PRAKTIK MUSYAWARAH PADA MASA KHULAFA’ AR-RASYIDIN[1]

Abstrak:
Khulafa’ ar-Rasyidin adalah sahabat Rasulullah saw. yang memegang kepemimpinan umat Islam setelah Rasulullah saw. wafat. Setiap khalifah memiliki karakter kepemimpinan masing-masing dan menjadi ciri kepemimpinannya. Akan tetapi, mereka selalu bermusyawarah dalam membahas urusan
pemerintahan baik bersama sahabat lainnya atau umat Islam pada umumnya. Musyawarah yang mereka laksanakan bertujuan untuk mencapai kesepakatan sehingga tidak ada lagi perselisihan mengenai suatu perkara. Tidak hanya dalam membahas sebuah masalah, suksesi khalifah dilakukan pula melalui musyawarah. Musyawarah dalam Islam merupakan suatu kewajiban negara. Musyawarah juga adalah hak rakyat untuk memilih pemimpin dan menentukan arah kebijakan seorang pemimpin. Segala hal yang berkaitan dengan kepentingan umat adalah urusan duniawi. Dengan konsep syura, makalah ini akan membahas praktik syura selama era khulafa’ ar-rasyidin.
Kata kunci: Syura, Khulafa’ Ar-Rasyidin, negara, Islam.
Latar Belakang
Khulafa’ ar-Rasyidin merupakan penerus pemerintahan umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw. Mereka yang menentukan arah perpolitikan Islam di masa itu. Segala keputusan mereka akan terkait dengan kepentingan umat muslim. Untuk menyelesaikan segala permasalahan, mereka terlebih dahulu bermusyawarah dengan para sahabat atau kaum muslimin. Musyawarah mereka lakukan demi kesepakatan bersama terjaganya kehidupan sosial umat Islam.
Konsep syura merupakan konsep yang harus dijalankan dalam setiap  penyelenggaraan negara. Syura adalah diskusi yang diselenggarakan oleh sekelompok orang untuk mencapai keputusan dalam suatu permaslahan (Kurdi, 2000, hal. 134). Konsep ini juga merupakan hak istimewa yang dimilik seluruh elemen negara, baik warga negara untuk memilih pemimpin atau pemimpin untuk mengambil keputusan. Syura merupakan kewajiban kedua negara setelah keadilan. (Rais, 2001, hal. 272).. Apabila dimusyawarahkan, keputusan pemimpin dapat disepakati oleh segala pihak tanpa ada perselisihan atau perselisihan tersebut dapat diatasi. Maka dari itu, syura dalam pemerintahan perlu dijalankan. Hamka dalam bukunya Keadilan Sosial dalam Islam membuat pernyataan tegas di dalam judul pembahasannya, “Sekali lagi, Syura!”
Makalah ini akan membahas tentang peranan majelis syura pada zaman Khulafa al-Rasyidin. Peran mereka sangatlah penting dalam pemerintahan empat khalifah setelah wafatnya Rasulullah saw. Salah satunya adalah pengumpulan Al-Quran dalam pada era Abu Bakar. Keberhasilan para sahabat dalam mengumpulkan Al-Quran tidak lain karena musyawarah di antara mereka. Sebelum itu, pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah merupakan hasil musyawarah antara kaum Muhajirin dan Anshar hingga pemakaman Rasulullah saw. waktu itu tertunda (Hamka, 2015). Memang sebelum Rasulullah saw. wafat, Abu Bakarlah yang selalu ditunjuk untuk memimpin shalat kaum muslimin. Akan tetapi, kaum muslimin tetap bermusyawarah hingga semuanya rela akan kekhalifahan Abu Bakar dan membai’atnya. Akhirnya para khalifah bermusyawarah dalam memutuskan segala sesuatu.
Pemerintahan Khulafa’ Ar-Rasyidin dan Musyawarah-Musyawah Penting
Abu Bakar merupakan Khalifah pertama setelah Rasulullah saw. wafat. Pembai’atannya sebagai khalifah tidak mendapat tentangan dari pihak manapun. Ada yang berpendapat karena kedudukan Abu Bakar di mata Rasulullah. (Haekal, 2008, hal. 54). Kaum Muhajirin menganggapnya yang paling utama di antara mereka hingga rela melantiknya sebagai khalifah (Hamka, 2001, hal. 204).
