alun-Alun Rangkasbitung, kelurahan Rangkasbitung Barat, kecamatan Rangkasbitung, Lebak. Dulunya bangunan tersebut merupakan kantor Wedana Lebak. Akan tetapi pada 2017, bangunan ini dialihfungsikan sebagai museum dan diresmikan pada bulan Februari 2018 oleh bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dan Direktur Jenderal Kebudayaan. Museum ini unik, karena ia adalah museum anti-kolonialisme pertama di Indonesia. Sebetulnya, museum serupa sudah ada di Amsterdam, Belanda. Namun, museum tersebut tidak memiliki afiliasi dengan museum yang ada di kota Rangkasbitung ini.


Letak Museum Multatuli sangat strategis sehingga rutenya mudah dijangkau. Saya berangkat dari stasiun Rangkasbitung menumpang ojek online. jaraknya hanya kurang lebih 1,5 km via Rangkasbitung Indah Plaza (Rabinza). Selama perjalanan, saya sesekali mengobrol bersama abang ojol tentang kawasan Lebak, sembari bercerita tentang sedikit pengalaman ke perkampungan masyarakat Baduy. Asyik mengobrol, tak terasa perjalanan kami sudah tiba di Alun-Alun Rangkasbitung. Dengan sedikit mengitari alun-alun, saya sudah sampai di Museum Multatuli.


Selamat datan Museum Multatuli


Begitu memasuki Museum Multatuli, saya disambut dengan gapura unik. Gapuranya terbuat dari susunan bambu-bambu membentuk segitiga mirip singgasana di serial Game of Thrones. Di dalam terdapat pendopo di sisi kiri saya dan patung-patung dan spot foto di sisi kanan. Di spot foto, berdiri patung Multatuli dengan pose duduk membaca dikelilingi oleh tiang-tiang tinggi. 
Gapura Museum Multatuli

Patung Multatuli


Sebelum masuk museum, saya menyempatkan diri duduk sejenak di pendopo. Pendopo Museum Multatuli tidak terlalu tinggi namun cukup luas dan sejuk. Sejuknya pendopo terpengaruh oleh arsitekturnya yang semi terbuka dengan berlantaikan marmer. Pendopo museum penuh dengan nuansa kuning keemasan berpadu coklat dari lantai, tiang dan atapnya. Selain saya, ada beberapa orang tampak duduk-duduk santai menikmati siang di pendopo.


Pendopo Museum Multatuli


Sebelum masuk, saya mendaftarkan diri dengan menulis biodata pengunjung di resepsionis. Pendaftaran masuk Museum Multatuli tidak ditarik biaya sepeserpun alias gratis, tis! Resepsionis juga menyediakan beberapa brosur terkait museum. Dari pintu masuk, saya disambut dengan patung potret Multatuli bertuliskan “Multatuli Eduard Douwes Dekker -- 2 Maret 1820-19 Februari 1887”. Terpampang pula quote Multatuli berbunyi “Tugas manusia adalah menjadi manusia” bersanding dengan vektor wajah Multatuli di sisinya. Tulisan tersebut mengingatkan saya, sudahkah saya menjadi manusia seutuhnya?


Potret Multatuli


Masuk ke ruang berikutnya, ada ruangan yang menceritakan awal mula kedatangan VOC ke Indonesia. Di sana diputarkan video mengenai kedatangan VOC ke Indonesia. Sebagaimana diketahui,tujuan awal VOC adalah untuk berdagang dan mencari hasil bumi di tanah Nusantara. Namun, yang terjadi adalah penjajahan, eksploitasi sumber daya yang mengakibatkan penderitaan panjang bagi rakyat. Selain video, di ruangan ini juga dipamerkan miniatur kapal yang digunakan VOC.




Beberapa komoditas yang diincar oleh VOC juga dijelaskan. Di antara hasil bumi yang dimaksud adalah pala, kopi, dan cengkeh. Di situ diterangkan asal mula tanaman, di mana tanaman tersebut dibudidayakan, serta kegunaannya bagi manusia. Alat-alat yang digunakan untuk mengolah tanaman tersebut juga dipamerkan seperti mesin giling kopi tradisional. 




