Analisa Sengketa Indonesia-Malaysia dalam Wilayah Ambalat

A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan batas landas kontinen sejauh 12 mil laut sesuai dengan Deklarasi Djuanda 1957 (Burhanuddin, 2015, hal. 11) kemudian ditetapkan dalam UNCLOS 1982 pasal 3 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, hal. 5). Luas wilayah laut Indonesia adalah 3,1 juta km2.  Di antara 17.506 pulau di Indonesia, 92 pulau tergolong sebagai pulau terluar. Selain pulau-pulau terluar, terdapat 183 titik terluar lain yang berbatasan dengan negara tetangga menurut survei DISHIDROS TNI AL (Bakhtiar, 2011, hal. 2). Pulau-pulau terluar Indonesia menyimpan kekayaan alam yang mampu menopang perekonomian Indonesia.

Dengan wilayah laut Indonesia yang luas, Indonesia berbatasan laut dengan sepuluh negara, yaitu Malaysia, Thailand, Vietnam, India, Brunei Darussalam, Filipina, Palau, Papua Nugini dan Timor Leste (Burhanuddin, 2015, hal. 15). Wilayah laut ini sering menimbulkan persengketaan antara negara-negara tetangga. Salah satu sengketa perbatasan wilayah laut Indonesia adalah sengketa blok Ambalat dengan Malaysia. Ambalat merupakan kawasan kepulauan dengan luas 15.235 m2 di Selat Makassar. Ambalat memiliki kekayaan alam berupa minyak bumi. Ambalat termasuk dalam wilayah Indonesia sesuai Perjanjian Tapal Batas Kontinen Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969 yang kemudian diratifikasi pada tanggal 7 November 1969 (Bakhtiar, 2011). Namun, Malaysia menjadikan Ambalat wilayahnya seja tahun 1979 dengan memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai Zona Ekonomi Eksklusif mereka (Sejarah Panjang Kemelut Indonesia-Malaysia di Ambalat, 2015).
Penyelesaian sengketa perbatasan wilayah laut Indonesia-Malaysia sebenarnya dapat diselesaikan dengan negosiasi atau dengan keputusan hakim. Mahkamah Internasional terakhir kali memutuskan bahwa pulau Sipadan dan Ligitan menjadi wilayah Malaysia pada tahun 2002. Meskipun Malaysia telah memenangkan sengketa pulau Sipadan dan Ligitan, Malaysia tetap menginginkan blok Ambalat sebagai wilayah negara karena potensi minyak.
B.     Sejarah Konflik Ambalat
B.1.     Sejarah Awal Konflik Ambalat
Konflik Ambalat bermula sejak tahun 1969. Indonesia dan Malaysia menandatangani Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen pada tanggal 27 Oktober 1969. Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut pada tanggal 7 November 1969 (Bakhtiar, 2011). Malaysia memasukkan Ambalat ke dalam wilayahnya pada tahun 1979 secara sepihak. Klaim Malaysia atas Ambalat waktu menuai protes negara-negara tetangga seperti Singapura, Filipina, China, Thailand, Vietnam dan Inggris (Puspitasari, Eidman, & Adrianto, 2008, hal. 44).
Indonesia kemudian mengleuarkan protes pada tahun 1980 atas pelanggaran tersebut. Klaim Malaysia atas blok Ambalat ini dinilai sebagai keputusan politis yang tidak memiliki dasar hukum (Gambaran Historik Sengketa di Perairan Ambalat, hal. 65). Menurut Indoensia, garis batas yang ditentukan Malaysia melebihi ketentuan garis ZEE yang telah diatur sejauh 200 mil laut (Druce & Baikoeni, 2016, hal. 141). Klaim Malaysia atas Ambalat disebabkan kandungan minyak bumi yang ada di blok ini.
B.2.     Eskalasi Konflik Ambalat
Sengketa Ambalat dimulai eskalasinya pada tahun 2002 ketika International Court of Justice (ICJ) memenangkan Malaysia atas pulau Siapdan dan Ligitan. Keputusan nomor 102 tanggal 17 Desember 2002 memenangkan Malaysia dengan bukti penguasaan dan pengendalian efektif (Gambaran Historik Sengketa di Perairan Ambalat, hal. 62). Malaysia memang sudah mempunyai kontrol atas kedua pulau tersebut. Ketika Malaysia dijajah Inggris, Inggris pernah melakukan penarikan pajak ke peternak penyu di pulau itu pada tahun 1930-an. Di samping itu, terdapat mercusuar yang bertuliskan “dibuat oleh Inggris.” (Yani, 2015).
Setelah keputusan ICJ pada tahun 2002, konflik blok Ambalat semakin  mencapai eskalasi. Malaysia terlibat beberapa kali pelanggaran kedaulatan wilayah NKRI. Pada16 Februari 2005, Malaysia secara sepihak mengumumkan bahwa Blok ND-6 dan ND-7 merupakan konsensi perminyakan baru yang dioperasikan oleh Shell dan Petronas Carigali. Padahal wilayah tersebut merupakan wilayah yang bertumpang tindih dengan wilayah Ambalat dan Ambalat Timur. Malaysia juga melakukan pengejaran terhadap kapal nelayan Indonesia.  KD Sri Melaka mengejar dan menembak KM Jaya Sakti 6005, KM Irwan dan KM Wahyu-II di Laut Sulawesi pada tanggal 7 Januari 2005 (Gambaran Historik Sengketa di Perairan Ambalat, hal. 77). Sampai dengan tahun 2012 berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan telah terjadi sekitar 475 kali pelanggaran yang dilakukan Malaysia baik lewat laut,darat dan udara dengan perincian sebagai berikut : (a) Tahun 2005 ada 38 kali pelanggaran,(b) Tahun 2006 ada 62 kali pelanggaran,(c) Tahun 2007 ada 143 kali pelanggaran,(d) Tahun 2008 ada 104 kali pelanggaran, (e) Tahun 2009 ada 25 kali pelanggaran, (f) Tahun 2010 ada 44 kali pelanggaran,(g) Tahun 2011 ada 24 kali pelanggaran, (h) Tahun 2012 ada 35 kali pelanggaran. (Gambaran Historik Sengketa di Perairan Ambalat, hal. 80)