Ketika Abu Bakar menjabat khalifah, banyak kabilah yang enggan membayar zakat. Menghadapi kasus ini, Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat. Umar dan mayoritas sahabat berpendapat agar tidak memerangi umat yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, adapaun yang menolak mungkin sebagian kecil saja. Ketika perdebatan semakin larut, Abu Bakar akhirnya mengambil sikap untuk memerangi pembangkang zakat. Dengan lantang ia berkata, “Demi Allah, aku akan memerang siapapun yang memisahkan shalat dengan zakat. Zakat adalah harta.” (Haekal, 2008, hal. 89). Akhirnya para sahabat sepakat untuk memerangi pembangkang. Pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak Abu Bakar.
Umar bin Khattab meneruskan tonggak kekhalifahan pasca Abu Bakar wafat. Sebelum memeluk Islam, ia merupakan penentang Rasulullah paling keras. Ia beranggapan pada waktu itu dakwah Rasulullah akan memecah belah persatuan Quraisy dan menginjak-injak kedudukan tanah suci (Haekal, 2010, hal. 18). Namun setelah ia memeluk Islam, Umar menjadi pendamping Rasulullah dalam setiap dakwahnya. Dengan kejujuran dan kegigihannya, ia termasuk orang terpandang dalam kalangan muslimin sampai ia diangkat sebagai khalifah. Abu Bakar pun mengajukan nama Umar dan Abu Ubaidah untuk menjadi khalifah pasca wafatnya Rasulullah (Hamka, 2001, hal. 204).
Umar telah membuat catatan emas dalam pemerintahan Islam baik sebelum maupun saat kekhalifahannya. Dialah yang menyarankan Abu Bakar untuk mengumpulkan Al-Quran setelah peristiwa Yamamah yang menewaskan banyak penghafal Al-Quran (Haekal, 2010, hal. 73). Saat menjadi khalifah ia selalu bermusyawarah dalam mengambil keputusan. Dalam bermusyawarah, ia menggalang pendapat dari kaum Muhajirin dan Anshar untuk merumuskan hukum yang tak terulis dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Tak jarang pula ia bermusyawarah dengan orang banyak setelah shalat berjamaah. Ia juga mengajak anak muda untuk mengutarakan pendapatnya karena ketajaman pemikiran mereka (Haekal, 2010, hal. 601).
Beberapa contoh musyawarah yang Umar laksanakan selama kekhalifahannya adalah saat Abu Ubaid terbunuh dalam perang di Irak. Umar ingin berangkat bersama pasukan perang. Sebelumya, ia bermusyawarah dengan para sahabat apakah ia harus berangkat atau tetap tinggal di Madinah. Salah seorang sahabat menyarankannya agar ia menetap di Madinah dan mengutus seseorang untuk berperang. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap di Madinah (Haekal, 2010, hal. 601). Umar terkenal pula sebagai khalifah yang membentuk lembaga keuangan. Ia memikirkan hal ini karena terkejut dengan jawaban Abu Ubaidah yang membawa lima ratus ribu dirham sepulangnya dari Bahrain. Ia pun mengajak bermusyawarah terkait hal ini. Walid bin Hisyam bin Al-Mughirah menyarankan agar mendirikan lembaga keuangan. Umar menerima sarannya kemudian membentuk lembaga keuangan (Haekal, 2010, hal. 625).
Sebelum kematiannya, Umar membentuk Majelis Syura untuk memilih khalifah setelahnya. Mereka adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidah, Sa’ad bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin ‘Auf. Mereka berdebat panjang selama sehari atau dua hari dalam riwayat lain. Akhirnya Umar mengajak anaknya Abdullah untuk bermusyawarah.  Abdurrahman bin ‘Auf pun berusaha untuk meyakinkan khayalak ramai untuk memilih khalifah di suatu hari selepas shalat subuh (Haekal, 2010, hal. 27). Di hari itu pula, Abdurrahman melantik Usman bin Affan di hadapan kaum Muslimin dan semua sepakat dengan pelantikannya.
Usman dikenal sebagai orang yang kaya dan terpandang di kalangan kaum Quraisy. Dalam pemerintahannya, ia membebaskan kaum Muhajirin untuk berpindah-pindah ke segala penjuru dan menikmati kesenangan dunia, hal yang belum pernah dilakukan oleh dua khalifah sebelumnya yang memerintahkan rakyat untuk hidup lebih sederhana (Haekal, 2010, hal. 119). Ia juga yang memperbarui Masjid Nabawi menjadi lebih megah (Haekal, 2010, hal. 122-123).
