Tulisan ini adalah review dari bab Building Relations Through Culture
dari buku Cultural Diplomacy karya Kristen Bound, Rachel Briggs, John
Holden dan Samuel Jones. Buku ini membahas tentang perkembangan kebijakan
diplomasi budaya Inggris dengan negara-negara lain. Bab ini menjelaskan secara
khusus kebijakan diplomasi budaya antara negara-negara Barat (dalam bab ini
dijelaskan tentang Inggris, Perancis dan Amerika Serikat) dengan negara-negara
kekuatan dunia baru yang tergabung dalam BRIC (Brazil, Rusia, India &
China) selama 2000-2006.
Tulisan ini akan memuat sub pembahasan.
Ringkasan dari bab Building Relations Trough Culture dan analisa dari
kasus diplomasi budaya Inggris dengan membandingkan dengan referensi lain.
di akhir tulisan, penulis akan menyimpulkan topik
tentang hubungan antara diplomasi budaya dengan politik luar negeri.
Strategi Diplomasi Budaya antara Barat dan Timur
Pasca Perang Dingin, rivalitas antara Blok
Barat dan Blok timur semakin melonggar. Kekuatan politik dengan persaingan
antar dua blok digantikan dengan aliansi dan kerjasama multilateral seiring
runtuhnya Uni Soviet. Pendekatan dalam diplomasi pun sudah berubah dari
pendekatan militeristik menuju pendekatan kultural. Budaya sebagai media
promosi negara memegang peranan penting untuk mempererat hubungan yang lama
renggang dan menjalin hubungan baru dengan negara lain. Namun, diplomasi budaya
akan sia-sia tanpa ada koordinasi struktural antara semua pihak yang
berkontribusi dalam diplomasi budaya (Bound, et. al., 2007, hal. 52).
Budaya dapat menjadi pelumas yang memperlancar
gerak mesin politik yang selalu berputar. Budaya menjadi media untuk membuka
keran politik secara non-formal dan membuka pintu hubungan diplomatik yang
renggang. Hubungan antar keduanya akan menghasilkan sesuatu yang nyata. Salah
sedikit dalam urusan diplomasi budaya, hubungan politik antara dua negara bisa
semakin memanas dan berlanjut ke generasi selanjutnya.
Diplomasi budaya melibatkan aktor
non-pemerintah dan individu untuk mempromosikan kebudayaan negaranya. Kehadiran
individu dalam diplomasi budaya dapat menjalin hubungan personal yang
sewaktu-waktu bisa berubah dengan ketidaksepakatan politis (Briggs, et. al,
2007, hal. 53). Untuk mempererat hubungan diplomatis, institusi kebudayaan
berupa pusat seni, arena pameran dan museum membuat diplomasi semakin hangat
karena tugas diplomatik dan hiburan dapat terpenuhi bersamaan. Sebagai contoh,
diplomasi budaya antara Inggris dan Republik Rakyat China (RRC) menghasilkan
hubungan bilateral yang baik melalui diplomasi budaya. Pada tahun 1999, Royal
Ballet, salah satu tim penari balet asal Inggris tampil di Shanghai. Penampilan
mereka disaksikan oleh Presiden RRC Jiang Zemin bertepatan dengan kunjungan
Sekretaris Negara Inggris bidang Kebudayaan, Media dan Olahraga Chris Smith.
Selanjutnya, pada tahun 2005, London’s Royal Academy of Arts mengadakan
pameran budaya bertemakan China: The Three Emperors, 1662-1795. Meskipun sempat bergulir protes anti-NATO di RRC selama enam tahun, hubungan
diplomatik keduanya berjalan baik.
Diplomasi budaya dapat pula membuka pintu
hubungan luar negari yang tertutup. Contoh lain yang dijelaskan dalam bab ini
adalah diplomasi antara Inggris dan Iran yang kembali dibuka setelah terputus
akibat Revolusi Islam Iran. Pembukaan kembali hubungan diplomatik Inggris
dengan Iran dimulai pada masa pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad (Bound, et. al,
2007, hal. 53). Iran sendiri memiliki budaya yang kaya dan sejarah yang
membanggakan di masa lampau. Dengan kelebihan ini, Inggris membuka hubungan
diplomatik dengan Iran melalui kebudayaan dengan membuka kembali pusat
kebudayaan Inggris di Iran. Pada tahun 2005, British Museum mengadakan pameran
bertajuk Forgotten Empire: The World of Ancient Persia dan mendapatkan
respon positif dari berbagai kalangan terutama jurnalis. Hal ini membuat
hubungan keduanya semakin erat. Salah satu indikatornya adalah kemudahan akses
visa bagi warga Inggris ke Iran.