Tentara Diraja Malaysia (TDM) juga sering terlibat konflik dengan TNI setelah keputusan ICJ ini. TNI AL berkali-kali mengejar kapal milik TDM. Komando Pasukan Katak (Kopaska) pernah mengejar dan mengusir kapal Police Marine Malaysia pada tanggal 1 April 2005 (Gambaran Historik Sengketa di Perairan Ambalat, hal. 72). Pasukan yang dipimpin Serka Ismail ini berhasil menghalau kapal Malaysia yang akan mendekati mercusuar Karang Unarang. Pengusiran ini dilakukan setelah instruksi dari KRI Tedong Naga yang sejak awal telah mengawasi pergerakan kapal tersebut.
B.3.     Masa De-eskalasi Konflik Ambalat
Setelah lama bertikai, konflik Ambalat mulai mendapatkan titik perdamaian. Masa de-eskalasi dimulai sejak tahun 2009 ketika kedua negara menahan diri dari serangan. Pemimpin kedua negar mempunyai andil dalam timbulnya de-eskalasi konflik Ambalat. Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi berusaha untuk mencegah adanya konflik di antara kedua negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki beberapa pertimbangan dalam menjalin hubungan damai dengan Malaysia pasca sengketa Ambalat (Druce & Baikoeni, 2016, hal. 147-148), pertama, Indonesia dan Malaysia memilik kedekatan budaya dan sejarah yang telah terjalin ratusan tahun lalu serta perlu dijaga, kedua, hubungan bilateral antara kedua pendiri ASEAN adalah pilar penting bagi ASEAN dan membantu perkembangannya yang pesat, ketiga, 1,2 juta penduduk Indonesia di Malaysia, termasuk di antaranya 13.000 pelajar Indonesia merupakan aset berharga kedua negara. PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi sendiri memperkenalkan konsep Islam Hadhari (peradaban Islam). Dalam konteks hubungan internasional, Islam Hadhari menekankan adanya menghormati hukum internasional, kedaulatan negara, institusi internasional dan integrasi wilayah. Dalam kaitannya dengan konflik, Islam Hadhari mengajarkan untuk mengutamakan negosiasi dan mencegah adanya penggunaan militer (Druce & Baikoeni, 2016, hal. 148).
 Panglima TNI Jenderal Moeldoko menyatakan bahwa Indonesia tetap berpikiran dingin dalam menyikapi aksi negara tetangga yang masuk RI tanpa izin. Ia lebih menyarankan untuk menggunakan jalur diplomatis untuk menanggapi segala permasalahan di Ambalat. Dia juga sering berkomunikasi dengan Panglima Tentara Diraja Malaysia untuk membahas sengketa Ambalat. "Saya sering berkomunikasi dengan Panglima Angkata Bersenjata Diraja Malaysia untuk sepakat tentang Ambalat. Sehingga kita (TNI) tidak perlu lagi turunkan pasukan bersenjata. Kita masing-masing memahami tidak ada yang perlu diperebutkan di sana. Cuma buang energi saja," jelas Moeldoko. (Panglima TNI: Turunkan Pasukan Bersenjata di Ambalat Buang Energi, 2015). Namun, ia menegaskan agar Indonesia melayangkan nota protes kepada pesawat yang melewati wilayah NKRI tanpa izin. Sejalan dengan pernyataan Panglima TNI, Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa manuver Malaysia di Ambalat bukanlah persoalan serius. Ia juga mengatakan bahwa TNI selalu mendesak pemerintah untuk mengirimkan nota protes ke Malaysia atas pelanggaran udara yang mereka lakukan. Menurut Ryamnizard, Malaysia akan berani melintas di Ambalat jika wilayah udara Kalimantan dan Sulawesi tidak dijaga. "Sekarang kami sudah taruh pesawat di Makassar," kata Ryamizard (Menhan: Kalau Malaysia Masih Terobos Ambalat, Kami Serang!, 2015).
C.    Posisi Negara Indonesia dan Malaysia dalam Sengketa Ambalat
Indonesia tetap berpegang pada aturan UNCLOS yang menentukan bahwa batas landas kontinen dihitung sejauh 200 mil laut dari garis pangkal (UNCLOS pasal 76) dan Zona Ekonomi Ekslusif suatu negara juga diukur sebesar 200 mil laut (UNCLOS pasal 57) (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, hal. 21). Lebih dari itu, Indonesia mengwali konsep negara kepulauan (archipelagic state) melalui Deklarasi Djuanda 1957 (Burhanuddin, 2015, hal. 11) kemudian memperjuangkan konsep yang ada di dalam Deklarasi Djuanda ke dalam forum UNCLOS sehingga batas landas kontinen 200 mil dapat diakui secara internasional.