Langkah Usman yang perlu diapresiasi pada zamannya adalah penyeragaman bacaan Al-Quran dan penyatuan mushaf menjadi mushaf Usman. Penyeragaman ini bermula ketika Hudzaifah bin Yaman terlibat dalam perang di Armenia dan Azerbaijan. Dalam peperangan itu, beberapa jamaah membaca AL-Quran menurut bacaan Abu Darda’ ada pula yang membaca menurut bacaan Ibnu Mas’ud. Para jamaah itu saling mengklaim bacaannya lebih baik dari yang lain. Hal ini menimbulkan pertengkaran antara mereka. Melihat kejadian ini, Hudzaifah segera pulang ke Madinah dan mengadukan hal ini kepada Usman. Usman segera bermusyawarah untuk membahas masalah ini. Menjawab berbagai pendapat, ia sepakat dengan adanya satu bacaan. (Haekal, 2010, hal. 125). Para sahabat yang hadir menyetujui pendapatnya. Ia segera mengutus orang kepada Hafsah binti Umar agar mengirimkan Mushaf milik Abu Bakar untuk disalin. Kemudian ia menugaskan Zaid bin Tsabit untuk menulis kembali mushaf-mushaf itu. Mushaf yang telah disalin kemudian dikirimkan ke kota-kota besar. Mushaf Al-Quran yang ada di tangan kaum Muslimin pun menjadi seragam dan dinamakan mushaf Usman karena penyeragamannya atas perintah Usman bin Affan .
Ali bin Abi Thalib merupakan khalifah terakhir pada masa khulafa’ ar-rasyidin. Masa kekhalifahannya penuh dengan pertentangan salah satunya yang dilakukan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dengan menolak membai’at Ali sampai pembunuh Usman terungkap (Audah, 2003, hal. 245). Tak banyak pula hal-hal yang dimusyawarahkan pada zaman ini. Kendati demikian, Ali kerap kali ikut bermusyawarah dalam urusan negara di kekhalifahan sebelumnya. Ali dijadikan staf khusus oleh Umar dalam membahas urusan negarayang tidak tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah (Haekal, 2010, hal. 601). Ali juga mengusulkan kepada Umar sebelum pembetukan lembaga keuangan agar harta rampasan dibagikan setiap tahun (Haekal, 2010, hal. 625) Ia bersama Majelis Syura bermusyawarah untuk memilih pengganti Umar bin Khattab (Haekal, 2010, hal. 3). Maka keempat khulafa’ ar-rasyidin  menjalalankan syura dengan sungguh-sungguh agar tercapai suara sepakat demi kepentingan kaum muslimin.
Pandangan Ulama tentang Syura dalam Pemerintahan Khulafa’ Ar-Rasyidin
Syura merupakan kewajiban dalam penyelenggaraan negara setelah menegakkan keadilan (Rais, 2001, hal. 272). Kewajiban menjalankan syura merupakan perintah langsung dari Allah swt. dalam surat Asy-Syura ayat 38:
والذين استجابوا لربهم و أقاموا الصلوة وأمرهم شورى بينهم و ممّا رزقنا هم ينفقون
Syura juga merupakan hak istimewa bagi negara untuk menentukan pemimpin bagi setiap rakyat yang memiliki hak untuk memilih (Kurdi, 2000, hal. 133). Dalam pemilihan khalifah setelah Rasulullah wafat, rakyat diberikan pilihan untuk menentukan pemimpinnya. Pemilihan ini dilaksanakan dengan jalan syura. Setelah diadakan musyawarah, masyarakat membai’at Abu Bakar sebagai khalifah atas usulan Umar. Begitu pula dengan suksesi Umar. Umar membentuk Majelis Syura untuk menentukan pemimpin setelahnya. Setelah musyawarah dan perdebatan panjang, Usman bin Affan-lah yang akhirnya terpilih sebagai khalifah (Haekal, 2010, hal. 27). Maka, pemilihan khalifah melalui umat atau wakil umat seperti para sahabat meupakan sebuah urgensi (Rais, 2001, hal. 128). Meskipun demikian, Abu Bakar menunjuk Umar sebagai khaifah setelahnya karena kondisinya menjelang ajal dan muslimin dalam keadaan perang melawan Persia. Ia takut umat akan terpecah apalagi mereka sedang berperang (Rais, 2001, hal. 133).   
