Cerita dari Kereta: Naik Kereta Brantas Lebaran Kelas Bisnis

Setelah melalui bulan Ramadhan dengan berpuasa dan beribadah, saatnya kini memasuki waktu Idul Fitri. Meskipun sudah terlambat sekian hari, tak ada salahnya kalau saya hadir dengan salam Idul Fitri. 

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ
Semoga Allah menerima (puasa dan ibadah) dari kami dan (puasa dan ibadah) dari kalian.
Permohonan maaf juga tak lupa disampaikan kepada kalian jika ada kekhilafan dan kesalahan baik dalam tulisan ini, komentar, atau yang lain.

Dalam budaya kita, Idul Fitri juga disebut dengan istilah lebaran. Lebaran ini memiliki akar kata dari bahasa Jawa "wis bar" yang artinya sudah selesai. Istilah lebaran sendiri menurut MA Salmun berasal dari tradisi Hindu yang bermaksud menandakan selesainya kewajiban berpuasa. Istilah ini menurutnya digunakan oleh para wali agar masyarakat Jawa yang dahulu masih beragama Hindu dapat menyesuaikan dengan agama Islam. Lebaran bisa juga berasal dari kata "lebar" (e dibaca seperti "bebek"); artinya luas dan dalam. Diharapkan setelah melaksanakan berpuasa, hati kita dapat terbuka lebar untuk saling memaafkan. 

Lebaran selalu identik dengan mudik. Mudik berasal dari kata "udik" artinya kampung/desa. Mudik berarti kembali ke kampung. Mudik telah menjadi adat istiadat tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Menyambut libur lebaran, orang-orang akan bepergian jauh-jauh dari kota ke kampung halaman mereka. Mereka rela jauh-jauh meninggalkan rumah mereka untuk bertemu dengan orang tua dan karib kerabat di kampung, dan saling memaafkan satu sama lain. Sudah lumrah setiap tahun menjelang Idul Fitri jika jalanan padat dengan pemudik, angkutan umum selalu penuh bahkan ada yang kehabisan tiket.

Untuk menanggulangi meningkatnya penumpang angkutan umum, biasanya penyedia jasa transportasi akan menambah armadanya. PT KAI sebagai penyedia jasa transportasi angkutan massal berbasis rel akan menambah jumlah kereta api. Setiap Daerah Operasi (Daop) akan menyediakan beberapa angkutan tambahan dengan relasi beragam. 

Beberapa Daop menambah kereta untuk keperluan mudik lebaran dengan "menggandakan" kereta api yang sudah ada, seperti menyediakan kereta api Argo Muria Lebaran dengan jurusan yang sama dengan Argo Muria reguler, yakni Gambir-Semarang Tawang atau Gajayana Lebaran (Gambir-Malang, sama dengan Gajayana Reguler). Ada juga yang menyediakan angkutan lebaran dengan menggunakan kereta cadangan dengan relasi berbeda dengan kereta reguler, seperti Madiun Tambahan (Mantab) yang hanya beroperasi di musim liburan.

PT KAI Daop VII yang beroperasi di wilayah Madiun dan sekitarnya juga mengeluarkan armada tambahan untuk keperluan mudik lebaran. Daop VII mengeluarkan armada kereta api dengan menambah perjalanan kereta Brantas. Kereta Brantas yang ditambah untuk angkutan lebaran dinamai dengan Brantas Lebaran.

Tentang Brantas Lebaran

Kereta Api Brantas Lebaran merupakan salah satu kereta api tambahan yang melayani rute Blitar-Pasar Senen pp. Brantas Lebaran merupakan kereta tambahan dari KA Brantas yang telah beroperasi secara reguler dengan rute yang sama. Brantas Lebaran merupakan campuran dua kelas, yakni bisnis dan ekonomi. Brantas Lebaran memiliki nomor perjalanan KA (perka) 7031 (Blitar-Pasar Senen) dan 7032 (Pasar Senen-Blitar). 

Saya menggunakan kereta ini untuk pulang ke Bogor (turunnya di Pasar Senen, ya...) ada 25 Mei yang bertepatan dengan 20 Ramadhan 1440 lalu. Kereta Brantas tambahan kebetulan melakukan perjalanan perdananya. Perjalanan perdana ini bertepatan dengan dimulainya musim mudik untuk tahun ini yakni H-10 lebaran.

Kereta Brantas Lebaran dijadwalkan berangkat dari Madiun pada pukul 16.50. Namun, kereta ini justru baru datang pada jam itu. Otomatis, keberangkatan kereta pun terlambat. Brantas Lebaran justru baru tiba di stasiun Madiun pada jam itu. Brantas Lebaran pun baru berangkat tepat pada pukul 17.00.