Indonesia dalam kasus Ambalat tetap berpegang pada posisinya yang memasukkan Ambalat sebagai wilayah Indonesia. Ambalat merupakan kelanjutan alamiah dari lempeng benua Kalimantan. Letaknya pun masih di dalam 200 mil dari garis dasar. Fakta inilah yang menguatkan bahwa Ambalat berada dalam kedaulatan Indonesia. Indonesia pun telah melakukan eksploitasi pada blok Ambalat (Puspitasari, Eidman, & Adrianto, 2008, hal. 45). Indonesia sendiri telah mengizinkan dua perusahaan untuk melakukan ekplorasi minyak di Ambalat yaitu kepada Eni. Sp. A dan Chevron Pacific Indonesia. (Bakhtiar, 2011, hal. 60).
Malaysia telah melakukan klaim sepihak dengan memasukkan Ambalat ke dalam wilayah mereka sejak 1979. Malaysia sendiri menyebut Ambalat sebagai blok ND6 dan ND7. Malaysia telah mengkaim dirinya sebagai negara kepulauan dengan dasar bahwa mereka telah memiliki hak pengelolaan atas dua pulau yaitu Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Kedua pulau tersebut jatuh ke tangan Malaysia berdasarkan keputusan akhir ICJ No. 102 tahun 2002 (Puspitasari, Eidman, & Adrianto, 2008, hal. 44). Sebagai negara pantai biasa oleh pengaturan dalam United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982 dinyatakan bahwa Malaysia hanya diperbolehkan menarik garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (Straight Baselines), karena alasan ini seharusnya Malaysia tidak diperbolehkan menarik garis pangkal lautnya dari pulau Sipadan dan Ligitan karena Malaysia bukan merupakan negara pantai (Bakhtiar, 2011, hal. 9).
Malaysia juga telah melakukan eksplorasi minyak di kedua wilayah tersebut. Situs resmi Petroliam Nasional Berhad (Petronas) telah mengeluarkan press release terkait pengelolaan wilayah tersebut. Dalam press release bertanggal 16 Ferbruari 2005, Petronas telah memberikan konsesi kepada dua perusahaan, yaitu Shell dan Petronas Caligari Sdn Bhd (Petronas Media Releases-2005, 2005). Meskipun sudah mendapat konsesi dari pemerintah Malaysia, kedua perusahaan ini belum berani masuk secara terang-terangan disebabkan masih banyak kapal Indonesia yang masih beroperasi (Gambaran Historik Sengketa di Perairan Ambalat, hal. 61).
D.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Eskalasi Konflik
Terdapat tiga faktor yang meningkatkan eskalasi konflik Indonesia dan Malaysia di wilayah Ambalat menurut Druce dan Baikoeni (2016, hal. 143). Ketiga faktor tersebut adalah:
1.      Faktor ekonomi. Baik Indonesia dan Malaysia sama-sama menginginkan Sebagaimana yang telah penulis bahas sebelumnya, Ambalat merupakan wilayah laut yang memiliki kekayaan alam berupa minyak bumi. Kemeterian Energi dan Sumber Daya Alam RI memprediksi dapat memproduksi minyak sebesar 30.000-40.000 barel per hari (Druce & Baikoeni, 2016, hal. 143). Indonesia akan mendapatkan keuntungan apabila mampu mengelola minyak yang ada.
2.      Media dan sentimen kebangsaan. Dalam konflik Ambalat, media sangat mempengaruhi kebijakan negara dan sikap masyarakat terhadap sebuah peristiwa. Druce dan Baikoeni menggambarkan bagaimana media di Indonesia dan Malaysia mampun menggiring opini publik untuk menyerang lawan masing-masing. Indonesia menggunakan slogan “Ganyang Malaysia” untuk meengintimidasi Malaysia. Sebaliknya, Malaysia, yang kebebasan persnya lebih  dibatasi, mampu menggiring opini publik dengan istilah “indon”
3.      Pemerintah dan penegak hukum. Druce dan Baikoeni menggambarkan bagaimana perang opini antara pemerintah Indonesia dan Malaysia begitu sengit. Masing-masing memprovokasi massa dalam menanggapi kasus Ambalat.
E.     Peraturan UNCLOS yang Mengatur Konflik Ambalat
UNCLOS (United nations convention law of the sea) merupakan suatu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membuat peraturan, dan salah satunya mengenai perikanan intemasional. Semua negara yang menjadi anggotanya berkewajiban mengacu pada pasal-pasal yang telah disetujui, dalam mengelola sumberdaya perikanannya dan yang berhubungan antara satu negara dengan negara yang lain. Dalam konflik Ambalat pasal-pasal yang dapat dianalisis adalah sebagai berikut:
1. UNCLOS 1982 article 46, Archipelagic States
(a) "archipelagic state" means a state constitud wholly by one or more archipelagosand may include other island;
(b) "archipelagic" means a group of island, including parts of island, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such island, waters and other natural features form an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded a.s such