Ada juga peta yang menerangkan tanam paksa. Sistem yang disebut dengan Cultuurstelsel dalam bahasa Belanda ini mewajibkan pemilik tanaman menyerahkan 20% tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor. Bagi yang tidak memiliki tanah diwajibkan untuk menggarap lahan dengan komoditas ekspor. Namun, praktiknya tidak sesuai dengan aturan tertulis. Tuan tanah dirampas tanahnya melebihi yang disepakati untuk kepentingan penjajah. Begitu pula dengan para penggarap tanah. Mereka diperas tenaganya melebihi waktu yang ditentukan tanpa diberikan upah lembur. 



Kondisi demikian yang menyiksa rakyat Banten pada waktu itu. Karena penderitaan masyarakat semakin bertambah, rakyat Banten melakukan serangkaian aksi melawan kebijakan tanam paksa. Beberapa peristiwa yang terekspos di Museum Multatuli adalah Pemberontakan Haji Wakhia pada tahun 1854 dan Pemberontakan Nyimas Gamparan. Peristiwa pertama dipimpin oleh Haji Wakhia, seorang ulama dari Serang. Beliau bersama Tubagus Iskak memimpin gerakan rakyat melawan kolonial sejak 1850, memuncak pada 1 Mei 1854 dan berakhir ketika beliau berdua ditangkap dan dihukum mati pada 1856. Sedangkan, peristiwa Nyimas Gamparan terjadi pada tahun 1885 di beberapa tempat di Banten. Semua terekam dalam sebuah visual berbentuk timeline berwarna merah. Selain dua peristiwa tadi, linimasa yang tertempel juga menampilkan peristiwa lain seperti pendirian Indische Partij dan Sarikat Islam hingga kemerdekaan Indonesia.



Selain linimasa sejarah perjuangan rakyat, Museum Multatuli juga menampilkan sejarah Lebak. Dimulai dari pendirian kabupaten Lebak pada tahun 1828 sampai era kemerdekaan Indonesia. Salah satu yang ditampilkan adalah sosok RTA Kartanegara, bupati Lebak ketiga yang berhasil memadamkan pemberontakan Nyimas Gamparan hingga diangkat menjadi bupati. Pembangunan jalur kereta api di Lebak pun diangkat dalam anjungan ini. Ketika Indonesia merdeka, kabar tentang proklamasi kemerdekaan disampaikan ke Lebak oleh beberapa tokoh. Linimasa ini diakhiri oleh kisah bupati RT Hardiwinangun yang ikut andil dalam kemerdekaan Indonesia.



Mengunjungi Museum Multatuli tentu saja tak boleh lupa membahas peran Multatuli dalam pengentasan kolonialisme di Banten. Multatuli, yang nama aslinya adalah Eduard Douwes Dekker, merupakan seorang pegawai residen Belanda yang ditugaskan di Lebak, karesidenan Banten. Di sana ia menemukan bahwa sistem kerja rodi menyengsarakan rakyat. Padahal, ia sendiri melaksanakan mandat dari pemerintah kolonial Belanda untuk mengawal sistem Tanam Paksa. Namun, rasa kemanusiaannya tergerak untuk peduli dengan warga Lebak. Untuk itu, ia melontarkan kritik kepada pemerintah sebagai kepeduliannya.


Raja Willem III dan Surat Multatuli


Awalnya, ia menulis surat kepada Raja Willem III, penguasa Belanda waktu itu. Dalam suratnya, ia memohon agar kerajaan memperhatikan penderitaan rakyat jajahan. Dengan tegas ia menulis:


"Kepada Anda saya bertanya dengan penuh keyakinan: Apakah Kerajaan Anda ingin membuat lebih dari tiga puluh juta rakyat di Hindia Timur ditindas dan dihisap atas nama Anda?"


Multatuli juga memberitahukan naskah bukunya yang akan terbit dalam surat tersebut. Namun, karena permintaanya tidak digubris oleh raja, ia segera menerbitkan Max Havelaar yang menjadi karya sastra fenomenal karena menggambarkan penderitaan rakyat jajahan secara apa adanya.



