Menjelajahi Bekas Stasiun Jetis yang Menyendiri

Setelah menjelajahi stasiun Ponorogo, saya bersama Iqbalullah "Balu" melanjutkan pernelusuran kami ke stasiun-stasiun mati di kota Ponorogo. Kami bergerak ke arah selatan menuju arah Pacitan melewati kawasan Tonatan dan Ponorogo City Centre (PCC). Kemudian berbelok ke selatan menuju Jetis melewati kawasan Siman dan kampus tercinta UNIDA Gontor tentunya.

Setelah perjalanan sekitar 7 menit dan sempat berhenti sejenak untuk mengambil uang, kami pun menghentikan langkah kami di stasiun Jetis. Stasiun Jetis berada agak menjauh dari pasar Jetis, kira-kira 200 m di selatan pasar. Stasiun Jetis terletak persis di pinggir jalan raya Jetis (Jl. Gajahmada versi Google Maps). Meskipun menjauh dari pasar, eks stasiun masih terbilang strategis karena masih dekat dengan beberapa toko.

Oh, ya! Sebelumnya, aku kelaskan sedikit informasi tentang bekas stasiun ini. Stasiun Jetis adalah stasiun kereta api non-aktif yang terletak di desa Jetis, Kec. Jetis, Kab. Ponorogo. Stasiun non-aktif ini berada di ketinggian +103 mdpl dan termasuk ke dalam Wilayah Aset Daop VII Madiun. Stasiun ini dibangun oleh Statspoorwegen (SS) dan dibuka tahun 1907 seiring perpanjangan jalur Madiun-Ponorogo hingga Balong. Pembangunan jalur tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi angkutan hasil bumi dari pelosok Ponorogo ke Madiun yang selanjutnya dipasarkan ke kota-kota besar lainnya. Namun, nasibnya sama dengan stasiun Ponorogo. Stasiun ini harus ditutup pada 1984 karena okupasi rendah.

Kembali ke perjalanan! setelah tiba di eks-stasiun Jetis, kami pun memarkirkan tunggangan tepat di depan stasiun. Siang hari itu cukup cerah di sekitar Jetis dan cuacanya panas. Gaya arsitektur klasik a la SS masih kental dengan plesteran batu kali di bawahnya.  Seluruh temboknya dicat warna putih. Di bagian tengahnya terdapat pintu  dan jendela dari tripleks berwarna coklat. Keduanya diapit oleh dua tiang dari plesteran batu yang berwarna senada dengan warna dinding. Di bagian atas sisi utara bangunan tertulis "DJETIS +103", sebuah tanda lokasi dan ketinggian stasiun berada. Tulisannya masih awet tulisannya karena dibuat dari cetakan semen. Ketika itu, nama stasiun dibuat dari semen yang dicetak, bukan dari plang besi seperti yang ada di stasiun-stasiun kereta saat ini.

Dilihat dari depan, bangunannya masih terawat dan apik. Namun, saat kami blusukan lewat gang kecil di sebelah utara bangunan, ternyata kondisinya cukup menyedihkan! Ia tampak seperti rumah tua yang ditinggalkan oleh penghuninya. Peron stasiun menghadap ke timur dan agak menjorok ke dalam. Eks stasiun ini sempat digunakan sebagai rumah tinggal. Buktinya, banyak barang-barang rumah tangga berserakan di peron stasiun. Bekas peron kemudian digunakan sebagai pintu belakang rumah tersebut.

Saya juga menyempatkan untuk menyeberang stasiun. Di seberang stasiun terdapat 3 unit rumah yang juga sama-sama bergaya klasik. Rumah pertama dicat dua warna, biru muda di bagian atas dan biru dongker di bawahnya. Rumah kedua lebih kecil dari yang pertama. Rumah terakhir seukuran dengan yang pertama tetapi dicat dengan warna berbeda, yakni kombinasi antara krem dan coklat tua. Rumah terakhir ini yang paling terlihat dari luar karena posisinya yang menghadap langsung halaman. Sedangkan, dua rumah di sampingnya terlihat mojok. Ketiga rumah tersebut kemungkinan merupakan rumah dinas pegawai stasiun. Hal itu terlihat dari papan tanda aset PT KAI (masih menggunakan logo Perumka) di samping pintu rumah ketiga. Ketiga rumah tersebut masih berpenghuni dan terawat dengan baik.

Kemudian kami kembali ke depan stasiun. Kami mencoba membuka pintu depan untuk melihat interior stasiun. Ternyata pintunya dikunci. Sepertinya penghuni rumah ini telah mengunci rumah ketika pindah, atau mungkin PT KAI sebagai empunya bangunan yang menutup akses ke dalam untuk umum setelah si penghuni meninggalkan rumah. Kami terpaksa mengintip dari jendela. Ukuran jendelanya tinggi besar khas bangunan lawas. Namun, kita tidak bisa mengintip lebar-lebar karena bagian dalamnya dilapisi oleh kertas. Dari jendela yang hanya sedikit terbuka, nampaklah interior bekas stasiun. Terlihat dua tiang batu berdiri membatasi antar dua ruangan yang berbeda ukuran. Ruangan depan lebih luas dari yang belakang. Kemungkinan ruang yang lebih luas adalah ruang tunggu dan satunya adalah peron stasiun.