2. UNCLOS 1982 article 47, Archipelagic Baselines .
(a) an archipelagic state may draw straight archipelagic baselines joining the outermost points of the outermost island and drying reefs of the archipelago provided that within such baselines are included the main island and an area in which tehe ratio of the area of the water to the area of the land, including atolls, is between 1 to land 9 to 1.
(b) the legth of such beselines shall not exceed 100 nautical miles, except that up to 3 percent of total number of baselines enclosing any archipelago may exceed that length, up to a maximum lenght of 125 nautical miles.
3. UNCLOS 1982 article 57, Exclusive Economic Zone Breadth of the exclusive economic zone. The exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured.
4. UNCLOS 1982 article 76, Continental Shelf Definition of the continentll shelf The continental shelf of a coastal state comprises the sea bed and subsoil of the sub marine areas that extend beyond its territorial sea throughout prolongation of its land to the outer edge the continental margin, or to a distance of 200 naitical miles from the baselines from which,the breadth of the teritorial seas measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance.
5. UNCLOS1982 article 77, Continental Shelf
Rights of the coastal state over the continental shelf:
(a) The coastal state exercise over the continental shelf sovereign right for the purpose of eksploring it and exploring its natural resources
(b) The right referred to in paragraph 1 are exclusive in the sense that if the coastal state does not explore the continental sheffor exploit its natural resources, no one may( undertake these activities without the express consent of the coastal state.
(c) The rights of the coastal state over the continental shelf do not depend on occupation, effective or nation, or on any express proclamation.
The natural resources reffered to in this part consist of the mineral and other nonliving resources of the sea-bed and subsoil together with living organism belonging to sedentary species, that is to say, organism which, at the harvestable stage, either are immobile on or under the sea-bed or are· unable to move except in constant physical contact with the sea-bed orthe subsoil.
E.        Strategi  Indonesia dalam Menyelesaikan Konfllk Ambalat
a. Strategi Deplu
Departemen Luar negeri berfungsi sebagai juru bieara kenegaraan dengan pemerintah Malaysia. Bisa dikatakan bahwa Deplu memikul beban yang cukup berat, karena setiap bentuk negoisasi dapat berpengaruh terhadap hasil keputusan. Deplu menekankan pada soft diplomacy yaitu eara penyelesaian masalah secara halus tetapi tetap mennpertahankan misi dengan kuat tanpa· merendahkan harga diri bangsa Indonesia. Posisi Indonesia terhadap Malaysia dapat dikatakan kuat karena berdasarkan kententuan-ketentuan hukum intemasional yang berlaku. Walaupun Malaysia bisa dikategorikan sebagai negara yang tetap pada pendiriannya. Negoisasi telah berjalandan memang cukup alot dan kedua negara terus pada pendiriannya. Staf Divisi Perjanjian Luar Negeri memberikan pemyataan bahwa Deplu akan terus mengemban tanggung jawab sebaik mungkin untuk mempertahankan kedaulatan negara.
b. Strategi TNI AL
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) merupakan komponen utama pertahanan negara yang berfungsi sebagai penegak hukum di laut. Meneakup menjaga kedaulatan negara dan integritas wilayah NKRI, mmepertahankan stabilitas keamanan dilaut, melindungi sumberdaya alam dari berbagai bentuk gangguan dan pelanggran hukum di wilayah perairan yuridiksi nasional Indonesia. Strategi yang dilakukan oleh TNI AL yaitu menggelar operasi yang dikategorikan sebagai tindakan preventif (pencegahan) dan represif (tindakan). TNI AL mel/hat masalah konflik Ambalat ini lebih dari sisi pertahanan kedaulatan. Berbeda dengan deplu, TNI AL cenderung lebih keras bahkan menurut wawancara yang dilakukan dengan Kepala Biro Hukum dan Keamanan Mayor Kresno Bintoro, menyatakan bahwa "tidak akan membiarkan sejengkallaut pun terambil", walaupun memang perang sangat-sangat dihindari. Gelar operasi pun dilancarkan pada wilayah perbatasan untuk menjaga agar kapal Malaysia tidak melanggar kedaulatan Indonesia.
F.     Analisa Konflik Ambalat dengan Conflict Analysis Tools
Jika digambarkan dengan roda konflik, maka konflik Ambalat akan digambarkan sebagai berikut:

