Stasiun Non-Aktif Slahung, Terpojok di Antara Hiruk Pikuk Pasar



Setelah meninggalkan Stasiun Balong dengan berjuta rasa tak enak, saya dan Balu kembali melanjutkan perjalanan menjelajahi stasiun-stasiun mati di Ponorogo. Perjalanan kami mulai dari stasiun Balong, kemudian berbelok ke arah selatan melewati pasar Balong. Dari pasar Balong perjalanan masih panjang hingga ke kecamatan Slahung, destinasi kami. Stasiun Slahung-lah yang akan kami tuju.

Perjalanan menuju stasiun Slahung diwarnai dengan rute yang variatif. Ketika masih berada di Balong, kondisi geografisnya masih berupa dataran rendah dengan persawahan di kanan kiri jalan. Namun, kondisi berbeda ketika memasuki kecamatan Slahung. Kecamatan Slahung merupakan salah satu kecamatan yang sebagian wilayahnya berupa perbukitan. Begitu pun dengan jalan menuju stasiun Slahung. Jalan Ponorogo-Pacitan yang mengarah ke sana memiliki karakteristik berkelok dengan tebing dan lembah di kanan kirinya.

Yang membuat saya takjub dengan di daerah ini adalah bagaimana rel kereta api dapat dibangun. Daerah bertebing seperti Slahung sepertiya agak susah untuk dibangun jalur kereta. Kalaupun dibangun bersisian dengan jalan raya seperti jalur di Ponorogo pada umumnya, menurut saya agak sulit dibangun juga karena di sisi jalan sudah berdiri tebing dan lembah yang agak dalam. Tapi ternyata jalur Balong-Slahung dibuat dengan membangunnya di tanah yang rata di sepanjang tebing. Balu-lah yang menemukan buktinya. Dia menemukan salah satu patok di perbukitan pinggir jalan. Ada beberapa kawasan di perbukitan yang sudah dihuni oleh warga. Kemungkinan daerah-daerah itulah yang dulunya dibangun rel di atasnya.

Tentang Stasiun Slahung


Stasiun Slahung sendiri merupakan perpanjangan dari jalur Ponorogo-Balong. Ia baru diresmikan penggunaannya pada tahun 1922. Awalnya, pembangunan jalur kereta di Ponorogo direncanakan hanya sampai Balong. Namun, Pembangunan jalur tersebut diperpanjang hingga Slahung karena potensi batu gamping yang melimpah di kawasan Slahung. Adanya jalur kereta di Slahung dapat memudahkan arus distribusi gamping atau hasil bumi lain ke Ponorogo dan kota-kota lain.



Namun, cerita manis kereta api di Slahung berakhir menyedihkan. Jalur Balong-Slahung ditutup pada tahun 1983, setahun lebih cepat dari jalur Ponorogo-Balong. Jalur Balong-Slahung harus ditutup lagi-lagi karena masalah okupansi. Kemudian, jalur Ponorogo-Balong menyusul pada 1984.

Bekas stasiun Slahung terletak di belakang pasar Slahung. Posisinya meneyndiri di belakang kantor desa Slahung. Dari arah Balong, perjalanan berlanjut kira-kira 15 menit melewati Jl. Ponorogo-Pacitan. Setelah melewati persawahan di Balong, kita melewati perbukitan dan jalan yang berkelok-kelok. Begitu memasuki pasar Slahung, akan dijumpai lagi keramaian masyarakat karena adanya pasar dan terminal. Sebelum masuk pasar, kita akan menemukan SPBU dan balai desa Slahung. Di samping balai desa terdapat jalan bekas terminal yang mengantarkan kita ke bekas stasiun tersebut.

Stasiunnya berada di balik terminal Slahung. Jalanannya masih berpasir. Cuaca panas dan kering membuat debu beterbangan ketika kami melintasinya. Jaraknya tidak terlalu jauh, kira-kira 200 meter dari jalan raya. Setelah melewati terminal, ternyata ada beberapa rumah warga dan gudang yang ada di sana. Selain itu, tanah lapang terhampar di balik bangunan stasiun.

Karena panas, kami pun memarkirkan sepeda motor di sebuah rumah kosong di seberang stasiun. Rumah itu penuh dengan nuansa klasik dengan cat warna kombinasi biru dan putih. Saya memperkirakan rumah tersebut adalah salah satu rumah dinas pegawai eks-stasiun jika dilihat dari arsitekturnya. Meskipun terlihat kosong, rumah itu terawat dengan baik. Ia pun nampak berpenghuni mungkin penghuninya sedang ada urusan di luar.
Emplasemen stasiun nonaktif Slahung
Kami pun melanjutkan perjalanan di sekitar stasiun. Di sekitar stasiun terdapat tanah lapang yang sangat luas. Sepertinya lapangan ini adalah bekas emplasemen stasiun. Sayang sekali, tidak terlihat bekas-bekas jalur kereta api di sini. Tidak ada rel, bantalan rel atau apapun.  Tidak ada pula alat untuk mengganti posisi lokomotif seperti turntable, segitiga pembalik atau balloon loop. Padahal, itu semua penitng karena stasiun Slahung merupakan stasiun terminus.  Biasanya, stasiun terminus memiliki alat pemutar lokomotif agar lokomotif dapat melanjutkan perjalanan ke arah sebaliknya. 