Selesai iseng mengintip jendela stasiun, kami kembali ke peron stasiun. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, peron stasiun telah dijadikan halaman belakang oleh si penghuni rumah. Emplasemen stasiun pun sebagiannya telah tertutup oleh bangunan tinggi. Bangunan itu berdiri tepat di belakang bekas stasiun. Sepertinya bangunan itu adalah gudang barang-barnag pasar. Selain gudang, kawasan emplasemen stasiun dijadikan tanah lapang oleh penduduk. Ada juga beberapa rumah yang berdiri di areal tersebut.

Ketika kami hendak beranjak dari stasiun, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil kami. "Woy...!" Sontak kami pun terkejut. Awalnya kami mengacuhkan suara tersebut dan berniat untuk beranjak dari tempat itu. Namun, ternyata suara itu kembali menggema. Kami pun bertambah bingung. Akhirnya, kami memberanikan diri kembali ke belakang dan memeriksa keadaan. Kami pun membalikkan badan dan memandang ke belakang. Ternyata, kami melihat dua orang pria duduk di amben (balai-balai) bambu. Salah seorang dari mereka sudah tampak tua dan satu lagi lebih muda. Kami tampak saling menatap.

Kami pun mendekati mereka berdua dengan perasaan takut. Takut kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Pelan-pelan kami mendekati mereka hingga jarak kami sejengkal dengan mereka berdua.

Si kakek tua tampak melambaikan tangan memanggil kami. Semakin dekat, kami pun berhadapan dengan beliau. Kemudian, beliau mempersilahkan kami duduk di sebelahnya. Balu-lah yang duduk di sebelahnya. Sementara, saya berdiri di depan mereka. Balai-balainya hanya cukup diduduki bertiga sedangkan kami sudah berempat di sana.

Mbah Slamet (bukan nama aslinya) kemudian menanyakan asal kami. Karena menggunakan bahasa Jawa, Balu yang asli Trenggalek yang menjawab pertanyaan beliau. Ia kemudian yang paling banyak mengobrol dengan Mbah Slamet. Ia sangat fasih berbahasa berbahasa Jawa kromo (halus) sehingga hampir selalu bisa menanggapi apa yang dikatakan oleh Mbah Slamet. Sedangakan saya hanya menyimak sambil bersandar di tiang rumah.

Setelah basa-basi, beliau bercerita tentang bagaimana jalur ini masih ada. Sekali lagi dengan bahasa Jawa. Kata beliau, beliau tahu banyak tentang kereta api yang selalu lewat meskipun beliau jarang naik kereta. Ini karena beliau punya banyak teman yang dari Pacitan yang sering naik kereta api.

Mengenai jalur yang sudah tak aktif, beliau ternyata masih membayar retribusi untuk KAI. Retribusi dibayar setiap 3 tahun sekali. Pihak KAI-lah yang datang ke sana menagih ke beliau dan para warga yang menempati wilayah aset. Namun, beliau tidak menyebutkan berapa nominal yang harus dibayar.

Beliau juga berpesan kepada kami bahwa kita harus minta izin kalau mau mengambil sesuatu. Jangan mencuri, jangan mengambil hak milik orang lain. Beliau mungkn sejak awal telah memantau gerak-gerik kami selama napak tilas di stasiun. Sepertinya, Mbah Slamet melihat kami mengambil gambar dan video seperti pencuri, asal jepret tanpa permisi. Mendengar nasihat beliau, kami malu-malu sendiri.

Begitulah sedikit catatan napak tilas saya di eks Stasiun Jetis. Stasiun ini menyimpan sejarah yang besar sebagaimana stasiun Ponorogo. Sayangnya, saat ini ia dibiarkan berdiri mematung tanpa ada yang memedulikannya. Padahal, ia pernah menunjang perekonomian kota ini. Letaknya yang dekat dengan pasar Jetis menjadi bukti bahwa ia telah berjasa dalam peningkatan ekonomi masyarakat Kota Reog. Saat ini, biarlah ia menjadi saksi bahwa kereta api telah lalu lalang melintas jalanan Ponorogo.

Nb: Mohon maaf apabila beberapa foto tidak berkualitas baik karena ia hasil capture dari video pribadi saya.

Posting Komentar

4 Komentar

  1. wahh gokil juga nih mas bro
    Untung pas nengok ke jendela gak ada yang berdiri di sudut ruangan ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, kalau kayak gitu mah kita udah pada kabur duluan...🤣

      Hapus
  2. rata2 memang di tahun 80an beberapa stasiun maupun jalur kereta api ditutup termasuk nasib jalur Purwokerto-Banjarnegara-Wonosobo yang kini tinggal sisa rel dan stasiunnya saja padahal ini dulunya merupakan jalur SDS pada zaman belanda

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apakah itu termasuk jalur yang melewati stasiun Purwokerto Timur?

      Hapus