a.       Aktor               : Indonesia dan Malaysia
b.      Kasus              : Perebutan wilayah Ambalat
c.       Dinamika         : Indonesia dan Malaysia menandatangani Perjanjian Tapal Batas Negara tahun 1969. Malaysia kemudian membuat peta yang memasukkan Ambalat ke dalam wilayahnya tahun 1979 secara sepihak. Indonesia mengajukan protes atas keputusan sepihak Malaysia tahun 1980. ICJ memutuskan bahwa Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia.
d.      Penyebab         : Malaysia memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah mereka tahun 1979.
e.       Strategi            : De-eskalasi konflik, kerjasama bilateral dan kerjasama di forum-forum ASEAN.
Dilihat dengan Conflict Perspective Analysis (CPA), konflik Ambalat antara Indonesia dan Malaysia digambarkan sebagai berikut:
Enrollment in local colleges, 2005
Aktor
Indonesia
Malaysia



Fakta
Indonesia mengikuti aturan UNCLOS dalam pengaturan batas landas kontinen
Malaysia memasukkan Ambalat dalam peta wilayah secara sepihak tahun 1979
Kepentingan
Indonesia menginginkan Ambalat kembali ke Indonesia
Malaysia mengincar wilayah Ambalat





Malaysia ingin mengeksplorasi minyak di Ambalat
Strategi
Mempertahankan Ambalat secara dipomasi
Melakukan penjagaan di wilayah Ambalat
Melakukan eksploitasi minyak di wilayah Ambalat melalui Petronas



