Pembangunan dan Kejayaan Islam di Masa Kekuasaan Maulana Hasanuddin di Banten (1552-1570)

Pendahuluan
Kerajaan Banten merupakan kerajaan Islam yang beroengaruh di Jawa Barat. Kesultanan ini diperkirakan berkuasa sekitar abad XIV-XIX. Tome Pires menyebutkan bahwa Banten menjadi pelabuhan dagang yang ramai sejak tahun 1522. Pada awalnya, Banten merupakan bagian kerajaan Demak. Namun, setelah Demak runtuh, Maulana Hasanuddin menyatakan Banten sebagai negara merdeka. Selama ia berkuasa, Banten mencapai puncak kejayaannya.

Salah seorang tokoh yang berpengaruh dalam kejayaan Banten adalah Maulana Hasanuddin. Maulana Hasanuddin adalah putra Sunan Gunung Djati dan pendiri kerajaan Banten. Ada pula yang mengatakan dia merupakan sultan Banten setelah ayahnya. Dia bersama ayahnya dan pasukan Demak menaklukkan Banten kemudian mendirikan sebuah wilayah kekuasaan. Semasa dia berkuasa, pembangunan-pembangunan banyak digalakkan untuk memperbesar pengaruh Banten dalam peta perpolitikan Islam di Nusantara.

Makalah ini akan menjelaskan pengaruh Maulana Hasanuddin dalam kejayaan kesultanan Banten. Tulisan ini akan dimulai dengan sejarah kerajaan Banten mulai dari penaklukkan Syarif Hidayatullah atas Banten hingga kejayaannya di masa Maulana Hasanuddin. Terakhir, akan dijelaskan aspek-aspek pembangunan Banten di bawah kekuasaan Maulana Hasanuddin.
     Riwayat Hidup Maulana Hasanuddin 
Sultan Banten pertama Maulana Hasanuddin (Sumber gambar: https://commons.wikimedia.org)
Maulana Hasanuddin adalah pendiri dan penguasa pertama kesultanan Banten. Dia merupakan putra Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Djati dari Nyi Kaung Anten.  Dia dilahirkan pada tahun 1479. Ibunya, Nyi Kaung Anten, adalh putri Prabu Surasowan, penguasa Kaung Anten. Ketika Prabu Surasowan wafat, kekuasaan Kaung Anten diwariskan kepada pamannya atau kakak ibunya, Arya Surajaya. Saat Arya Surajaya berkuasa, Sunan Gunung Djati memilih untuk kembali ke Cirebon.

Meskipun ayahnya pulang ke Cirebon, ia tetap tinggal di Banten. Ia mengabdikan dirinya kepada masyarakat dengan mengajar ilmu-ilmu agama Islam (Zuraya & Fakhruddin, 2010). Aktivitasnya inilah yang membesarkan namanya di masyarakat Banten saat itu. Santri-santrinnya tersebar di beberapa daerah di Banten. Penyebaran agama Islam di Banten pun dimulai pada saat kedatangannya. Dia pun mendapatkan panggilan Maulana Hasanuddin.

Saat beranjak dewasa, ia ditugaskan ayahnya untuk menyebarkan Islam di wilayah kerajaan Pajajaran. Pajajaran merupakan kerajaan Hindu di Jawa Barat. Ia sukses menyebarkan Islam di daerah Banten utara yang merupakan kekuasaan Pajajaran. Jalan dakwah Maulana Hasanuddin di Pajajaran dihalangi raja Pajajaran yang mengeluarkan kebijakan membatasi pedagang masuk ke Banten. Raja Pajajaran juga menjalin hubungan dengan Portugis sehingga menyulut amarah dari Maulana Hasanuddin. Akhirnya ia memutuskan untuk memberontak terhadap raja Pajajaran. Setelah menyebarkan Islam di Banten, ia pun menjadi sultan pertama Banten. Dia berkuasa selama 18 tahun (1552-1570) dan wafat pada tahun 1570  di usia 91 tahun

Berdirinya Kesultanan Banten

Kesultanan Banten (Sumber gambar: https://commons.wikimedia.org)
Kesultanan Banten pada awalnya adalah sebuah pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi para pedagang dari Arab dan Tiongkok. Ramainya pelabuhan Banten pada saat itu tidak terlepas dari perebutan Portugis atas Malaka. Para pedagang yang merasa gengsi bersaing dengan Portugis akhirnya berpindah ke Banten. Tome Pires mengatakan bahwa pada tahun 1513 Banten belum menjadi pelabuhan yang diperhitungkan. Namun, ia telah menjadi pelabuhan penting kedua setelah Sunda Kelapa dari kerajaan Sunda. Setelah tahun 1522, Banten telah menjadi pelabuhan penting. (Abimanyu, 2014, hal. 452). Pelabuhan Banten menjadi pelabuhan penting bagi ekspor-impor beras, bahan makanan dan lada.

