Tulisan ini saya
buat untuk mengingatkan kembali baik semua yang masih belajar atau yang
menyelesaikan pendidikannya di Pondok Modern Darussalam Gontor. Tujuan saya
menulis kali ini adalah untuk mengingatkan kembali tentang sebuah peristiwa
yang seharusnya haram dilakukan oleh seorang santri terhadap kiainya. Semoga
dengan tulisan ini santri atau semua penuntut ilmu tidak lagi melakukan hal
tersebut baik kepada guru atau pimpinannya.
Peristiwa ini
dinamakan Peristiwa Sembilan Belas Maret atau disingkat Persemar. Peristiwa ini
akan selalu diingat oleh seluruh santri dan alumni Gontor. Peristiwa yang
selalu mengingatkan kembali nilai-nilai pondok, pentingnya ketaatan santri
kepada kiai dan lainnya. Peristiwa selalu menjadi pesan agar tetap menjaga
nilai-nilai dan sunnah pondok. Peristiwa ini sendri dimulai pada tangal 19
Maret 1967.
Berawal dari masalah
kesejahteraan santri dan masalah lauk pauk, para santri memulai aksi protes
mereka. Pukul bel seenaknya, aksi corat-coret sampai perusakan fasilitas pondok
semua mereka lakukan. Aksi vandalisme tidak hanya dilakukan di dalam areal
pondok, bahkan meluas sampai ke desa sekitar. Kambing milik pak kepala desa
yang merupakan keluarga Trimurti[1]
pun mereka rampas dan sembelih untuk pesta pora para pemberontak. Bahkan ada
keinginan pula untuk melengserkan kiai pada waktu itu, alasan yang mereka
kemukakan adalah “pondok kan milik ummat. Jadi bisa, dong kiai kita ganti....”
Siapa yang
mendalangi peristiwa ini? Menurut beberapa tulisan dan ceramah yang disampaikan
guru-guru senior, dalang di balik peristiwa ini adalah seorang guru muda yang
baru lulus sarjana muda. Dia memang pandai berorasi dan terkenal di kalangan
guru. Akan tetapi, nafsu dan egoismenya saat itu mungkin sedang menjadi-jadi
dan ia kecewa dengan kesejahteraan guru-guru waktu itu. Dia mendapat banyak
dukungan dari para santri senior untuk melancarkan aksinya.
Santri saat itu pun
terbelah menjadi dua kubu, yaitu mereka yang pro dengan aksi ini dan kontra
terhadapnya. Mereka yang setuju akhirnya melakukan aksi brutal dan merusak
pondok, sedangkan yang menolak aksi ini tetap belajar bersama pak kiai.
Meskipun kemudian semuanya dipulangkan, mereka yang menolak ini dipanggil
kembali ke pondok dan melanjutkan studinya hingga tamat. Di antara mereka yang
dipanggil ini adalah KH. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag., pimpinan Gontor saat ini.
Pak kiai sendiri
tetap tegar menghadapi perbuatan bangsat para santri-santrinya. Beliau tetap
mengajarkan mereka yang tidak terlibat di aula. Semakin peristiwa ini memuncak,
semakin kuat ujian ketegaran dan kesabaran beliau. Pak kiai pun mengungkit
masalah ini dan ingin mencari siapa kancilnya dan siapa durna-nya --otak semua
kelicikan dalam fabel dan kisah pewayangan--. Puncaknya adalah ketika beliau
memulangkan semua santri baik yang terlibat maupun tidak. Mereka diperintahkan
untuk kembali ke kampung halaman masing-masing dengan membawa semua cerita dan
nasihat pondok sampai menunggu surat pemanggilan kembali dari pondok. Setelah
bapak Direktur KMI yang kala itu adalah KH. Imam Zarkasyi mengirimkan surat
panggilan, para santri kembali ke pondok sekitar pertengahan tahun 1967. Tahun
ajaran baru pun dimulai seiring kembalinya santri-santri.
Setelah kejadian
ini, bantuan mengalir dari banyak pihak termasuk dari pihak militer. Awalanya
mereka menawarkan untuk menjaga keamanan pondok dan pak kiai. Namun demikian
pak kiai menolak tawaran itu dengan alasan ini adalah masalah internal yang
harus diselesaikan sendiri. Meskipun pak kiai sempat menolak, pihak militer
tetap menjaga keamanan pondok setelah situasi kondusif dan para santri kembali
ke kampung halaman. Beberapa tahun setelah kejadian ini, kemajuan justru
semakin dirasakan oleh semua keluarga pondok. Gontor yang saat itu belum
memiliki warung untuk memenuhi kebutuhan santri dan meningkatkan keuangan
pondok akhirnya berdiri. Para santri yang pada awalnya shalat di masjid pusaka dengan
luas tak seberapa, hingga harus menggelar sajadah untuk shalat di teras masjid,
saat ini sudah shalat di masjid jami’ yang bisa menampung ±3000-4000 orang.
Unit-unit usaha pun banyak berdiri di Gontor dan Ponorogo kota sampai mampu
menunjang kebutuhan masyarakat Ponorogo. Memang, di balik musibah ada berkah
yang akan didapat setelah menjalaninya dengan sabar.
Peristiwa ini
sungguh memberi pelajaran bagi kita semua. Sebagai seorang penuntut ilmu,
menghormati guru merupakan sebuah kewajiban. Melawan guru dilarang keras
apalagi para santri yang memiliki background Islam yang sangat kuat. Dalam
pepatah Arab pun dikatakan bahwa ketaatan kepada guru menjadi syarat menuntut
ilmu. Mahasiswa yang memiliki pemikiran kritis boleh saja mengkritisi segala
bentuk kebijakan dan pengajaran dosennya, asalkan melalui koridor yang ada dan
disampaikan secara santun bukan dengan aksi tak terpuji. Segala tindakan melawan
guru akan mengakibatkan ilmu yang didapat selama ini sia-sia dan tidak akan
mampu diamalkan di masyarakat kelak. Maka sudah merupakan kewajiban kita untuk
menghormati guru agar ilmu kita berkah dan bermanfaat.
[1] Sebutan untuk tiga orang bersaudara
pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, mereka adalah: KH. Ahmad Sahal, KH.
Zainuddin Fananie dan KH. Imam Zarkasyi –Allah yarhamuhum-
0 Komentar