Realita

ICJ mengeluarkan keputusan bahwa pulau Sipadan dan Ligitan menjadi wilayah Malaysia

Kesimpulan
Dari tulisan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa sengketa wilayah Ambalat merupakan konflik bilateral antara Indonesia dengan Malaysia. Konflik Ambalat dipicu pelanggaran Malaysia yang memasukkan Ambalat ke dalam wilayah negaranya tahun 1979. Indonesia beerkali-kali melakukan protes kepada Malaysia hingga membawa kasus ini ke ranah ICJ. Namun, ICJ memutuskan bahwa Sipadan dan Ligitan menjadi wilayah Malaysia pada tahun 2002. Setelah keputusan ICJ tersebut, Indonesia dan Malaysia berkonfrontasi secara militer di perairan Sulawesi. Barulah pada tahun 2009 kedua negara sepakat untuk menahan diri dari serangan dan menyelesaikan kasus ini secara diplomatis

Bibliography

Petronas Media Releases-2005. (2005, Februari 16). Dipetik Desember 3, 2016, dari Petronas Awards Two Ultra-Deepwater Blocks to Shell and Petronas Carigali: http://www.petronas.com.my/media-relations/media-releases/Pages/article/PETRONAS-AWARDS-TWO-ULTRA-DEEPWATER-BLOCKS-TO-SHELL-AND-PETRONAS-CARIGALI.aspx
Menhan: Kalau Malaysia Masih Terobos Ambalat, Kami Serang! (2015, Juni 18). diakses 3 Desember 2016, dari Tribunnews.com: http://www.tribunnews.com/nasional/2015/06/18/menhan-kalau-malaysia-masih-terobos-ambalat-kami-serang
Panglima TNI: Turunkan Pasukan Bersenjata di Ambalat Buang Energi. (2015, Juni 17). Diakses 3 Desember 2016, dari Liputan 6: http://news.liputan6.com/read/2253503/panglima-tni-turunkan-pasukan-bersenjata-di-ambalat-buang-energi
Sejarah Panjang Kemelut Indonesia-Malaysia di Ambalat. (2015, Juni 17). Diakses 1 Desember  2016, dari CNN Indonesia: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150617140454-20-60584/sejarah-panjang-kemelut-indonesia-malaysia-di-ambalat/
Bakhtiar, A. I. (2011). Penyelesaian Sengketa Antara Indonesia dan Malaysia Di Wilayah Ambalat Menurut Hukum Laut Internasional. Jakarta.
Burhanuddin, S. (2015). Membangun Kembali Nilai Luhur Bangsa Maritim Indonesia. Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (PNMHII) XXVII (p. 11). Solo: Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia.
Druce, S. C., & Baikoeni, E. Y. (2016). Circumventing Conflict: The Indonesia–Malaysia Ambalat Block Dispute. Dalam M. Oishi (Penyunt.), Contemporary Conflict in Southeast Asia (hal. 137-156). Singapore: Springer.
Gambaran Historik Sengketa di Perairan Ambalat. (t.thn.). Dipetik Desember 3, 2016, dari http://digilib.unila.ac.id/4821/16/BAB%20IV.pdf
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. (t.thn.). Dipetik November 30, 2016, dari hukum.unsrat.ac.id/hi/unclos_terjemahan.doc
Puspitasari, D. D., Eidman, E., & Adrianto, L. (2008). Studi Analisis Konflik Ambalat di Perairan Laut Sulawesi. VIII(2).
Yani, A. A. (2015, Februari 15). Ternyata Ini Penyebab Sipadan dan Ligitan Lepas dari Indonesia. Retrieved Desember 3, 2016, from Tribun Timur: http://makassar.tribunnews.com/2015/02/15/ternyata-ini-penyebab-sipadan-dan-ligitan-lepas-dari-indonesia?page=3


Posting Komentar

0 Komentar