Melawan Hoax, Menebarkan Inspirasi


Kita semua saat ini tidak bisa dari media sosial (medsos). Patform medsos yang paling sering saya gunakan adalah Facebook dan Instagram. Saya merasa lebih sreg dengan kedua platform tersebut karena lebih “berwarna” dengan ada foto, video, dan tulisan caption yang bisa dibuat sepanjang apapun sampai sepanjang makalah (meski saya kadang jengkel membaca caption instagram teman yang terlalu panjang). Sebagai pengamat medsos (lebih tepatnya stalker), saya berkali-kali mengamati berbagai fenomena di sana mulai dari yang biasa saja sampai yang aneh atau emosional. Apapun saat ini diekspresikan di media sosial. Ada banyak meme-meme yang jadi tombo bosan saya di medsos dan saya download untuk keperluan perang meme di grup WhatsApp😂. Kita belajar macam-macam juga bisa dari medsos. Ada diskusi juga di sana, baik yang masalah hal kecil seperti belanja online, modifikasi motor, hewan peliharaan, klub favorit sampai hal-hal berat seperti isu politik, sosial, masalah kenaikan harga, masalah konflik Rohingya dan sebagainya.
Medi sosial benar-benar telah membuka mata kita. Membuka mata untuk tahu apa yang terjadi di luar jarak pandang kita. Kita pun tak perlu lagi mengeluarkan uang lagi untuk membeli surat kabar dan majalah untuk melek informasi. Sekarang, saat kita bangun tidur, kita sudah bisa membuka smartphone kita dan membaca kabar berita di website. Jangankan di website, berbagai media sudah tersedia berbagai berita, baik itu artikel maupun pranala ke berita itu. 

Media sosial benar-benar telah membuka mata kita. Membuka mata untuk tahu apa yang terjadi di luar jarak pandang kita. Kita pun tak perlu lagi mengeluarkan uang lagi untuk membeli surat kabar dan majalah untuk melek informasi. Sekarang, saat kita bangun tidur, kita sudah bisa membuka smartphone kita dan membaca kabar berita di website. Jangankan website, berbagai media massa mempunyai halaman medsos untuk menarik pelanggan dan memudahkan pembacanya mendapatkan berita.

Medsos pun menjadi tempat diskusi bagi siapapun. Siapa saja berhak membuka topik, mengajukan pendapat dan menyanggahnya, dan mengajukan kritik dan saran. Siapapun dia, apapun pekerjaannya, bagaimana strata sosialnya, semua berhak untuk berekspresi. Dari anak-anak, remaja alay, remaja masjid, tukang becak, ibu-ibu sampai mahasiswa dan akademisi mampu mengeluarkan statemen mereka masing-masing tentang suatu hal. Banyak perkara yang diekspresikan dalam medsos, mulai dari curhat, sharing pengalaman pribadi sampai membicarakan isu-isu kontemporer. Ibu rumah tangga saat ini pun lantang mengkritik pemerintahan Joko Widodo hingga dipidana gara-gara ujaran kebencian. Akhirnya, muncul statement, "Ibu-ibu 2017 lebih kritis dari mahasiswa 2017 karena mereka  adalah mantan aktivis 1998." Jelas ini menyindir kita yang masih duduk di bangku kuliah.

Konten media sosial pun beragam. Mulai dari curhatan remaja alay, sharing pengalaman, tutorial, sampai membahas politik. Kalau dulu, menulis  berita atau opini tentang politik, ekonomi, hukum dsb. hanya bisa melalui media massa seperti koran dan majalah. Penulis harus bersaing dengan ribuan penulis lainnya agar tulisannya dimuat. Dalam sehari, kira-kira hanya satu atau dua tulisan yang dapat dimuat di media massa. Sekarang, apapun bisa dituliskan dan dibagikan. Postingan di medsos tak memandang siapa dan bagaimana yang membagikannya. 

Pengguna media sosial di Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Pengguna media sosial di Indonesia mencapai 106 juta orang dan 85% dari penggunanya mengakses media sosial melalui perangkat seluler. Pengguna media sosial didominasi oleh generasi milenial (lahir kira-kira 1980-1990an) dan generasi X (kira-kira yang lahir pada 1990-2000an, ditandai dengan generasi yang telah melek internet, ). Platform yang paling banyak digunakan adalah Fecebook, Instagram dan YouTube. Jumlah yang besar, bukan?

