Waktu menunjukkan pukul 09:50 ketika kami tiba di stasiun Surabaya Kota. Aku berpikir, masih ada waktu cukup lama untuk menunggu kereta berikutnya ke Tulungagung. Kereta yang akan kami naiki baru berangkat jam 12.00. Ada waktu sekitar 2 jam untuk menunggu kereta berikutnya. Lalu, buat apa menunggu berlama-lama di stasiun?
Daripada menunggu lama di sana, kami berlima akhirnya sepakat untuk jalan-jalan di sekitar stasiun. Di luar stasiun mungkin saja ada tempat wisata menarik untuk dikunjungi. Setelah iseng-iseng googling, ternyata kami menemukan salah satu lokasi wisata. Jreng jreng, ternyata tempat itu adalah salah satu ikon kota Surabaya! Ia bahkan terpampang jelas dalam logo kota Pahlawan. Tempat tersebut adalah Tugu Pahlawan.
Kami berjalan sekitar 15 menit untuk tiba di sana. Jalan Stasiun yang memanjang di depan stasiun yang disebut juga dengan Stasiun Semut ini cukup lengang. Hanya ada beberapa kendaraan melintas dan banyak becak yang sedang beristirahat. Hal sama kami temukan pula di Jl. Kebonrojo setelahnya. Di sepanjang jalan itu, kami menemukan berbagai bangunan klasik penuh sejarah. Salah satu nya adalah Gedung Bank Mandiri yang berada tepat di persimpangan jalan. Bangunan klasik ini masih digunakan sebagai Kantor Cabang Niaga Bank Mandiri Surabaya. Saya sempat iseng mengintip karena kepo seperti apa dalamnya gedung ini. Katanya masih terpakai, koq terlihat tidak terawat dari luar?! Ternyata, masih ada orang bertransaksi di dalam. Ada pula satpam yang berjaga di pintu masuk yang letaknya agak masuk dari jalan raya. Untung tidak ketahuan satpam. Hehehe…
Selain gedung Bank Mandiri, masih banyak gedung bersejarah lainnya di sepanjang Jl. Pahlawan. Ada Graha Pelni dan Gedung Bank Indonesia. Di sekitarnya terdapat kursi taman terpasang di trotoar. Terdapat pula restoran mewah bernama Surabaya Country. Restoran dengan gaya arsitektur Eropa klasik ini semakin menambah kemegahan kawasan Kota Lama Surabaya. Sebagiannya digunakan sebagai lapak tempat jual beli makanan. Satu lagi gedung penting di jalan ini, yaitu Kantor Gubernur Jawa Timur,tempat Ibu Khofifah Indar Parawansa berdinas.
Sepanjang perjalanan ke Tugu Pahlawan, cuaca panas Surabaya mulai menyengat. Para pejalan kaki banyak yang berteduh atau duduk-duduk di kursi taman untuk melepas lelah. Kami berusaha mencari cara agar bisa berjalan terus mengejar waktu sambil menahan panas. Kami melepas jaket yang dikenakan dari Malang agar tidak kegerahan. Sesekali kami berhenti untuk sekadar foto-foto. Untung saja, setelah kantor gubernur banyak pohon tegak berdiri. Kami pun tidak merasa kepanasan lagi.
Tugu Pahlawan merupakan salah satu tempat bersejarah sekaligus landmark kota Surabaya. Ia didirikan pada tanggal 10 November 1951 oleh Presiden Soekarno untuk mengenang perjuangan para pahlawan yang gugur dalam perjuangan di Surabaya. Tugu Pahlawan termasuk dalam kawasan Kota Tua Surabaya. Kompleks Tugu Pahlawan terdiri atas Monumen dan Museum 10 November. Tugu Pahlawan memiliki tinggi 41,15 meter dan berbentuk lingga (paku terbalik). Tugu ini diresmikan setahun berikutnya, tepat pada tanggal 10 November 1952.
Kita masuk kawasan Tugu Pahlawan melalui areal parkir selatan. Di sana beberapa bus ukuran ¾ parkir memenuhi lapangan parkir. Bus-bus itu membawa rombongan para turis asing yang datang ke Surabaya dalam rangka suatu event. Kami disambut oleh beberapa relief berjajar menceritakan pertempuran Arek-Arek Suroboyo mengusir Sekutu. Selain itu, ada patung Soekarno-Hatta tegak berdiri dilatarbelakangi reruntuhan bangunan dengan pilar-pilar yang bertuliskan slogan-slogan pembakar semangat seperti “Merdeka Ataoe Mati.” Setelah melewati patung proklamator tersebut, barulah kami memasuki kawasan Tugu Pahlawan yang luasnya mencapai 1,3 hektar tersebut.
