Menyusuri Stasiun Ponorogo, Stasiun Mati yang (Dahulu) Menopang Ekonomi


Tulisan ini merupakan sedikit perjalanan saya bersama Iqbalullah "Balu" Azam, adik kelas saya dan sesama pecinta kereta api. Perjalanan kami dilakukan pada bulan September 2018 lalu. Kami menyusuri rel kereta dan stasiun non-aktif di Ponorogo, mulai dari stasiun Ponorogo, stasiun Jetis, Balong dan berakhir di stasiun Slahung. Setiap stasiun akan saya tuliskan catatan perjalanannya secara berseri.

Stasiun Ponorogo merupakan stasiun kereta api non aktif yang terletak di Mangkujayan, Kec. Ponorogo, Kab. Ponorogo. Stasiun ini berada di sekitar Pasar Legi Songgolangit. Ia berada di ketinggian +99mdpl ini dan termasuk dalam kawasan Wilayah Aset Daerah Operasi (Daop) VII Madiun. 

Stasiun Ponorogo dibangun sekitar tahun 1907 oleh Statspoorwegen seiring pembangungan Jalur Madiun-Ponorogo. Stasiun ini dibangun untuk memperlancar angkutan hasil pertanian dari Ponorogo ke Madiun untuk dikrimkan ke kota-kota lain atau diekspor. Stasiun Ponorogo awalnya merupakan stasiun terminus dari jalur tersebut. Akan tetapi, pembangunan jalur kereta api di Ponorogo dilanjutkan menuju Slahung keperluan distribusi bahan tambang. Jadilah stasiun ini awal dari alur Ponorogo-Slahung. Selain itu terdapat pulajalur kereta menuju Babadan namun jalur tersebut ditutup sejak penjajahan Jepang. Bekasnya pun hampir tidak terlihat lagi saat ini.
Jalur KA Ponorogo-Slahung tahun 1970an 

Stasiun Ponorogo dulunya melayani angkutan penumpang dan barang dari Slahung dan Madiun atau sebaliknya. Sarana kereta api yang digunakan adalah kereta dengan lokomotif uap. Kereta api dari Slahung biasa mengangkut hasil bumi berupa sayuran yang kemudian dipasarkan di Ponorogo dan Madiun. Jalur tersebut melintasi beberapa ruas jalan raya di kota Ponorogo seperti Jl. Soekarno-Hatta, Jl. Gadjah Mada, dan Jl. Juanda. Karena melayani lokomotif uap, stasiun ini memliki meja putar (turntable) untuk memutar lokomotif sehingga dapat digunakan untuk menarik kereta ke berbagai jalur. 

Sayang sekali, stasiun Ponorogo ditutup pada tahun 1984. Penutupannya seiring dengan penutupan jalur Madiun-Slahung. Jalur ini ditutup karena sepi peminat. Sejak awal dibuka hingga tahun itu, kereta api jalur tersebut hanya mengandalkan sarana kereta uap. Kereta uap berjalan sangat lambat sehingga kalah cepat dibandingkan alat transportasi lain. Hal inilah yang mengakibatkan kereta api okupansinya menurun sehingga harus ditutup.
Saat ini, stasiun tersebut telah beralih fungsi. Bangunannya masih utuh, namun kini digunakan untuk warung pecel dan kios pulsa. Ia telah menyatu dengan kawasan Pasar Songgolangit seiring pembangunan pasar yang semakin pesat. Warung pecel tersebut selalu laris. Bahkan, Maybi Probowo yang "mengantarkan" saya ke sana kehabisan pecel dan hanya memesan kopi.

Perjalanan kami dimulai dari kampus kami. Perjalanan dari kampus di daerah Siman ke sana menempuh sekitar 5-7 menit. Dari perempatan Gajah Mada belok kiri ke arah alun-alun Ponorogo melewati patung Warok dan kawasan Ngepos yang terkenal dengan satenya, kemudian lurus ke Polres Ponorogo di Jl. Bhayangkara. Kemudian belok kanan ke timur melalui Jl. Urip Sumoharjo menuju perempatan Sonnggolangit dan belok kiri ke utara di Jl. Soekarno-Hatta. Kira-kira 250 m setelah perempatan kami menjumpai warung dengan banner bertuliskan warung stasiun. 