Brantas Lebaran memiliki susunan kereta 6-7 kereta ekonomi kereta makan, dan 3 kereta kelas bisnis. Saya menaiki kereta bisnis di rangkaian Bisnis 3. Rangkaian kereta bisnis yang digunakan adalah K2 0 82 42. Artinya, ini adalah K2 (kelas bisnis) 0 (tidak berpenggerak) 82 (produksi tahun 1982) 42 (nomor urut produksi ke-42). Posisinya ada di rangkaian paling belakang.

Menikmati Senja di Kereta
Meskipun berangkat terlambat, kekecewaan saya di sore itu terobati tuntas. Pasalnya, begitu memasuki waktu senja cuaca cerah tersaji di balik jendela. Ya, saya sengaja mengambil kursi 3D yang bersebelahan dengan jendela supaya bisa melihat pemandangan dengan jelas. 

Ketika saya mulai duduk di kursi kereta, saya "disambut" oleh pengumuman dari prami (pramugari) kereta. Prami menawarkan berbagai macam menu dari balik speaker.
"Untuk kenyamanan anda, Kami menyediakan beberapa menu makanan, snack dan minuman untuk santap buka puasa Anda....!" Kata sang prami dari speaker. Ia kemudian menawarkan  berbagai menu seperti nasi goreng, nasi rames, mie, dan berbagai macam snack. Mendekati waktu berbuka, pramugara dan pramugari kereta pun berkeliling kereta untuk menyajikan makanan kepada penumpang yang sedang duduk.

Langit kota Madiun seakan menyajikan senyumnya sore itu. Dari balik jendela, terhampar panorama kota Madiun dan sekitar dengan jelas. Jalan raya tergelar panjang, persawahan menghampar luas. Pohon-pohon berdiri tegak dan kabel-kabel menjulur panjang. Langit jingga sore hari menyirami alam di bawahnya sekaligus melatari alam di bawahnya. Cuaca yang cerah di sore itu menemani perjalanan saya bersama para penumpang di kereta Brantas Lebaran. Cuaca itu juga yang menjadi penghibur bagi yang ngabuburit menunggu buka puasa di kereta.

Tak lama, waktu berbuka puasa pun tiba. Waktu berbuka puasa di kereta api ditandai dengan suara pengumuman. "Kami atas nama PT Kereta Api Indonesia mengucapkan selamat berbuka puasa..." Kata pengumuman tersebut. Suaranya seperti pengumuman menjelang kereta api tiba di stasiun. Begitu mendengar pengumuman tersebut, saya beserta penumpang lain mulai membuka makanan dan menikmati buka puasa. Tak lupa doa berbuka puasa dipanjatkan

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ  وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ
"Telah hilang rasa dahaga, dan telah basahlah kerongkongan, semoga pahala telah ditetapkan jika Allah menghendaki."

Kena Silang Terus

Silang dan susul adalah hal wajar dalam kereta api. Kereta-kereta akan saling mendahului atau bertemu satu sama lain di stasiun-stasiun. Persilangan dan persusulan kereta diatur dalam Grafik Perjalanan Kereta Api (Gapeka). Ini ditentukan oleh kelas kereta, nomor perjalanan, status kereta apak reguler atau tambahan, dan ketepatan waktu.

Brantas Lebaran merupakan kereta tambahan. Kereta tambahan dalam perjalanannya biasa mengalah dengan kereta api reguler. Kereta api akan berhenti untuk menunggu lewat kereta api lainnya.

Hal ini pula yang terjadi dengan Brantas Lebaran yang saya naiki. Selama perjalanan kereta ini sering berhenti karena menunggu persilangan. Di awal perjalanan saja kereta ini bersilang dengan kereta Pasundan di Geneng dan satu lagi tidak tahu dengan kereta apa. 

Semalaman di Kereta
Semalaman di perjalanan memiliki kesan tersendiri, apalagi di dalam kereta api. Perjalanan malam terasa khidmat dengan temaram lampu kereta dan goyangan kereta yang melintasi rel. Lampu-lampu berkelap-kelip seperti bintang menerangi malam. Belum lagi akan terlihat hiruk pikuk malam hari di kota-kota dapat terlihat melalui jendela kereta. Meskipun terkadang suara boogie kereta agak mengganggu, tapi itu tak mengurangi kenikmatan perjalanan malam.

