Cerita Dari Kereta: Ekspedisi Jalur Kantong bagian Pertama (Tulungagung-Lawang) dengan KA Dhoho-Penataran





Jalur kantong adalah jalur kereta api yang melintas dari Kertosono, Nganjuk ke Bangil, Pasuruan. Ia adalah jalur penting menghubungkan kota-kota utama seperti Kediri, Blitar, dan Malang. Jalur ini selalu dilalui oleh kereta-kereta dari Jakarta dan Bandung menuju kota-kota tersebut. Selain itu, terdapat pula armada kereta lokal untuk mengakomodasi masyarakat Jawa Timur yang bepergian antar kota.

Kereta itu adalah kereta api Penataran. KA Penataran menurut ibu saya sudah ada sejak tahun 1970-an menurut penuturan orang tua saya. Kereta api ini melayani perjalanan Surabaya-Malang-Blitar. Kemudian, kereta Penataran berganti nama menjadi KA Dhoho, melewati Kertosono-Jombang dan mengakhiri perjalanan di Surabaya.

Saya bersama Harun, Balu, dan Hasbi menjajal ekspedisi jalur kantong dengan KA ini. Perjalanan kami dimulai dari stasiun Tulungagung menuju Lawang. Lanjut dari Lawang ke Surabaya Kota, dan perjalanan berakhir di Surabaya Kota via Kertosono ke Tulungagung. Karena "ekspedisi" ini dilakukan di hari yang berbeda, maka tulisan ini akan saya buat dalam tiga seri berbeda pula, seperti tulisan saya tentang ekspedisi jalur mati Ponorogo-Slahung. Kali ini, saya akan menceritakan ekspedisi dengan kereta api Dhoho-Penataran.

Mengawali dari Tulungagung

Kami memulai perjalanan dari Trenggalek, kota tempat tinggal Balu. Karena tidak ada layanan kereta api di Trenggalek, kami harus naik mobil ke Tulungagung. Perjalanan Trenggalek-Tulungagung menghabiskan waktu kurang lebih satu jam. Kebetulan, ibu dan mbahnya Balu juga ikut karena memang ingin bertemu keluarganya di Lawang, Malang.

Kami tiba di stasiun Tulungagung kira-kira pada jam 12.15. Kami pun terburu-buru takut ketinggalan kereta. Untungnya kereta masih belum datang. Kami pun sempat kembali ke parkiran dan membawakan barang-barang mbahnya Balu. Setelah semua sampai di stasiun, Hasbi yang memesankan tiket melakukan proses boarding karena ia yang memesankan tiket untuk kami semua lewat aplikasi KAI Access. Begitu boarding selesai, kami semua bisa masuk ke dalam peron stasiun.

Peron stasiun Tulungagung sudah penuh dengan calon penumpang. Para calong penumpang memadati stasiun bersiap-siap untuk menunggu kereta selanjutnya yang lewat. Karena itulah kami harus menyeberang ke peron lain yang agak kosong. Di situlah kami bertemu dengan saudara mbahnya Balu yang kebetulan ingin ikut ke Lawang.

KA Dhoho pun tiba tepat waktu. Kami segera masuk kereta agar dapat tempat. Kami berebutan dengan penumpang lain karena banyak juga yang ingin naik atau turun dari kereta. Dengan mendahulukan orang tua, kami baru duduk setelah ibu dan mbah-mbahnya Balu mendapatkan kursi. 


Rangkaian kereta (bukan gerbong, ya...) yang kami naiki adalah rangkaian kelas ekonomi dengan nomor K3 0 65 21. Umurnya lebih tua dari kedua orang tua saya. Kapasitasnya 106 penumpang a la kereta ekonomi PSO (public Service Obligation) alias KA subsidi. Uniknya, nomor rangkaian KA ini dihitung terbalik. Jika biasanya rangkaian kereta dari belakang lokomotif dinomori 1,2,3 dst., kalau kereta di perjalanan ini diberi nomor urut 5,4,3 sampai kereta paling belakang dinomori Ekonomi 1. Kami duduk di tepat di belakang lokomotif yang dihitung sebagai kereta ekonomi 5, alih-alih ekonomi 1.
Rangkaian kereta dengan nomor seri K3 0 65 21
Selama di kereta, saya banyak mengobrol dengan kakeknya Balu. Beliau mendoakan saya agar sukses dan sehat selalu. Obrolan kami berlanjut hingga KA Dhoho berhenti di stasiun Sumbergempol. Ketika berhenti di sana, tidak banyak penumpang yang naik turun. Kereta pun melanjutkan perjalanannya hingga di stasiun Ngunut. Di  Ngunut, KA Dhoho bertemu dengan sesama KA Dhoho yang menuju Kertosono hingga Surabaya.