Selalu ada yang dibicarakan di media sosial hari ini (Ini adalah trending topic di Twitter 27 Oktober 2017)

Besarnya pengguna medsos di Indonesia mempengaruhi medsos itu sendiri. Orang Indonesia secara umum banyak bersikap reaktif terhadap suatu isu. Maka, mereka dengan cepat mengomentari dan membagikan posting yang mengubah  emosi mereka. Selalu ada yang ditanggapi dan dikomentari sehingga menjadi viral. Terakhir, berita kematian Choirul Huda, kiper Persela, kebakaran pabrik mercon di Tangerang, gol solo run Terens Puhiri vs Mitra Kukar, dan foto kasih sayang anak terhadap orang tuanya di kereta viral di media sosial. 
Foto yang menggambarkan cinta kasih keluarga yang viral di medsos beberapa hari lalu. Sumber: Restoris A. Fathia 

Saking banyaknya postingan di media sosial, kita kadang tidak mencari validitas isinya. Benarkah kiriman tersebut? Apakah ia berasal dari sumber terpercaya? Kalau benar, mari kita sebarkan. Kalau tidak, sebaiknya kita waspadai! Seharusnya, kita melacak kebenaran berita tersebut. Jika tidak benar, itulah yang dinamakan hoax.

Fenomena Hoax di Media Sosial

Kita sudah sering menjumpai istilah hoax. Banyak di antara kita yang menanggapi sebuah berita, "Ah, hoax tuh!" tapi mungkin belum banyak yang tahu apa itu hoax. Saya akan menjelaskannya di bawah ini.

Hoax adalah berita bohong. Menurut Hoax menurut Oxford berarti "malicious deception" yang artinya "kebohongan yang dibuat untuk tujuan jahat. Hoax merupakan penyelewangan berita dari konteks aslinya untuk tujuan tertentu. Biasanya untuk meraih keuntungan dari kunjungan orang ke situsnya. Agar terlihat menarik, pencipta berita hoax akan mencatut sumber-sumber yang katanya valid dari pemerintah atau dari lembaga manapun, agar mengundang kesan terpercaya.
Berita hoax di Indonesia sudah tak terkira jumlahnya. CNN Indonesia melansi data dari Kemenkominfo bahwa telah beredar lebih dari 800.000 situs hoax dan ujaran kebencian selama 2016. Itu saja baru situsnya, lho! Bayangkan, berapa jumlah berita dan artikel hoax yang sudah muncul?! 

Hoax ada berbagai macam. Macam-macam hoax adalah  hoax proper, yaitu berita yang benar-benar bohong yang memang dibuat sengaja untuk menipu orang. Kedua, berita dengan judul dan isi tidak sesuai. Judulnya heboh dan bikin penasaran, tapi isinya berbeda. Pasti banyak berita yang demikian.
Foto Ahok yang sempat viral di masa tahanannya. Katanya, penjara ada kolam renang. Padahal, ini foto tahun 2014

Ketiga, Berita benar dalam konteks menyesatkan. Dalam kasus ini, kebanyakan penyebar menggunakan berita atau sumber lama namun diangkat kembali di media. Salah satu hoax model ini yang beredar adalah foto Ahok sedang berenang. Foto tersebut disebarkan oleh akun @icm212 pada 3 Agustus lalu dan viral di jagat Twitter. Tertulis dalam unggahan tersebut "Penjara model baru.. ada kolam renang alamnya." Foto itu memang benar Ahok lagi berenang. Namun, foto tersebut adalah foto tahun 2014 saat beliau masih menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, Ahok bersama keluarga berwisata ke pantai pribadinya di Manggar, Belitung Timur. Foto tersebut menimbulkan polemik di kalangan warganet.

Untuk apa hoax dibuat? Ada berbagai motif di balik berita hoax. Pertama, mengejar keuntungan materil. Sekali klik, pengedar berita hoax bisa mendapatkan uang melalui Pay per Click (PPC) dan iklan dalam website tersebut. Najwa Sihab dalam Mata Najwa pernah mewawancarai seorang publisher berita hoax. Dalam sebulan, penghasilan berita hoax telah mencapai Rp 300-500 juta per bulan. Dalam setahun, berarti ada penghasilan sampai Rp 5 miliar yang dia dapatkan dari situ.
Baca juga: Penyalahgunaan Informasi/Berita Hoax di Media Sosial - mti.binus.ac.id

Kedua, mengejar kepentingan golongannya. Hoax bukan hanya untuk materi, tapi juga untuk mengajak masyarakat untuk percaya satu hal kemudian bersikap untuk itu. Misalnya begini, si A anti terhadap pemerintah sekarang. Untuk mendukung keyakinannya, ia mencari berita-berita yang kredibel kemudian ia pelintir agar menimbulkan kesan seperti opininya. Atau, dia mendapatkan foto seseorang kemudian dia buat berita sesukanya tanpa melihat kebenaran berita tersebut. Contohnya seperti foto Ahok yang pernah saya jelaskan di atas. Mungkin karena sangat benci Ahok pake banget, dia membuat hoax tentang Ahok berenang ria selama masa tahanan. 