Setelah berbuka puasa, saya kemudian menunaikan shalat maghrib jamak isya'. Ada rukhsah keringanan untuk menjamak shalat apabila dalam halangan seperti dalam perjalanan. Adapun shalat yang bisa dijamak adalah Dzuhur dan ashar, serta Maghrib dan isya'

Setelah shalat, saya melihat-lihat pemandangan dari balik jendela. Tidak banyak yang terlihat di sana kecuali lampu-lampu yang berkilau dari kejauhan. Sesekali lampu kendaraan berwarna kuning terpancar.  Jika melewati perlintasan kereta api, semakin terang cahaya karena banyak kendaraan yang berhenti dan lampu-lampu bangunan di sekeliling perlintasan.

Bosan melihat pemandangan di luar, aku mencoba mendengarkan musik dari handphone. Duduk di depanku ada seorang wanita muda sedang merenung. Kursi 3D di kelas bisnis berhadapan dengan kursi nomor 2 di depannya sehingga rasanya sama saja seperti naik kereta ekonomi. Dia membawa barang banyak sehingga hampir memenuhi kursi. 

Untungnya ada seseorang lagi yang baru saja datang. Ia seorang laki-laki muda, mungkin usianya sedikit lebih tua dariku Ia berbaju koko dan bersarung seperti hendak menunaikan shalat, sepertinya dari pondok pesantren salaf (tradisional).

Ia kemudian memperkenalkan diri.

"Saya Ahmad." Katanya sambil menjabat tanganku.

Saya agak kikuk membalasnya. Jarang-jarang ada orang yang mau memperkenalkan dirinya ketika di perjalanan. Namun, kali ini ia memperkenalkan dirinya dengan ramah.

Karena penasaran, saya bertanya, "Mau ke mana, mas?"

"Pasar Senen, mas!" jawabnya.

Tak lupa ia berkenalan dengan penumpang perempuan yang duduk di depanku.

"Ayu, mas!" Jawab si wanita itu singkat dan lirih.

Awalnya aku agak kesal karena tidak bisa leluasa duduk. Di depan sudah ada penumpang, sekarang tambah lagi di sebelahnya! Rasanya ingin cepat-cepat cari tempat duduk kosong. menyesal juga karena salah pilih bangku. Harusnya pilih bangku lain, bukan di tempat sekarang.

Namun, kekesalanku itu seketika terhapus. Ahmad ternyata ramah sekali meskipun dengan penumpang yang baru ia kenal. Ia mula-mula bertanya kepada Ayu.

"Mau ke mana, mbak?" tanyanya.

"Pasar Senen, mas." Jawabnya singkat. Mukanya seperti menahan sakit, mungkin mabuk perjalanan.

"Wah, kita turunnya samaan, ya!" Serunya sambil tersenyum. "Mbaknya naik dari mana?" Ia lanjut bertanya.

"Saya naik dari Kediri, mas." Ayu menjawab.

"Kalau saya naik dari Walikukun mbak. Ada perlu apa di Kediri?" ujar Ahmad.

Saya pun semakin asyik menyimak obrolan mereka berdua.

"Saya belajar bahasa Inggris, mas! di Pare." jawab Ayu.

"Wah, kalau gitu pinter bahasa Inggrisnya, dong!" ujarnya.

Ahmad bahkan lanjut mengetes Ayu beberapa ucapan dalam bahasa Inggris. Ayu justru malu-malu menjawab. Kala Ayu tak bisa menjawab, Ahmad melemparkan pertanyaannya padaku. Sedikit-sedikit aku bisa menjawab meskipun tidak terlalu fasih.

Dari situ identitasku mulai sedikit terkuak.

"Mas dari Gontor, ya?!" Ahmad secara spontan bertanya.

"Iya, Mas!" Jawabku singkat sembari menahan malu.

"Gontor emang bagus-bagus bahasa Arab Inggrisnya!" komentarnya disambut dengan senyum kagum dari Ayu.

Mendengar komentarnya, saya merasa agak malu. Sebagai seorang yang pernah mengenyam pendidikan di sana, saya malu kalau ternyata tidak bisa menjawab ekspektasi orang-orang terhadap pendidikan saya.

"Saya dari pondok Kendal, mas!" Kata Ahmad

"Kendal? Lha bukannya sampeyan naik dari Ngawi?" Aku bercanda sambil pura-pura menyenggah.

"Iya. Di Ngawi ada daerah namanya Kendal, ustadz! Saya mondok di sana." Balasnya sambil tertawa. Kali ini Ahmad memanggil saya "ustadz". Alhamdulillah ia tidak tersinggung dengan pertanyaan saya.