Diplomasi juga memperbaharui negosiasi antar
negara yang semakin berubah sesuai
dengan perubahan zaman. Inggris ingin merubah persepsi dunia terhadap hegemoni
Barat yang selalu unggul dalam diplomasi sehingga negara-negara lain harus
tunduk kepada mereka. Hal yang melatarbelakangi tindakan ini adalah lahirnya
kekuatan dunia baru yang tergabung dalam BRIC. Untuk itu, Inggris menggunakan
diplomasi budaya untuk membuat hubungan
dengan BRIC lebih ramah. Berbagai institusi kebudayaan di Inggris memamerkan
kebudayaan negara-negara BRIC untuk mempererat hubungan diplomatiknya. Salah
satu hasil diplomasi budaya antara Inggris dengan negara-negara BRIC adalah
penyelenggaraan Olimpiade 2008 di Beijing di mana Kedutaan Inggris bersedia
untuk bekerjasama dalam penyelenggaraan Olimpiade. Kepentingan yang ingin
Inggris capai dari kerjasama ini adalah agar terbentuk inisiasi untuk bekerjasama
dalam mensukseskan Olimpiade berikutnya di London.
Namun,
diplomasi budaya tak selamanya ramah. Ada kalanya diplomasi budaya mempeburuk
hubungan diplomatik antar negara. Salah satu contoh kasus hubungan yang rusak
karena budaya adalah retaknya hubungan antara Iran dengan Perancis disebabkan
penamaan “Teluk Persia” dengan “Teluk Arab” di sebuah pameran di museum Louvre
pada Desember 2005. Iran yang merasa tersinggung atas hal ini menduh museum
dengan dalih “revisionisme goegrafis” dan menuntut penulisan sejarah kembali.
Maka hubungan antara budaya dan politik sangat vital. Hubungan diplomatik tidak
akan terjadi begitu saja. Diplomasi kebudayaan harus juga didukung dengan
pemerintahan kuat dan persetujuan agar timbul keseimbangan antara budaya dan
politik (Bound, et. al, 2007, hal. 63-64).
Antara Diplomasi Budaya dan Kepentingan
Nasional
Diplomasi budaya merupakan salah satu media
yang digunakan negara untuk mencapai kepentingannya. Cummings Jr.
mendefinisikan diplomasi budaya sebagai “pertukaran ide, informasi dan berbagai
aspek budaya antar negara dan rakyat untuk memperkuat kesepahaman” (Schneider,
2003, hal. 3) .
Dalam diplomasi budaya, pendekatan kultural lebih diutamakan daripada
pendekatan politik, ekonomi apalagi militer. Joseph Nye menyatakan bahwa suatu
negara dengan dominasi ekonomi dan politik tidak akan mampu menghadapi fenomena
global kontemporer. Ia harus mampu mengkombinasikan antara kekuatan represif hard
power dengan kekuatan atraktif soft power yang kemudian Nye sebut sebagai smart power
(Hermawan &
Indraswari, 2014, hal. 8) .
Menurut Nye, dengan soft power, apa yang si target pikirkan adalah hal
yang penting. Soft power pun digunakan karena negara mampu mempengaruhi
pemikiran orang tentang negara tersebut dengan pendekatan budaya.
Salah satu latar belakang diplomasi budaya
adalah keragaman budaya. Keragaman budaya merupakan asal muasal dari konsensus
kebijakan budaya. Keragaman budaya dapat pula menyokong kebijakan-kebijakan
sosial-politik lainnya yang terkait (Kang, 2013, hal. 6) . Kondisi dunia saat
ini dengan kemajemukan sosial memungkinkan bagi setiap negara untuk mengadakan
suatu diplomasi budaya. Di antara budaya yang beragam, negara mampu
mempromosikan keebudayaannya di dunia internasional untuk menarik perhatian
dunia agar mau bekerjasama dengannya.
Diplomasi budaya yang diterapkan oleh Inggris
merupakan bentuk penerapan soft power demi mencapai kepentingannya. Beberapa kepentingan
yang hendak dicapai oleh Inggris adalah untuk membuka hubungan diplomasi yang
pernah terputus seperti hubungan diplomatiknya dengan Iran (Bound, et. al, 2007,
hal. 54) dan agar RRC mau membantu Inggris mensukseskan Olimpiade 2012 dengan
menyokong RRC dalam penyelenggaraan Olimpiade 2008 (Bound, et. al 2007, hal
60-61). Kepentingan lebih besar yang dapat Inggris capai adalah mengubah
perspektif negara-negara dunia ketiga menjadi
lebih ramah dan terbuka daripada masa lalu yang terkesan dominan dan mendikte
negara-negara berkembang.
Daftar Pustaka
Bound, et. al (2007). Building Relations Through Culture. dalam
K. Bound et. al, Cultural Diplomacy (pp.
52-64). London: Demos.
Hermawan, Y. P., & Indraswari, R.
(2014). Diplomasi Budaya di Kawasan Asia Tenggara. Bandung: Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan.
Kang, H. (2013). Reframing Cultural Diplomacy: International
Cultural Politics of Soft Power and the Creative Economy.
Schneider, C. P. (2003). Diplomacy that Works: 'Best Practices
in Cultural Diplomacy'. Center for Arts and Culture.
0 Komentar