Sebelum menjadi sebuah kesultanan, Banten merupakan wilayah kerajaan Sunda. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Banten menjadi pelabuhan dagang yang ramai khususnya pada abad XIV. Ada pula yang berpendapat bahwa Banten telah menjadi pelabuhan internasional sejak abad ketujuh masehi (Berdirinya Kesultan Banten, hal. 1). Banten merupakan wilayah kekuasaan Pajajaran yang beragama Hindu. Pajajaran bertambah maju seiring Portugis menaklukkan Malaka tahun 1511 dan Pasai pada tahun 1521. Para pedagang Islam dari Arab, Persia, dan Gujarat yang awalnya berniaga dengan kedua kerajaan ini berpindah ke pulau Jawa kemudian ke Maluku (Hamka, 2001, hal. 775). Perpidahan para pedagang dari Malaka ke Banten inilah yang membuat ramai pelabuhan Banten dan mempengaruhi kemajuan Pajajaran.

Berdirinya kesultanan Banten diawali dengan keinginan Demak untuk memperluas kekuasaan. Bersama Sunan Gunung Jati, pasukan Demak menyerbu Banten pada tahun 1524 (Abimanyu, 2014, hal. 453). Tujuan penaklukkan pada saat itu adalah Banten Girang yang merupakan pusat pemerintahan Banten. (Hadiwibowo, 2013, hal. 2). Banten Girang terletak 3 km dari kota Serang tepatnya di kecamtan Cipocok Jaya (Berdirinya Kesultan Banten, hal. 1). Penguasa Banten Girang terakhir sebelum penaklukkan adalah Prabu Pucuk Umun. Pada tahun 1526, pasukan Demak berhasil menaklukkan Banten Girang. Prabu Pucuk Umun sendiri yang menyerahkan kekuasaan Banten secara sukarela. (Abimanyu, 2014, hal. 455)

Namun, Hamka (2001, hal. 775) berpendapat bahwa penaklukkan Banten tersebut merupakan upaya untuk menghadang Portugis. Portugis hendak mengincar lada yang berasal dari Banten. Strategi yang akan digunakan saat itu adalah dengan mengusir pedagang-pedagang Muslim dan menjalin kerjasama dengan Pajajaran sehingga mampu memonopoli perdagangan lada. Portugis pun mengutus pasukan yang dipimpin Henrique Leme. Mereka meminta izin Banten untuk mendirikan loji di sana. Perjanjian kesepakatan pun ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522. Sejak saat itu, Portugis bebas berdagang di Banten bahkan Sunda Kelapa.

Setelah berhasil menaklukkan Banten Girang, Sunan Gunung Jati memindahkan pusat pemerintahan Banten dari Banten Girang ke Surasowan. (Abimanyu, 2014, hal. 454) Sunan Gunung Jati menyerahkan kekuasaan Banten kepada Maulana Hasanuddin karena ia harus kembali ke Cirebon untuk berdakwah.Maulana Hasanuddin memulai  penguasaan atas Banten berdakwah ke penjuru daerah. Dia memfokuskan dakwahnya ke tempat-tempat keramat seperti Gunung Pulosari, Gunung Karang, Gunung Aseupan, sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon (Hadiwibowo, 2013, hal. 11)

Kesultanan Banten di Masa Maulana Hasanuddin: Pendirian dan Masa Kejayaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Banten (Sumber gambar: https://upload.wikimedia.org)


Maulana Hasanuddin menjadi penguasa pertama Banten atas pesan ayahnya yang kembali ke Cirebon (Abimanyu, 2014, hal. 454) atau ke Sunda Kelapa menurut Hamka (2001, hal. 777). Pada waktu  itu, Banten masih menjadi wilayah kekuasaan Demak. Dia menjadi adipati Banten sejak tahun 1526 sesuai penunjukan Sultan Demak. Karena kemajuan pesat selama kepemimpinannya, Banten menjadi negara Bagian Demak pada tahun 1552 dengan mempertahankan Maulana Hasanuddin menjadi sultan Banten (Zuraya & Fakhruddin, 2010). Setalah Demak runtuh dan digantikan oleh Pajang pada tahun 1568, Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten sebagai negara merdeka (Abimanyu, 2014, hal. 454).