Pemberhentian selanjutnya adalah stasiun Rejotangan. Stasiun ini merupakan stasiun paling timur di Tulungagung. Di sinilah saya mengabadikan momen persilangan KA selama ekspedisi ini. Kali ini KA Dhoho bersilang dengan KA Brantas tujuan Pasar Senen yang melintas langsung. Setelah mendapatkan sinyal keluar dan PPKA mengeluarkan tanda boleh berangkat, KA Dhoho baru berangkat di stasiun Rejotangan.
Menunggu bersilang dengan KA Brantas di stasiun Rejotangan
KA Dhoho kemudian tiba di stasiun besar Blitar. Stasiun Blitar adalah stasiun pemberhentian akhir KA Dhoho. Namun, tak berarti ekspedisi jalur kantong saya berakhir. Itu karena KA ini akan lanjut berdinas kembali namun dengan nama berbeda, yakni Penataran. 

Berangkat Sebagai KA Penataran


Kereta yang kami naiki berangkat meninggalkan stasiun Blitar dengan nama KA Penataran. Saat ini kami duduk di KA Ekonomi 1, setelah sebelumnya berada di Ekonomi 5 tanpa berpindah kursi. Koq bisa? Selama berhenti di Blitar, KA Penataran tidak hanya berganti nama, namun juga susunan nomor kereta juga diganti. Penomoran kereta penumpang dikembalikan ke susunan yang normal. Dari depan kereta Ekonomi 1, kemudian Ekonomi 2, 3 dan seterusnya.

Dipo Kereta Api Blitar
Selama perjalanan menyusuri Blitar, pemandangan indah persawahan Blitar menghampar di sepanjang jalan. Beberapa kali diselingi juga dengan suasana kota Blitar yang dikenal sebagai kota Proklamator karena di sinilah Presiden pertama Indonesia Soekarno menghabiskan masa kecilnya. Soekarno juga dimakamkan di kota ini. 

Prama (istilah untuk pramugara KA) mulai berkeliling menjajakan makanan bagi para penumpang. Kebetulan,, kami semua belum makan siang sehingga rasa lapar melanda. Hanya ada dua menu yang disajikan waktu itu, yakni nasi krengsengan dan nasi pecel. Kala itu, waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 jadi mungkin menu lain sudah habis. Uniknya, makanan yang dijual tidak dikemas dalam box seperti di kereta jarak jauh, tapi dibungkus daun pisang dan kertas nasi seperti warung. Satu porsi nasi dihargai Rp 10.000,00. Kami semua memesan nasi pecel, kecuali mbahnya Balu memesan nasi krengsengan karena memang tersisa satu porsi.
Nasi pecel khas KA Lokal Penataran
Setelah menempuh jarah yang lumayan, KA Penataran berhenti di stasiun Talun. Stasiun Talun terletak di Kabupaten Blitar. Stasiun kecil ini adalah stasiun tertinggi di Daop VII bersama-sama stasiun Garum dengan ketinggian +244 mdpl. Setelah itu barulah berhenti di Garum, stasiun ujung Daerah Operasi VII Madiun.

Asyiknya Backride

Buat para penghobi kereta, tentu sudah tak asing dengan istilah backride. Backride diartikan sebagai aktivitas naik kereta di buntut kereta alias bordes di rangkaian paling belakang. Backride  disukai karena kita dapat mengintip penandangan dari balik kaca pintu bordes. Kita melihatnya seakan-akan berjalan mundur meninggalkan objek itu.

Sebenarnya, backride adalah aktivitas yang tidak dibenarkan dalam kereta api. Bisa-bisa kita diperingatkan oleh Polsuska kalau kedapatan ngebordes lama-lama. Namun, kalau kita naik kereta lokal, hal backride dapat dimaklumi. Ini karena setiap penumpang kereta lokal tidak mendapat tempat duduk dalam tiketnya. Jadi, mau duduk di mana aja terserah penumpang. Mau di kereta penumpang, kereta makan, atau di bordes sekalipun, penumpang dapat naik asal punya tiket.


Kami berempat melakukan backride setelah setelah stasiun Kesamben, Blitar. Stasiun Kesamben merupakan stasiun kelas III yang berada di Kesamben, Blitar. Setelah itu barulah kami beranjak dari tempat duduk kami ke kereta paling belakang.

Perjuangan luar biasa untuk berpindah dari kursi kami di depan ke kereta paling belakang. Kami harus melewati puluhan orang yang berdiri di lorong kereta. Belum lagi jika ada yang duduk neg-bordes atau ngemper di lantai-lantai kereta. Kami harus berhati-hati dalam melangkah agar tidak menginjak orang lain. Tidak hanya itu, ada pula anak-anak kecil yang suka ke sana kemari yang harus kita lewati.