Ada juga yang buat cari sensasi. Biasanya penyebar akan membuat berita tentang korban bencana, peristiwa alam dsb. Untuk meyakinkan kalau peristiwa alam akan terjadi, si pencipta hoax akan mencatumkan nama lembaga terkait dalam infonya agar banyak pembaca yang mempercayai kejadian tersebut. Padahal, belum tentu lembaga tersebut mengeluarkan keputusan. Salah satu yang pernah menggegerkan adalah berita tentang gemuruh langit di Aceh. Pesan ini tersebar sejak saya masih menggunakan BlackBerry Messenger medio 2014. Parahnya, pesan ini membawa-bawa ulama.

Dengan dalih kebebasan pers, hoax pun merajalela di warganet. Hoax disebarkan oleh mereka yang tidak paham fakta, tidak tahu kode etik tapi asal mempublikasikan. Pers yang hakiki adalah pers yang bertanggungjawab, bukan serampangan. Kalau apa yang dibuat tidak terbukti, pidana bisa mengancam seperti Saracen. Jika untuk kritik, harus disertai dengan data dan solusi. Tanpa bukti, itu bukan kritik tapi fitnah dan lagi-lagi hoax.
Baca Juga: Mengapa Banyak Orang Ringan Tangan Menyebarkan Hoax - kompasiana.com
Hoax di medsos sudah merajalela. Hampir setiap hari kita dijejali dengan kabar-kabar bohong di medsos manapun, baik di medsos biasa maupun di media chatting. Karena kebencian terhadap suatu golongan, berita bohong pun dibuat untuk menjatuhkan lawannya. Padahal, Islam sendiri sudah memperingatkan kita untuk menjauhinya karena sama saja dengan membicarakan orang lain. Rasulullah saw. bersabda dalam riwayat Abu Hurairah ra.: 
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwsanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian apakah ghibah itu?”. Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada padanya ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”
Hadits di atas menjelaskan bahwa kita tidak boleh membicarakan keburukan orang lain dalam di belakangnya (tidak hadir dengan kita), baik keburukan tersebut benar adanya atau malah tidak benar. Benar tidaknya keburukan tersebut, sama saja kita dilarang karena orang yang digosipin itu pastinya membeci hal tersebut. Lha wong ghibah aja gak boleh, apalagi menyebarkan keburukan orang di media sosial!
Gosip aja gak boleh, apa lagi menyebar aib orang di medsos (Sumber gambar: Tom Mc Ifle)

Pemerintah pun sudah punya payun hukum untuk menanggulangi hoax dengan UU ITE. Akan tetapi, undang-undang ternyata belum dirasa cukup. Literasi media adalah langkah tepat untuk melawan persebaran berita hoax. Kita terbiasa mencari berita daring secara cepat, dengan membaca halaman pertama atau paragraf pertama berita. Padahal, kita harus membaca secara utuh. Setelah membaca, kita langsung membagikannya. Inilah yang membuat hoax cepat tersebar.
Pemerintah punya UU ITE untuk menanggulangi hoax (Sumber: elsam.or.id)

Di mana-mana, hoax telah meresahkan masyarakat kita. Berkali-kali pemangku kebijakan mengeluarkan klarifikasi atas berita hoax. Huh, gak capek klarifikasi terus? Jika tidak cermat, masyarakat akan terbawa isu hoax. Akibatnya, mereka disesatkan dengan berita-berita bohong. Mereka akan gampang curiga sama orang atau kelompok lain, menyerang mereka secara fisik dan mental, sampai kekerasan berdalih SARA muncul lagi. Hoax pun mempermalukan satu golongan. Saya kesal kalau melihat berita hoax yang disebarkan oleh umat Muslim sendiri. Lagi-lagi, foto Ahok berenang yang saya jadikan contoh. Akun penyebar membawa nama 212, aksi massa terbesar yang pernah dilakukan umat Islam di Indonesia. Otomatis, hoax akan menimbulkan reaksi negatif terhadap kita. "Orang Islam sama aja! Mereka juga bikin hoax."