Kami pun mencicipi nasi pecel khas eks Stasiun Ponorogo. Rasanya kami beruntung karena bisa datang pagi-pagi dan dapat menikmati sepiring nasi pecel. Seperti nasi pecel pada umumnya, nasi disajikan dengan sayur-sayur bersiram saus kacang. Tidak lupa tempe goreng sebagai lauk pauk juga dihidangkan. Rasa bumbunya sedang, tidak terlalu pedas dan tidak juga terlalu manis. Tak lupa secangkir kopi panas setelah makan untuk memulai penjelajahan. Harganya pun sangat terjangkau, sekali makan cukup menghabiskan Rp 7000,00- Rp 10.000,00 tergantung lauk dan minuman yang dipilih.

Sembari menikmpat sarapan nasi pecel, kami menyempatkan pula untuk mengobrol dengan penjual nasi pecel tersebut. Penjualnya adalah seorang wanita paruh baya, kira-kira usianya 40-an tahun. Ibu yang tidak sempat kami tanyakan namanya itu bercerita tentang warung itu. Kata beliau, warung pecel itu telah ada sejak stasiun aktif. Posisinya waktu itu agak masuk ke emplasemen. Meskipun stasiun kereta sudah tidak lagi aktif, warung pecel masih tetap berjualan hingga kini. Letaknya pun kini telah memenuhi setengah bangunan stasiun, berbagi tempat dengan kios pulsa di sebelahnya.

Kenyang dengan sepiring pecel, kami pun mengunjungi bekas emplasemen stasiun. Emplasemen berada tepat di belakang warung. Emplasemen tersebut menyisakan rel kereta dengan jumlah sekitar 3-4 ruas. Emplasemen stasiun menyisakan ruang terbuka berukuran lumayan luas yang digunakan warga setempat untuk parkir kendaraan bongkar muat pedagang. Rumah-rumah warga mengitari kawasan eks-emplasemen stasiun. 
Kondisi di bekas emplasemen stasiun Ponorogo

Kami didampingi oleh serang warga sekitar untuk berkeliling kawasan eks-stasiun. Pak Amir (bukan nama sebenarnya) menceritakan kepada kami bahwa dahulu stasiun ini ramai dengan bongkar muat barang dagangan dari dan ke pasar Songgolangit. Beliau juga menunjukkan kepada kami salah satu jalur kereta yang diduga sepur lurus menuju Slahung. Rel tersebut sudah tertutup oleh bangunan toilet dan musholla. 
Kondisi bekas rel di kawasan eks-stasiun Ponorogo


Bekas turntable yang jadi pembuangan bekas batok kelapa

Tak lupa beliau mengajak kami ke lokasi turntable. Lokasinya berada kurang lebih 20 meter di sebelah barat stasiun. Saat ini turntable tertutupi oleh pabrik tempe. Turntable hanya menyisakan lubang besar sedalam kira-kira 30 cm. Padahal, kedalamannya dahulu bisa lebih dalam dari yang terlihat saat ini. Saat kami ke sana, turntable hanya nampak seperempatnya karena sisanya dititup oleh warga menggunakan gedek (pagar dari anyaman bambu). Lubang bekasnya saat ini digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Lagipula, mau dijadikan apalagi kalau tidak dapat digunakan?

Banyak sejarah tersimpan dalam stasiun ini. Stasiun ini menjadi saksi kereta api sempat melintasi kota Ponorogo. Tidak hanya itu, stasiun ini pula telah menyaksikan bahwa kereta api telah menopang perekonomian masyarakat Ponorogo. Letaknya yang berdekatan dengan Pasar Songgolangit menjadikannya salah satu transportasi andalan mereka bagi masyarakat khususnya para pelaku usaha di kawasan pasar. Perkembangan teknologi transportasi khusunya transportasi jalan raya menurunkan okupansi kereta api hingga akhirnya harus dihentikan operasionalnya.

Sumber gambar: pribadi dan surabayaonline.co

Posting Komentar

0 Komentar