Berpapasan dengan KA Gajayana
Sesampainya di "ekor" kereta, saya merasa sedikit lega. Di sana sudah ada tiga orang, seorang laki-laki paruh baya dan dua orang perempuan muda, Namun, ternyata ada yang ketinggalan. Harun rupanya belum datang. Setelah menunggu beberapa saat, ia datang dengan jalan agak terpincang-pincang. Rupanya ia tak sengaja menendang koper seorang penumpang. Kami pun panik mendengarnya. Untungya dia mampu menahan sakitnya dan tetap mau nge-backride.

Kami bertiga akhirnya yang berfoto-foto menikmati suasana dari balik bordes. Tampak jelas sawah-sawah di belakang kami. Pemandangan terasa lebih indah setelah memasuki Malang.Jalur kereta terlihat membelah tebing. Belum lagi kita akan merasakan sensasi horor ketika kereta lewat di terowongan Eka Bakti Karya dan Dwi Bakti Karya.

Setelah puas foto-foto dan video, kami pun berkenalan dengan penumpang yang ikut backride. Salah satunya dengan  perempuan muda yang sudah di situ sebelum kami. Riefcha, begitulah ia mengenalkan dirinya. Ia seumuran dengan saya dan juga sama-sama baru menyelesaikan studinya di salah satu PTN di Tulungagung. Kami saling membicarakan satu sama lain tentang skripsi dan kampus kami. Obrolan kami berlanjut hingga kereta Penataran tiba di Sumberpucung untuk menunggu Malioboro Ekspres.

Stasiun Sumberpucung
Menunggu persusulan dengan KA Malioboro Ekspres
Berakhir di Malang

Perjalanan dengan KA Penataran mulai mendekati kota Malang. Saya pun mulai familiar dengan wilayah Malang ketika KA Penataran mulai berhenti di stasiun Kepanjen, salah satu kampung halaman saya. Keluarga ayah saya saat ini tinggal di dekat ibukota kabupaten Malang tersebut. 

Setelah berhenti selama beberapa menit di Kepanjen, KA Penataran melanjutkan perjalannya menyusuri kota Malang hingga berhenti di stasiun Malang Kota Lama. Stasiun Malang Kota Lama disebut demikian karena berdekatan dengan kawasan Kota Lama. Stasiun ini menjadi pintu gerbang bagi kereta api jarak jauh yang menuju Malang. Di sebelah kami, kereta api Malabar tujuan Bandung siap berangkat, yang ditarik lokomotif CC 206 13 55 yang terkenal di kalangan pecinta kereta api lantaran pernah terlibat kecelakaan KA Malabar di Tasikmalaya tahun 2014 lalu.

Stasiun Malang Kota Lama dari belakang KA Penataran



Di sebelah kiri terlihat KA Malabar bersiap-siap meninggalkan stasiun Malang Kota Lama
Perjalanan berlanjut dari Malang Kota Lama. Saat itu kami masih berada di bordes menikmati backride. Tak jauh dari Malang Kota Lama, ternyata KA Penataran melintasi Kampung Wisata Jodipan. Kami pun tak mau menyia-nyiakan momen berharga ini. Saya dan Balu pun berbagi tugas untuk mendokumentasikan momen ini, saya merekam dari samping, sementara Balu merekam dari belakang.

Kampung wisata Jodipan tampak dari jendela KA Penataran
Sore yang cerah pada waktu itu membuat kami tak berhenti mengambil gambar kenangan. Di sisi jalur kereta banyak rumah kecil berdiri. Sangat berbahaya jika ada rumah atau bangunan di sekitar rel kereta. Terlebih banyak orang yang duduk-duduk di atas rel kereta. Ada juga anak-anak yang bermain layang-layang di sana.

KA Penataran lalu berhenti di stasiun Malang. Stasiun ini tergolong stasiun besar dan banyak kereta api yang berakhir di stasiun ini. Banyak penumpang yang naik turun di stasiun ini, membuat siklus penumpang di sini sangat ramai sore itu. Kami pun harus keluar kereta untuk kembali ke tempat duduk kami. Ya, kami mengakhiri backride di stasiun ini karena hari sudah semakin gelap dan kami juga mulai kelelahan.
Stasiun Malang
KA Penataran masih berjalan hingga berhenti di stasiun Lawang. KA Penataran tiba di stasiun Lawang kira-kira di jam 17.30. Hari sudah makin gelap menuju maghrib. Kami semua turun di sini dan menyambung dengan menyarter angkot ke rumah keluarganya Balu. Ekspedisi jalur kantong bagian I pun berakhir di sini.
Akhirnya tiba di Lawang

Posting Komentar

0 Komentar