Maulana Hasanuddin merupakan politikus ulung dan menginginkan perdamaian. Menurut Al-Hatta Kurdie, Kepala Seksi Pendidikan dan Informasi Kenadziran Masjid Agung Maulana Hasanuddin Banten, Ketika menaklukkan Banten, tidak ada pertempuran berarti antara kedua belah pihak. Dia menerima ajakan Prabu Pucuk Umun untuk mengadu ayam jago. Ketentuan yang disepakati adalah jika ayam Prabu Pucuk Umun kalah, dia harus menyerahkan kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin dan dia bebas menyebarkan Islam di Banten. “Ternyata ayam Pucuk Umun kalah dan ia melepaskan keadulatannya atas Banten, kemudian bermukim di Ujung Kulon.” Tutur Hatta (Zuraya & Fakhruddin, 2010). Langkah ini dipilih oleh Hasanuddin agar tidak terjadi pertumpahan darah dan tidak memicu konflik antar agama.
Benteng Surosowan, pusat kekuasaan Kesultanan Banten (Sumber gambar: http://kekunaan.blogspot.co.id)

Langkah awal yang Hasanuddin ambil sebagai penguasa Banten adalah mengajak penduduk Banten untuk memeluk Islam. Ia kemudian 800 orang untuk masuk Islam atau tetap memeluk agama Hindu dengan kewajiban membayar upeti. Sebagian besar penduduk menerima ajakan tersebut namun sekitar 40 orang mengingkari ajakan ini dan melarikan diri dan merekalah yang saat ini dikenal sebagai suku Badui, sebagaimana yang disampaikan oleh Hatta (Zuraya & Fakhruddin, 2010). Meskipun demikian, Hasanuddin tetap membiarkan mereka tinggal di sana. Hal ini menunjukkan toleransinya terhadap rakyat yang berbeda keyakinan.

Hasanuddin juga memperluas kekuasaan Banten. Di masa kekuasaannya, kekuasaan Banten meliputi seluruh daerah Banten, Jayakarta, Karawang, Lampung, dan Bengkulu (Zuraya & Fakhruddin, 2010). Selain memperluas wilayah, dia juga memperluas pengaruh Banten di antara kerajaan-kerajaan di Nusantara. Ia melakukan kontak dagang dengan sultan Malangkabu (Minangkabau, Kesultanan Inderapura) Sultan Munawar Syah dan sultan Inderapura menghadiahinya keris (Berdirinya Kesultan Banten, hal. 2). Suatu ketika, ketika ia mengunjungi Inderapura untuk mendapatkan wilayah Selebar (Bengkulu), ia disambut secara meriah oleh kerajaan Inderapura di laut Muara Sakai. Ia pun dikawinkan oleh Sultan Inderapura dengan puterinya, dan dihadiahilah daerah Selebar untuk memenuhi hajat hidup. Dia pun mengikat janji untuk melanjutkan perjuangan untuk meningkatkan syiar Islam, melawan Portugis dan menentang Hindu (Hamka, 2001, hal. 780).

Pembangunan-pembangunan pesat juga dilakukan pada masanya. Pembangunan-pembangunan ini meliputi pembanguan keamanan, peningkatan arus perdagangan dan penyebaran agama Islam. Dalam pembangunan keamanan, ia memindahkan pusat pemerintahan dari Banten Girang ke Surosowan membangun Surosowan menjadi pusat pemerintahan yang strategis. Surosowan terletak tidak jauh dari pelabuhan Banten dan dibangunlah di sana istana, pasar, dalem (istana), masjid, alun-alun (Hadiwibowo, 2013, hal. 12). Hasanuddin membangun Surosowan sekitar tahun 1526, menurut tradisi lokal. Pemindahan ini dimaksudkan untuk memperkuat hubungan dengan pesisir Sumatera melalui Selat Sunda dan Samudera Hinda. Melihat pula kondisi Malaka yang jatuh ke tangan Portugis sehingga pedagang-pedagang berbelok arah ke Banten (Abimanyu, 2014, hal. 454). Sehingga hal ini memberikan keuntungan bagi Banten dalam politik dan ekonomi.