Ia melanjutkan ceritanya.

"Saya lagi kurang fit, ustadz. Ini makanya saya dikasih obat-obat dari dokter." Katanya sambil menunjukkan obat-obatan.

"Rasanya kayak batuk terus panas gitu. Ya udah, saya kemarin pagi ke dokter. Dokter bilang saya harus banyak minum. Terus saya tanya, 'Dok, minumnya 8 liter, ya?' terus dokternya jawab, "8 gelas ustadz, bukan 8 liter." Lanjutnya 

"Seumur-umur saya baru tau kalau minumnya 8 gelas tiap hari. Biasanya kan kita liat di iklan-iklan kan gitu, ya... Kirain 8 liter, ternyata 8 gelas." ujar Ahmad konyol. Kami bertiga tertawa mendengar ceritanya.

"Terus antum (Anda) ke sini naik apa?" tanyaku.

"Saya ke sini diantar mobil ustadz. Tadinya mau naik motor sendiri aja terus parkir di stasiun. Ternyata sebelum berangkat ada mobil yang jemput saya." Jawab Ahmad. Sepertinya, ia adalah santri senior atau ustadz di pondoknya, terlihat dari gaya bicaranya.

Kali ini saya terkagum-kagum setelah mendengar ceritanya. Pertama, saya kagum sama cara hidupnya yang sederhana. Ia mau berangkat sendiri meskipun sakit. Kebetulan ia ke Jakarta untuk pulang kampung. Rumahnya di Jakarta Selatan. Ia bertekad untuk bertemu keluarga di sana meskipun kondisi badannya tidak prima. Kedua, saya kagum dengan penghormatan santrinya untuk mengantar Ust. Ahmad ke stasiun. Begitu tahu gurunya ingin pulang dalam kondisi sakit, salah seorang santri berinisiatif mengantarnya dengan mobil. Saya kagum dengan takzim santri terhadap gurunya, sesuati yang mungkin mulai luntur di zaman ini.

Setelah itu, Ust. Ahmad mohon pamit. "Saya pindah ke kursi depan, ya...! Istirahat dulu." Katanya sambil menunjuk kursi nomor 1 yang kebetulan kosong. Tinggallah saya dan Ayu berdua di situ.

Kami pun mengobrol banyak hal di sana. Mulai dari kursus yang dia tekuni di Pare, kesehariannya di sana, sampai kehidupan pribadi masing-masing. Saya tahu sedikit tentang kursus bahasa di Pare karena beberapa teman belajar bahasa Inggris di sana.

Setelah asyik mengobrol, tak terasa Brantas Tambahan berhenti di stasiun Solo Jebres. Mumpung berhenti, saya menyempatkan waktu untuk mengambil gambar-gambar stasiun. Saya juga sempat mengobrol singkat dengan salah seorang pramugara kereta. Dia ternyata masih trainee alias dalam masa pelatihan. Saya bertanya tentang bagaimana mendaftar hingga kesan-kesannya selama menjalani masa pelatihan.

Kereta api Brantas Lebaran pun kembali berangkat dari Solo Jebres. Saya pun iseng ke kereta makan karena seharian menahan lapar. Ternyata, kereta makan malam itu sangat ramai lantaran banyak orang yang berbuka puasa jua. Saya pun harus mengantre cukup lama di sana. Untungya, saya masih kebagian nasi. Saya memesan seporsi nasi ayam. Sembari menunggu pesanan, saya mengobrol dengan pramugari yang melayani saya. Sambil melayani penumpang lain, ia bercerita banyak hal. Ia berkata bahwa dia dan semua kru terkejut karena kereta Brantas Lebaran ini sudah penuh penumpang sejak awal pemberangkatannya. Nasi yang disediakan pun habis sejak pertama kali dijajakan. Wajar, ini karena semua penumpang berbuka puasa dan butuh makan berat.

Saya pun menikmati seporsi nasi ayam yang sudah dihangatkan. Satu porsinya dihargai Rp 35.000,00. Seporsi berisi nasi, ayam kecap dan sambal serta sayur. Menikmati makan malam di kereta rasanya luar biasa.

Saya pun kembali ke kereta saya. Saya pun lanjut bercengkrama dengan teman baru saya. Sampai tak terasa perjalanan Brantas Lebaran akan berhenti di stasiun Semarang Tawang. Mendekati Semarang Tawang, saya sempat merekam suara announcer yang ikonik.