Relief di gerbang Tugu Pahlawan |
Kami awalnya hendak berjalan di sekeliling Tugu Pahlawan. Karena cuacanya terlalu panas dan terburu-buru, kami pun langsung menuju Museum 10 November. Museum tersebut berada di sisi barat Tugu Pahlawan. Jalan menuju museum ditumbuhi pepohonan dan berhias patung tokoh-tokoh penting Surabaya, seperti patung Soerjo (gubernur Jawa Timur I), Doel Arnowo (walikota Surabaya 1950-1952, tokoh penggagas Tugu Pahlawan), dan Bung Tomo (pemimpin pejuang Pertempuran 10 November). Ada juga mobil Opel Kapitan milik Bung Tomo yang dijadikan koleksi museum, mengingatkan kita akan perjuangan Bung Tomo dalam mempertahankan Indonesia melawan penjajah.
Jalan menuju Museum 10 November |
Mobil Opel Kapitan milik Bung Tomo |
Gubernur Soerjo, gubernur pertama Jawa Timur |
Doel Arnowo, Walikota Surabaya pencetus Tugu Pahlawan |
Kami pun masuk Museum 10 November. Untuk masuk museum, dikenakan tiket masuk sebesar Rp 10.000,00 untuk umum. Setelah membayar, kami diperkenankan untuk turun. Lho, koq turun? Iya! Posisi Museum 10 November berada di bawah tanah, tepatnya di kedalaman 7 meter di bawah permukaan tanah. Jadi, kita masuk museum dengan menuruni tangga. Museum ini sendiri dibuka pada 10 November 2001 oleh presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk melengkapi kesejarahan Tugu Pahlawan dan menghimpun koleksi seputar perjuangan Indonesia melawan
Sekutu.
Kami pun menuruni tangga menuju lantai dasar Museum 10 November. Di sisi tangga disajikan relief yang menggambarkan Pertempuran 10 November 1945 yang meletus di Kota Pahlawan. Di bawah relief itu, terdapat prasasti berisi tulisan yang menggugah semangat juang. Salah satu prasasti berbunyi “Tetes air mata dan doa tulus bunda adalah bekal dan semangat dan tekad baja. Kami bangkit mengayuh langkah pasti, membuka dada menyerahkan jiwa dan raga bagi Ibu Pertiwi.” Prasasti tersebut sungguh mendeskripsikan bagaimana semangat juang Arek-Arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan dan memotivasi para pemuda yang berjihad demi bangsa dan negara. Di atas tangga tergantung sebuah hiasan berbentuk piramida terbalik dengan gambar kolase foto-foto Surabaya tempo doeloe.
Lorong menuju pintu masuk museum |
Nama-nama pejuang yang gugur dalam Pertempuran 10 November |
Banyak benda-benda bersejarah yang dapat kami jelajahi. Kami menjumpai beberapa koleksi pribadi Bung Tomo seperti kalender tahun 1945. Kalender berwarna dasar putih ini masih jelas tulisannya. Tulisan hari dalam kalender tertulis dalam bahasa Arab dan Indonesia. Selain kalender juga ada kamera dan mesin tik. Museum ini juga menyiarkan rekaman pidato Bung Tomo. Rekaman ini diperdengarkan melalui speaker berbentuk radio jadul. “Radio” ini diletakkan di antara patung-patung pejuang. Salah satu cuplikan pidato Bung Tomo berbunyi:
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga.Di antara koleksi pribadi Bung Tomo lainnya yang dapat dijumpai di Museum 10 November adalah buku harian, peta pergerakan pejuang, radio, dan baju perang.
Saudara –saudara rakyat Surabaya, siaplah!keadaan genting! tetapi saya peringatkan sekali lagi jangan mulai menembak baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti menyerang mereka itu kita tunjukkan bahwa kita ini benar-benar orang yang ingin merdeka!”
Mesin tik koleksi Bung Tomo |
Surat ultimatum dari Sekutu kepada pasukan RI |
Beberapa peralatan pribadi milik pasukan Sekutu |
Tidak hanya koleksi milik Bung Tomo, koleksi lainnya juga ada di museum ini, seperti perangko jadul dan foto-foto sekitar Pertempuran 10 November. Bahkan, barang-barang milik prajurit Sekutu juga ditemukan di sini, seperti korek api, botol minum, dan pisau cukur. Tidak hanya itu, ada juga surat ultimatum yang dikeluarkan Sekutu kepada rakyat Indonesia untuk menyerahkan diri.