Kami pun mencoba masuk ke dalam stasiun. Kondisi dalam stasiun gelap dan dingin. Stasiun ini digunakan sebagai gudang penyimpanan kunyit. Namun, ternyata ada seorang wanita paruh baya yang sedang duduk sendirian di dalam. Ia sedang sibuk membersihkan jahe yang sedang ditimbun. Ia membersihkannya dari kotoran mencabut akar-akar yang tersisa. Dari fisiknya, ia nampak berusia 50-60 tahunan.

Cerita di Balik Stasiun Slahung 
Bagian belakang stasiun Slahung
Kami pun mendekati si ibu untuk mencari informasi tentang keberadaan stasiun ini. Untungnya, kali ini kami tak salah orang. Bu Surti menyambut kami dengan ramah dan keibuan. Leibih beruntungnya lagi, beliau merupakan salah seorang tokoh kunci di balik keberadaan stasiun ini. Kami pun asyik mengobrol dengannya sembari mencari tahu bagaimana stasiun Slahung di masa jayanya.
Beliau sendiri adalah menantu dari salah seorang masinis. Pada saat mertuanya masih berdinas, beliau selalu bersama sang suami selalu menyertai bapak mertua berdinas di jalur Ponorogo-Slahung. Namun, bapak mertuanya sudah lama tiada. Sang suami pun sedang tidak ada di tempat. Kami tidak berhasil menjumpai suaminya yang siapa tahu bisa menjadi saksi hidup berikutnya.

Setelah jalur Ponorogo-Slahung ditutup, beliau sekeluarga masih menetap di sekitar bekas emplasemen stasiun Slahung. Bahkan, keluarganya masih diberikan hak guna tanah di eks-stasiun Slahung. Tentunya dengan membayar sewa yang tidak disebutkan besarannya. Uang sewa diserahkan kepada pemerintah desa setempat. Pemberian hak tersebut mungkin karena keluarganya telah berjasa menjadi pegawai PJKA di stasiun Slahung.

Beliau pun melanjutkan ceritanya. Tidak lagi soal bekas stasiun Slahung, namun soal keluarganya. Beliau menceritakan anak-anaknya yang kebanyakan pergi ke luar kota. Air mata beliau menetes dari sela-sela matanya. Nampak raut sedih terpancar dari mukanya. Akan tetapi, itu bukan air mata duka, namun itu air mata bahagia. Sambil menitikkan haru, beliau menceritakan dengan bangga anak-anaknya yang sudah sukses di luar sana. Ada yang menjadi dokter, ada pula yang menjadi isteri seorang petinggi tentara di Surabaya. Beliau menuturkan bahwa anak-anaknya sering menghubunginya via telepon menceritakan kehidupan masing-masing. Mereka juga selalu berkumpul setidaknya di hari raya.



Terakhir, beliau menasihati kami agar selalu kerja keras dan mendoakan orang tua. Karena berkat dua hal itu, kesuksesan bisa kita raih.

Sebelum pamitan, kami sempat mengabadikan interior bekas stasiun Slahung. Stasiun Slahung terbagi ke tiga ruangan. Satu ruangan yang kami tempati adalah ruang utama. Satu ruangan lebih kecil adalah loket dan ruangan lain yang berukuran sama besar dengan ruangan utama. Kemungkinan ruangan ini adalah bekas kantor kepala stasiun. Ruangan terakhir ini sangat gelap. Kami sampai harus menyalakan senter untuk bisa melihat dalammnya. Di dalamnya terdapat dipan kecil dari besi model lawas. Di sampingya ada mukena dan sajadah digantung pada seutas tali. Ruangan itu mungkin sepertinya digunakan oleh Bu Surti untuk beristirahat dan shalat. Kami tidak bisa masuk loket karena tertutup. 

Akhirnya kami berpamitan dengan Bu Surti dan meninggalkan eks-Stasiun Slahung. Sebelum benar-benar pergi, kami masih penasaran dengan luarnya. Akhirnya kami pun mendokumentasikan sekitar bekas stasiun. Kemudian, kami benar-benar pergi meninggalkan stasiun. 
Ada pesan yang dapat diambil dari perjalanan kali ini. Pertama, setiap benda pasti meninggalkan sejarah di dalamnya. Meskipun wujudnya sudah tak elok dan tak lagi digunakan, benda-benda tetap menginggalkan cerita. Kedua, tak semua orang sudi menerima kita. Saat itulah kita harus muhasabah diri, apa yang kurang dari kita. Ketiga, doa orang tua selalu mengiringi langkah kita. Salah satu penentu kesuksesan kita adalah doa orang tua. Maka, kita harus selalu mencari keridhoan Allah dan keridhoan mereka dengan berbakti kepada kedua orang tua kita.

Ya, perjalanan saya menyusuri stasiun-stasiun mati di Ponorogo berakhir di stasiun Slahung. Sebagai stasiun terminus, Slahung tentu berperan besar dalam perkembangan transportasi berbasis rel di Ponorogo zaman dahulu. Tentunya saat ini stasiun Slahung bersama stasiun-stasiun lain di Ponorogo hanya beristirahat menikmati masa-masa indahnya mengakomodasi masyarakat kota reog.

Posting Komentar

0 Komentar