Namun, justru saya tertidur ketika kereta Brantas Lebaran tiba di Semarang Tawang. Saya baru bangun ketika kereta api sudah melintasi Jawa Tengah, sepertinya di kawasan Pekalongan. Kedua teman baru saya menjahili saya pas tidur. Mereka tertawa kecil ketika saya baru bangun. Agak kesal sih, tapi saya tahan karena kita baru saling kenal. Ahmad pun menyarankan saya untuk merubah posisi tidur. "Antum selonjoran aja, ustadz! Sebelah kayaknya kosong." Katanya. Bangku sebelah yang kosong sejak awal pun saya manfaatkan untuk tidur selonjoran.

Sahur di Kereta
Sumber gambar: Instagram @keretaapikita
Kami semua pun tidur sampai kira-kira jam menunjukkan pukul 02.00. Jam 2 tepat, kami dibangunkan oleh para awak kereta membagikan makan sahur. Sahur dibagikan secara cuma-cuma oleh pihak KAI kepada para penumpang. Kebetulan, hari itu adalah hari pertama program sahur gratis di kereta.

Namun, saya tidak langsung menyantap sahur. Saya menunggu sekitar sejam untuk makan sahur. Sengaja saya makan sahur di akhir waktu karena terbiasa menjalankannya sesuai sunnah. Selain itu, saya mengakhirkan makan sahur karena tidak ada lagi yang dimakan kalau makan sahur duluan. 

Kira-kira pukul 03.30 saya mulai makan sahur. Menu sahurnya sama seperti saya makan malam tadi, nasi ayam. Kru kereta juga menyediakan segelas air mineral untuk setiap penumpang. Saya menyantap sahur dengan sedikit ngantuk. 

Setelah sahur, air minum pun saya sikat habis. Akan tetapi, rasa haus masih terasa. Untungnya, Ayu membawa air minum berbotol-botol. Ia juga menawarkan saya air minum. Tak malu-malu, saya langsung mengambil air minum dari botolnya. Kira-kira habis tiga gelas. Mohon jangan ditiru ya, netizen...!

Waktu pun menunjukkan pukul 04.30. Saatnya adzan Subuh. Saya pun menunaikan shalat subuh di perjalanan. Setelah Shalat, saya kembali menikmati perjalanan sambil berbincang-bincang dengan Ayu.

Tiba di Jakarta

Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Brantas Lebaran memasuki kota Jakarta. Padatnya Jakarta terlihat dengan banyak gedung-gedung berdiri dan flyover menjulang di jalanan kota. Kendaraan pun banyak lalu lalang di tengah gelapnya fajar. Suasana seperti ini akhirnya saya jumpai lagi setelah sekian lama tinggal di suasana pedesaan.

Kereta api Brantas Lebaran pun tiba di stasiun Jatinegara. Stasiun ini menjadi pintu gerbang bagi semua kereta jarak jauh. Hampir semua kereta berhenti di stasiun ini untuk menurunkan penumpang. Namun, Brantas Lebaran tertahan sinyal masuk sebelum berhenti di stasiun Jatinegara. Akibatnya, kereta berhenti di tengah jalan dan tidak bisa masuk stasiun sampai diizinkan oleh Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA).
Sambil menunggu kereta masuk, saya sempat mengabadikan momen di sekitar stasiun Jatinegara dari dalam kereta. Saya pun sempat merekam KA Kutojaya Utara melintas langsung stasiun Jatinegara menuju Kutoarjo.

Setelah mendapatkan sinyal masuk, kereta Brantas Lebaran pun masuk stasiun Jatinegara. Brantas Lebaran berhenti sebentar di sana untuk menurunkan penumpang. Kira-kira lima menit setelah itu, Brantas Lebaran kembali diberangkatkan.

Brantas Lebaran pun menikung ke kanan menuju Pasar Senen. Brantas akhirnya tiba di Pasar Senen sekitar jam 05.45, terlambat dari perkiraan waktu yang tertera pada Boarding Pass yakni 05.22. Keterlambatan ini karena banyak persilangan selama perjalanan. Begitu masinis mengumumkan kedatangan Brantas Lebaran di Pasar Senen, saya dan penumpang lain menyiapkan barang-barang bawaan.

Brantas Lebaran pun berhenti di stasiun akhir Pasar Senen. Para penumpang pun berhamburan keluar. Saya baru turun dari kereta begitu penumpang agak sepi agar lebih tenang dan tidak perlu berdesakan. Ayu yang keluar agak duluan berjalan di depan, sedangkan Ahmad sudah keluar kereta lebih dahulu. Saya pun berpamitan, berpisah dengan mereka untuk melanjutkan perjalanan ke Bogor dengan KRL.

Posting Komentar

0 Komentar