Cerita Perjalanan dari Kursi Kereta (Tentang Tenggang Rasa dan Prioritas kepada Orang Lain)

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ  كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ( الحشر9
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung (Al-Hasyr; 9).

Ayat ini menerangkan kisah kaum Anshor yang menyambut kaum Muhajirin yang berhijrah ke Madinah (daulu bernama Yatsrib) untuk menjaga akidah mereka. Ayat itu menggambarkan bagaimana kaum Anshar tetap megutamakan kebutuhan orang-orang Muhajirin daripada mementingkan kebutuhan mereka sendiri. Kaum Ansar selalu berbagi tempat, makanan sampai harta rampasan dengan orang Muhajirin dan mereka tak punya rasa iri dengki satu sama lain. Ayat ini menjadi dalil dalam kaidah ushul fiqh: 
Mendahulukan kepentingan orang lain di luar ibadah adalah dianjurkan.

Ayat ini mengajarkan kita pula untuk mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri sekalipun kita membutuhkannya. Mungkin terdengar sulit, namun kalau kita bisa mengapa tidak?

Kita selalu mempunyai hajat yang harus kita penuhi. Selalu setiap hari, ada saja yang kita butuhkan, dari sandang pangan sampai keperluan lain. Bahkan ada beberapa kebutuhan mendesak yang kalau tidak dipenuhi sekarang, kemungkinan lebih buruk akan terjadi. Akan tetapi, tidak ada salahnya kalau kita memprioritaskan kepentingan orang lain.

Pengalaman mengajarkan kita untuk belajar. Itulah kalimat bijak yang harus selalu disampaikan untuk kita. Semoga dengan pengalaman yang saya bagikan ini membuat kita terus belajar.

Ada suatu kisah menarik dalam perjalanan saya dua pekan lalu. Saat itu, saya menggunakan kereta api Jayakarta Premium dari Madiun ke Jatinegara. Sejak menggunakan Traveloka, saya sering bepergian naik kereta api. Selain lebih nyaman, kereta dari kampus ke rumah tersedia hampir setiap waktu meskipun harus ke Madiun terlebih dahulu. Tidak seperti bis yang hanya tersedia siang hari. Setiap memesan tiket kereta, kita bisa memilih bangku yang ada. Saya biasa memilih bangku di dekat jendela agar bisa melihat pemandangan di luar kereta.

Sesuai dengan jadwal tertera di tiket, kereta akan berangkat pukul 17.30. Sudah sekitar setengah jam saya menunggu di stasiun. Jarak dari kampus di daerah Ponorogo ke Madiun yang  jauh mengharuskan saya untuk memersiapkan keberangkatan sejak awal. Setengah jam berlalu, kereta yang mengantarkan saya pulang pun tiba. Saya pun bergegas untuk masuk gerbong.

Selama mencari tempat duduk, saya selalu memegang tiket agar kursi yang saya duduki cocok dengan nomor di tiket. Setelah mendapatkan nomor yang pas, lega rasanya setelah lama menunggu dan mencari-cari tiket. Saya pun segera menaruh barang-barang dan bersiap untuk duduk. Namun, sesuatu hal yang mengejutkan pun terjadi!

Belum saya menduduki kursi, ternyata sudah ada seorang wanita muda menduduki kursi saya. Di sebelahnya, wanita paruh baya duduk. Ternyata mereka telah menduduki tempatku sebelum aku datang. Ingin aku mengusir keduanya atau memanggil petugas. Bagaimana tidak? Sudah berangkat jauh-jauh dari Ponorogo ke Madiun selama sejam, menanti kereta setengah jam, taunya kursi sudah diduduki! Aku juga mengumpat manajemen Kereta Api. Katanya sudah diatur, koq masih ada yang duduk seenaknya sendiri.

Namun, aku mencoba menenangkan diri dan mengendalikan emosi. Aku sadar, ini adalah transportasi umum yang mana semua punya hak masing-masing. Kereta api bukan milikku sendiri yang aku bisa mengatur-atur kereta. Sejenak, aku kemudian menanyakan si wanita paruh baya yang kebetulan duduk di sebelah koridor.
Pak, maaf.. Ini nomor berapa?

"Bu, maaf, ini kursi 5A?" tanyaku sambil melihat nomor gerbong.

"Ini anak saya, mas!" Wanita tersebut menjawab sambil menunjuk perempun muda di sebelahnya. 

Koq, gak nyambung?! aku membatin. Aku nanya apa, jawabnya apa

Sekali lagi aku bertanya.

"Bu, maaf ini kursi 5A?" tanyaku sekali lagi, penasaran.

"Maaf, bu! Saya sudah pesan tiket di kursi sini!" Aku menambahkan sembari menunjukkan tiket.

"Ini anak saya, mas. Saya dapat tiket di sana tapi anak saya di sini. Saya tukar tempat gak papa ya... Maaf lho, mas!" Ibu itu menjelaskan dengan senyumnya sambil menunjuk tempat di belakangku yang diikuti senyum anaknya di sebelahnya.

Aku pun menoleh ke belakang. Ternyata memang ada kursi kosong di sebelahnya. Aku lemparkan senyum kepada ibu itu dan segera meletakkan tas lalu duduk di tempat itu.

Aku awalnya tak percaya kalau wanita muda itu anaknya si ibu. Wanita muda itu kira-kira berusia 20 tahunan dan tidak berjilbab. Ibu tadi berusia sekitar 40-50 tahunan dan mengenakan jilbab. Ah, mana mungkin mereka ibu-anak? Lagian, yang satu jilbaban dan satunya enggak?! Namun, aku diam-diam memperhatikan keduanya setelah berjam-jam di kereta. Ternyata mereka menunjukkan bahwa keduanya adalah keluarga yang bahagia. Mereka berdua berbagi makanan, saling bergantian menyandarkan kakinya, sampai si anak tidur bersandar di pundak ibunya. Setelah itu aku baru percaya kalau mereka berdua adalah ibu-anak.

Dari perjalanan ini aku mendapatkan dua pelajaran. Pertama, kasih ibu tidak mengenal zaman. Sebesar dan setua apapun kita, ibu masih selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada kita. Kedua, kita sebaiknya memprioritaskan kebutuhan orang lain di atas kita kecuali kalau benar-benar mendesak. 

Seandainya saya tidak mengalah kepada si ibu, keselamatan anaknya mungkin tidak terjamin. Transportasi umum seperti kereta api belum tentu terjamin keamanannya. Mungkin saja barang keluarga tersebut tercuri atau yang lebih parah lagi, keluarga itu diganggu oleh penumpang lain.

Kalau kita bisa memprioritaskan orang lain, akan ada kebahagiaan tersendiri bagi kita dan orang lain. Hati kita tenagn karena mampu berbagi dengan orang lain, orang yang kita berikan itu pun akan senang karena merasa dihormati dan diberikan kesempatan. Rasa tenggang rasa kita pun menambah dan kita mampu menghormati orang lain. Akhirnya, rasa saling menghormati pun terbangun di antara kita.





Posting Komentar

0 Komentar