Presiden RI Joko Widodo mengunjungi Pondok Modern Darussalam Gontor dalam rangka kesyukuran peringatan 90 tahun Gontor pada hari Senin, 19 September 2016 |
Peringatan 90 tahun
Gontor merupakan momentum yang tepat bagi saya untuk menulis terkait hal ini.
Dalam kesyukuran ini, pejabat tinggi negara banyak berdatangan ke pondok
tercinta, mulai dari staf ahli kementerian sampai Wakil Ketua MPR RI, bahkan
yang terakhir Presiden RI datang untuk meresmikan Gedung Utama Unida Gontor
pada Senin (19/9) lalu. Sampai-sampai terdengar selentingan “sekalian aja bawa satu
kabinet.....” meskipun tidak benar-benar satu kabinet yang hadir, ini
menunjukkan bahwa ada simbiosis mutualisme antara ulama dan pemerintah. Salah
satu pernyataan Presiden RI Joko Widodo yang membuktikan akan hal ini adalah,
“terima kasih karena Gontor telah ada di Indonesia.”
Gontor yang merupakan
lembaga pendidikan pencetak para ulama memerlukan pengakuan pemerintah agar
masyarakat semakin percaya akan keberadaan Gontor. Pemerintah juga membutuhkan pesantren dan para ulama agar
mereka mendapatkan saran dan masukan konstruktif dari ummat Islam melalui para
ulama.
Dalam kesempatan
kali ini, saya akan mengupas sedikit peran ulama dalam pemerintah. Saya akan membahas bagaimana ulama pada zaman
klasik dan pertengahan berperan dalam pemerintahan dan bagaimana ulama di
Indonesia mendukung pemerintahan sejak awal kemerdekaan hingga sekarang.
Ulama Islam pada era
klasik dan pertengahan tidaklah sama sekali buta politik bahkan banyak
berkecimpung di dalam pemerintahan. Di antara para ulama ada yang mendukung
raja, namun tak sedikit yang berseberangan dengan penguasa. Mereka banyak
memberikan saran-saran dan rekomendasi kepada para penguasa baik secara lisan
maupun tulisan. Di antara ulama klasik yang bersuara tentang pemerintahan
adalah Ibnu Khaldun yang menulis Muqaddimah tentang tata kelola
masyarakat. wajar saja, beliau pernah menjadi sekretaris Sultan Abu Inan dari
Fez (Maroko) sehingga ketika ia mengembangkan keilmuannya, beliau menuangkan
ide-ide politisnya dengan lihai. Begitu pula dengan Jamaluddin Al-Afghani yang
mengembangkan konsep Pan-Islamisme yang ingin menggabungkan negara-negara Islam
melawan kolonialisme Barat ketika Mesir menghadapi masa penjajahan Inggris.
Tidak hanya di Timur
Tengah, ulama-ulama tanah air juga berkontribusi dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Di masa
pembentukan negara, banyak ulama yang iuran ide bagaiman Indonesia terbentuk, sebut saja H. Agus Salim
dan H. Wahid Hasjim yang bergabung dengan Panitia Sembilan untuk membentuk
dasar negara Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, banyak ulama yang mendukung,
mengoreksi hingga mengkritisi pemerintah. Semua ini bertujuan agar pemerintah
memperhatikan kepentingan umat Islam. Salah satu contohnya adalah kritik Buya
Hamka atas pemerintahan Soeharto dalam buku “Dari Hati ke Hati”. Hamka mengkritisi
pembangunan di Indonesia pada waktu itu tidak diimbangi dengan pembangunan
mental bangsa.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai penaung Ulama Indonesia
Sadar dengan peran
ulama yang vital bagi masyarakat, ulama-ulama dari berbagai ormas Islam bersatu
untuk membentuk wadah para ulama, zuama dan cendekiawan muslim. Mereka sepakat
untuk mendirikan Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 7 Rajab 1395 yang
bertepatan dengan 26 Juli 1975 di Jakarta. MUI bertujuan untuk memberikan
bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama
dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala, memberikan nasihat
dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan
masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan
kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa
serta, menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah
timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional,
meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan
cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat
khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal
balik.
MUI telah mengeluarkan berbagai fatwa yang menjadi rekomendasi dalam
kebijakan pemerintah. Saat ini, MUI sudah memiliki perwakilan di setiap daerah.
Setiap perwakilan MUI bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam penegakan
syariat Islam di masyarakat. Mereka mengadakan berbagai kegiatan untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Islam seperti sosialisasi
penyembelihan hewan qurban, sosialisasi halal dsb.
Dari tulisan ini,
kita dapat menyimpulkan bahwa ulama selalu beramal bersama pemerintah. Sejak
masa Daulah Islamiyah hingga sekarang, para ulama selalu membantu, menasihati
dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan para penguasa. Ulama Indonesia sejak
kemerdekaan. Bahkan, di antara mereka ada yang ikut merumuskan proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Ada pula yang duduk langsung di pemerintahan.
Jadi, ulama dan pemerintah tidak dapat dipisahkan peran mereka dan ada ketergantungan
untuk membangun karakter umat Islam di Indonesia.
0 Komentar