Berkunjung ke museum sejarah pertempuran, kurang lengkap jika tidak mengunjungi koleksi senjata. Ada beberapa pucuk senjata yang dipamerkan di Museum 10 November. Senjata api yang dipajang rata-rata adalah senjata laras panjang, meskipun ada beberapa pula senjata seperti pistol dan revolver. Ada senapan penghalau tank, senapan ringan, dan senapan mesin.
Beberapa koleksi senjata di Museum 10 November |
Beberapa koleksi senjata di Museum 10 November (2) |
Peta pergerakan pasukan |
Museum 10 November menyimpan berbagai diorama statis. Diorama ini menceritakan bagaimana Surabaya selama Pertempuran 10 November. Diorama didampingi dengan media audio visual. Video disajikan dalam 6 bahasa, yaitu Indonesia, Inggris, Korea, Belanda, China, dan Jepang. Diorama yang paling menarik adalah diorama tentang pertempuran Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit). Tentu kita semua ingat kalau hotel tersebut terkenal dengan peristiwa perobekan bendera Belanda oleh Arek-Arek Suroboyo.
Sebagian dari diorama yang ada di Museum 10 November |
Anjungan H. R. Mohamad |
Ada juga stan tentang sejarah Rumah Sakit Simpang. RS Simpang adalah salah satu rumah sakit tertua di Surabaya. Rumah sakit inilah yang menampung korban Pertempuran Surabaya. Namun, korban semakin membludak hingga akhirnya sebagian harus dilarikan ke Malang. Rumah sakit tersebut sudah tidak ada lagi, berganti menjadi Delta Plaza. Walakin, kita masih bisa melihat sejarah RS Simpang di Museum 10 November. Terdapat foto-foto dan narasi sejarah yang cukup mempresentasikan peran andil RS Simpang dalam perjuangan melawan Sekutu dalam Pertempuran 10 November.
Anjungan Rumah Sakit Simpang |
Akhir perjalanan, kami dilepas dengan sebuah relief besar menggambarkan Surabaya saat ini. Bertuliskan “Surabaya Membangun” di bawahnya, relief ini benar-benar menjelaskan Surabaya yang terus membangun untuk masa depan. Pembangunan yang diinginkan dari gambar itu adalah pembangunan yang menyeluruh dan merata, baik dari segi ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya. Hal itu terpampang jelas dari elemen yang tergambar di relief itu. Pendidikan sudah berbasis teknologi. Pelayanan kesehatan terus berbenah. Masyarakat hidup berdampingan dalam kemajemukan seperti rumah-rumah ibadah yang terletak bersebelahan di gambar itu. Bahkan, relief itu memaparkan bahwa akan ada kereta rel tunggal (monorail). Kereta rel tunggal telah diwacanakan oleh Pemprov Jatim awal tahun ini. Semoga benar-benar terwujud.
Relief "Surabaya Membangun" di pintu keluar |
Kami pun keluar dari museum 10 November. Pintu keluar mengarah ke balik museum. Di sini pun masih ada satu lagi monumen bersejarah. Ia adalah Makam Pahlawan Tak Dikenal. Konon katanya, ada banyak pejuang yang gugur dalam Pertempuran 10 November yang tidak diketahui identitasnya dimakamkan di kompleks Tugu Pahlawan. Kemudian, dibuatlah pusara besar untuk mengenang jasa-jasa mereka.
Makam Pahlawan Tak Dikenal |
Setelah berjalan-jalan di kawasan Tugu Pahlawan, ada banyak hal yang kami dapatkan. Pertempuran 10 November mengingatkan kita bahwa kemerdekaan Indonesia diraih dengan perjuangan mengorbankan harta dan nyawa. Para pejuang yang gugur adalah pahlawan bangsa karena pengorbanan mereka mempertahankan Indonesia. Tugas kitalah yang melanjutkan jejak mereka, bagaimanapun caranya. Setelah pergi meninggalkan Tugu Pahlawan dengan membawa sejarah, kami pun bergegas menuju Stasiun Semut untuk perjalanan berikutnya.
Untuk informasi mengenai Tugu Pahlawan silakan kunjungi:
Instagram: @museumtupal
Twitter: @museumtupal
Alamat: Jl. Pahlawan, Alun-alun Contong, Kec. Bubutan, Kota SBY, Jawa Timur 60174
Jam buka:
Senin-Jum'at: 08.00–16.00
Sabtu & Minggu: 07.00–15.00
1 Komentar
Keren penataan koleksi museumnya juga sejarah dibaliknya.
BalasHapusCuman sayangnya kok tata cahaya ruangannya dibuat gelap remang-remang begitu, ya ?.