Stop Hoax!
Sudah tau kan apa itu hoax dan dampaknya? Hoax benar-benar telah menyesatkan dan merugikan masyarakat. Jadi, masih percaya hoax?

Kalau tadi sudah dijelaskan ma huwa hoax, sekarang kita akan berbicara bagaimana menangkalnya. Adapun cara menangkal hoax sebagaimana dilansir rappler.com adalah:
  1. Rutinlah membaca berita dari media yang well-established dan dihormati.
  2. Orang yang paling rentan hoax adalah orang yang jarang mengonsumsi berita.
  3. Kalau suatu berita kedengarannya tidak mungkin, bacalah dengan lebih teliti karena seringkali itu karena memang itu tidak mungkin.
  4. Jangan share artikel/foto/pesan berantai tanpa membaca sepenuhnya dan yakin akan kebenarannya.

Sebenarnya tidak sulit untuk melawan hoax. Perilaku kita-lah yang menyulitkan kita menangkal hoax. Kalau sudah fanatik dengan sesuatu, kita pasti akan mencari bukti yang memperkuat pendapat kita tanpa mengecek kebenarannya walau belum tentu informasi tersebut benar. Ibarat orang kelaparan, apa saja dimakan tanpa tahu halal-haramnya. Makanya, berhati-hatilah dalam membaca media! Kalau benar dan terpercaya, silakan bagikan! Kalau tidak, lebih baik kita simpan sendiri saja dan tidak usah dibagikan.

Cari dan Tulislah yang Bermanfaat

Mengapa kita terlalu sering terjebak hoax? Kalau masih ada yang terpercaya, kenapa harus pilih yang hoax? Toh, masih banyak berita-berita yang benar dan terpercaya! 

Di internet masih banyak situs-situs yang menyebarkan berita positif. Media sosial pun demikian, masih banyak orang yang mau berbagi pengalaman dan tips-tips positif. Keasliannya tentu bisa kita jamin karena yang menyebarkannya pernah menjalani pengalaman atau mengunjungi suatu tempat.

Jika ingin membagikan informasi yang benar-benar valid, sebaiknya kita memahami sumber informasi tersebut. Agar memahami isinya, lebih baik membaca 2 sumber berita terperaya. Kita lebih baik pula mengetahui kredibilitas narasumber berita, apakah memang ahli di bidangya, atau hanya orang biasa yang ikut-ikutan trend?!
Daripada menyebar hoax, mending berbagi yang bermanfaat!

Tidak hanya menjadi pembaca, kita juga bisa menjadi publisher informasi. Kita juga bisa berbagi pengalaman, berbagi hasil kunjungan ke tempat wisata menarik, dan hasil karya kita di media sosial. Facebook, Instagram, serta berbagai platform dapat kita gunakan sebagai media berbagi. Mau lebih profesional? Blog bisa jadi medianya. Kita dapat berbagi pengalaman via blogging. Selain berbagi pengalaman, kita dapat menjalin relasi sesama blogging.

Banyak rekan-rekan blogger berbagi pengalaman dengan blognya. Ada travel blogger yang membagikan pengalaman berwisata. Beauty blogger tak mau kalah, mereka berbagi tips-tips seputar kecantikan. Ada pula blogger yang berbagi tips dan tutorial blogging. Ada juga blogger yang membagikan pengalaman hidup, hingga review produk, film, game dan lain-lain. Mereka saling berbagi dan bertukar pengalaman dengan pembacanya dan sesama blogger. Mereka punya cara dan niche masing-masing yang berbeda, tapi punya satu tujuan, yaitu berbagi.

Dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa semua informasi di media sosial tak dapat dibendung karena ia dibagikan oleh banyak orang tanpa memandang siapa dan bagaimana yang menyebarkannya. Karena informasi berlimpah, kita terkadang tidak mampu menyaring berita yang sahih dari yang bohong. Berita hoax pun ikut tersebar dan selalu tersebar selama orang memilih untuk membaca sesuai yang dia inginkan tanpa klarifikasi. Akibatnya, banyak orang terhasut berita hoax dan saling curiga satu sama lain hingga menimbulkan intoleransi dan kekerasan. Semestinya kita mengklarifikasi sumber berita sebelum menyebarkannya. Lebih baik lagi jika kita yang mempublikasikan sebuah informasi yang benar lagi berguna. Informasi tersebut, selain dapat dipertanggungjawabkan, juga dapat menginspirasi orang lain.


Posting Komentar

0 Komentar