Di museum Multatuli pun dipamerkan beberapa versi dari Max Havelaar. Ada 13 naskah Max Havelaar dengan versi bahasa Belanda, Inggris, dan Indonesia. Setiap versi memiliki ciri khasnya sendiri sesuai dengan penerbit. Ada cetakan di era periode awal berbahasa Belanda. Cetakannya yang terbaru di antara koleksi tersebut sudah dilampirkan foto-foto tentang kondisi Hindia Belanda di masa itu. Buku-buku koleksi Max Havelaar bisa kita baca di tempat, dan difasilitasi bangku serta suasana yang asri. Selain Max Havelaar terdapat karya tulis yang lain seperti surat Sukarno kepada sahabatnya, Samuel Koperberg. Dalam suratnya, Bung Karno menceritakan kondisi dirinya dan tempat pengasingannya di Ende, Nusa Tenggara Timur. Sebagai pengetahuan, Bung Karno diasingkan oleh pemerintah kolonial di Ende pada tahun 1934-1938 karena ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara vokal. Karya tulis lain adalah buku pleidoi Bung Hatta dengan judul Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) yang ditulis pada tahun 1928.




Masih di tempat yang sama dengan koleksi Max Havelaar, ada potret beberapa tokoh Lebak dan tokoh lain yang pernah memiliki kesan dengan Lebak. Di antara figur yang terpampang adalah Maria Ulfah, Menteri Sosial pertama Indonesia; W.S. Rendra, penyair tenar yang pernah menulis sajak tentang rakyat Lebak berjudul Demi Orang-Orang Rangkasbitung; juga Tan Malaka yang pernah berjuang menyejahterakan para romusha di Banten, dan Misbach Yusa Biran, seorang putra daerah Lebak yang tersohor sebagai sutradara dan kolumnis. Selain potret tokoh-tokoh Banten, potret figur yang mengomentari Multatuli dan Max Havelaar juga dipamerkan beserta komentar mereka tentangnya. Tokoh-tokoh tersebut adalah Bung Karno, Raden Ajeng Kartini, Jose Rizal (pejuang kemerdekaan Filipina), Ahmad Subardjo, dan Pramoedya Ananta Toer.




Ruangan terakhir yang saya kunjungi di Museum Multatuli adalah ruangan tentang seluk-beluk Lebak. Ruangan ini secara ringkas menampilkan tentang kehidupan masyarakat Baduy, penduduk asli Lebak. Diorama yang dipamerkan dalam ruangan ini adalah pakaian khas, alat tenun Baduy yang menjadi salah satu mata pencaharian mereka, dan beberapa motif kain tenun. Bagi kalian yang penasaran tentang masyarakat Baduy, ruangan ini dapat mengenalkan secara ringkas dan membuka wawasan kalian.





Di pintu keluar, saya disambut dengan halaman belakang yang sama indah dengan halaman depan Museum Multatuli. Taman dengan nuansa kuning keemasan dari lantainya berpadu warna putih dari tembok bangunan ditambah tanaman-tanaman hijau menyegarkan pandangan mata. Toilet bagi pengunjung terletak di sisi belakang museum ini. Peta wilayah Lebak beserta petunjuk lokasi wisata buat yang penasaran untuk mengeksplorasi keindahan Lebak. Di sisi lain, terdapat jalan setapak menuju Perpustakaan Umum Saidjah-Adinda yang terletak persis di utara museum dengan konsep senada seperti taman belakang museum. Halaman belakang ini tempat cocok untuk beristirahat setelah menjelajah museum.





Museum Multatuli menawarkan pembelajaran tentang sejarah perjuangan Multatuli dan masyarakat Lebak menghadapi kolonialisme Belanda. Konsep museum sejarah dikemas dengan nuansa kekinian mengajak generasi muda mengkaji sejarah. Interior museum yang instagrammable semakin menarik minat untuk mencintai museum dan sejarah yang disajikannya. Museum Multatuli bisa menjadi tujuan buat kita, anak muda yang minat dengan kajian tentang masa lalu kelam kolonialisme.


Posting Komentar

1 Komentar

  1. Jadi ingat pelajaran waktu SD hehe,,,tapi sebenarnya penting banget lho pengetahuan tentang sejarah seperti ini supaya kita tidak lupa diri dan tahu darimana kita berasal,,,
    Saya juga sangat terkesan kepada douwes dekker karena kiprahnya lebih banyak untuk membantu para pejuang indonesia,,,kira-kira di negara asalnya beliau di cap sebagai pengkhianat atau tidak ya?

    BalasHapus