Karena banyaknya pedagang yang berniaga di Banten, Banten pun menjadi kesultanan yang berpengaruh dalam ekonomi melalui pelabuhannya. Banten dengan mudah mengekspor barang-barangnya. Hasil ekspor Banten adalah lada, nila, kayu cendana, cengkih, buah pala, kulit penyu dan gading gajah (Hamka, 2001, hal. 779). Para pedagang pun banyak menjual barang-barang di pelabuhan ini. Pedagang Arab membawa permata dan obat-obatan, pedagang dari Tiongkok membawa porselen, kertas sutera dan lain-lain. Sementara itu, pedagang-pedagang lokal banyak membawa bahan-bahan makanan. Garam dari Jawa Timur, beras dari Mengkasar (Makassar) dan Sumbawa, dan rempah-rempah dari Maluku. Perdagangan-perdagangan internasional membuat kebudayaan pesisir Banten kala itu lebih heterogen (Hadiwibowo, 2013, hal. 13).

Hasanuddin juga berkontribusi dalam penyebaran Islam di Banten. Ia mendirikan Masjid Agung Banten, Masjid Kasunyatan dan pesantren. Selain mendirikan masjid dan pesantren, ia juga mengirim ulama ke berbagai daerah kekuasaannya (Abimanyu, 2014, hal. 455). Penyebaran Islam di Banten membuahkan hasil yang memuaskan. Banyak orang dari luar daerah yang sengaja belajar di Banten, sehingga banyak berdiri perguruan seperti di Kasunyatan (Zuraya & Fakhruddin, 2010). Perdagangan pula berpengaruh dalam penyebaran Islam di Banten. Tak jarang, pedagang-pedagang khususnya dari Arab berdagang sambil menyebarkan Islam. Lewat pesisir, awalnya Islam di kesultanan Banten berpengaruh besar terhadap penyebaran Islam di daerah pedalaman. Maka, selain karena faktor ekonomis, pemindahan ibukota dimaksudkan untuk memudahkan penyebaran Islam di daerah pedalaman (Hadiwibowo, 2013, hal. 13).

Penutup

Dari pemaparan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa kerajaan Banten merupakan kesultanan Islam yang berpengaruh di Nusantara. Sebelum berkembang menjadi sebuah kesultanan, Banten merupakan pelabuhan yang ramai di masa kerajaan Pajajaran. Setelah ditaklukkan oleh Demak beserta Sunan Gunung Jati, ia menjadi kekuasaan Demak dengan Maulana Hasanuddin sebagai adipati Banten. Setelah Demak runtuh, Banten menjadi kesultanan dengan Hasanuddin menjadi sultan Banten.

Di masa Maulana Hasanuddin, banyak perubahan yang ia buat selama 18 tahun kekuasaannya. Dia memindahkan pusat pemerintahan Banten ke Surosowan dan membangun berbagai infrastruktur di dalamnya. Dia mempereluas kekuasaan Banten hingga Bengkulu dan menjalin hubungan dengan kerajaan lain. Dia juga menjadikan pelabuhan Banten sebagai pelabuhan dagang internasional. Penyebaran Islam pun mulai berkembang di zamannya. Dia membangun sarana keagamaan seperti masjid dan pesantren. Maka, pada zamannya, Banten berkembang melalui tiga aspek: politik, ekonomi dan agama

Daftar Pustaka                     

Abimanyu, S. (2014). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Laksana.
Berdirinya Kesultan Banten. (t.thn.). Dipetik Mei 19, 2016, dari BantenProv.Go.Id | Website Resmi Pemerintahan Provinsi Banten: http://bantenprov.go.id/upload/Sejarah/3.%20Berdirinya%20Kesultanan%20Banten.pdf
Hadiwibowo, T. U. (2013). Perkembangan Kesultanan Banten pada Masa Pemerintahan Sultan Maulana Yusuf (1570-1580). Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
Hamka. (2001). Sejarah Umat Islam. Singapura: Perpustakaan Nasional Pte Ltd.
Zuraya, N., & Fakhruddin, M. (2010). Sultan Maulana Hasanuddin: Penguasa Muslim di Banten. Jakarta: Republika.

Posting Komentar

0 Komentar