Segala urusan kenegaraan yang dapat dimusyawarahkan merupakan urusan terkait kepentingan umat seperti pendidikan, keuangan, sosial dan sebagainya. Hamka (2015, hal. 25) membagi segala urusan menjadi dua, yaitu: yang tidak boleh diusik (ta’abbudi) yakni yang berkaitan langsung dengan ibadah seperti shalat, puasa, haji dll, dan yang boleh diakali dan dimusyawarahkan (ta’aqquli). Segala urusan keduniaan termasuk pemerintahan termasuk ke dalam urusan ta’aqquli. Dalam urusan pemerintahan, keempat khalifah selalu mengutamakan musyawarah. Abu Bakar bermusyawarah dengan Umar dalam pengumpulan Al-Quran setelah syahidnya para pengahafal Al-Quran. Umar juga bermusyawarah dengan para sahabat dalam membentuk lembaga keuangan.
Syura yang ada pada zaman khalifah empat ini tidak serta merta membatasi keputusan khalifah. Para pemberi pendapat yang memberi pendapat kepada khalifah tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada khalifah. Segala keputusan yang ada tetaplah di tangan khalifah (Haekal, 2010, hal. 600). Khalifah bertanggungjawab kepada Allah dan kepada rakyat. Tanggung jawab khalifah kepada rakyat karena ia diberikan kekuasaan dalam mengurusi rakyat melalui pengangkatan (Rais, 2001, hal. 277). Setiap memutuskan hasil musyawarah, khalifah akan melaksanakan hasil tersebut dan akan mengutus seseorang untuk menjadi pelaksana sebagai bentuk tanggung jawab khalifah kepada rakyat. Sebagai contoh, Usman mengutus Zaid dalam pengumpulan Al-Quran. Pengutusan Zaid merupakan bentuk tanggung jawab Usman atas keputusannya menyeragamkan Al-Quran.
Kesimpulan
Khulafa’ ar-Rasyidin merupakan para pemimpin ummat setelah Rasulullah saw. wafat. Dalam melaksanakan tugas mereka sebagai pemimpin, mereka bermusyawarah dalam membahas berbagai masalah dengan para sahabat atau kaum muslimin. Para khalifah bermusyawarah agar tercapai kesepakatan dalam menyelesaikan permasalahan. Tak hanya dalam pembahasan suatu masalah, suksesi khalifah dilakukan pula dengan musyawarah agar semuanya sepakat dan rela untuk melantik khalifah mereka. Terbukti dengan musyawarah, tidak ada perselisihan dalam pengangkatan khalifah. Hasil kesepakatan masing-masing khalifah juga menjadi prestasi besar umat Islam saat itu, seperti pengumpulan Al-Quran dan penyeragaman bacaannya, pembentukan lembaga keuangan serta pembentengan aqidah dari kaum murtaddin dan nabi-nabi palsu.
Syura merupakan kewajiban dalam pelaksanaan negara. Syura juga merupakan hak rakyat dalam memilih khalifah serta keputusan dalam urusan negara. Urusan yang dapat dimusyawarahkan hendaklah urusan terkait masalah keduniaan karena urusan ibadah merupakan kewenangan Allah yang tidak dapat diganggu gugat. Musyawarah merupakan kewajiban negara dan hak rakyat untuk berpendapat akan tetapi segala keputusan berada di tangan khalifah. Khalifah bertanggungjawab kepada Allah dan kepada rakyat dalam setiap keputusannya. Tanggung jawab ini didasarkan kepada pemilihannya yang ditentukan di tangan rakyat. Khalifah berhak pula menugaskan urusan itu kepada yang kompeten sebagai bentuk pelaksanaa hasil musyawarah antara umat

DAFTAR PUSTAKA

Audah, A. (2003). Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husain. Bogor: Litera AntarNusa.
Haekal, M. H. (2008). Abu Bakr As-Siddiq: Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi. (terjemahan oleh Ali Audah) Bogor: Pt. Pustaka Litera AntarNusa.
Haekal, M. H. (2010). Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan dan Kejayaan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu. (terjemahan oleh Ali Audah) Bogor: Litera AntarNusa.
Haekal, M. H. (2010). Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan. Bogor: Litera AntarNusa.
Hamka. (2001). Sejarah Umat Islam. Singapura: Perpustakaan Nasional Pte Ltd.
Hamka. (2015). Keadilan Sosial dalam Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Kurdi, A. A. (2000). Tatanan Sosial Islam: Studi Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. (terjemahan oleh Ilzamuddin Ma'mur) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rais, D. (2001). Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press .







[1] Ditujukan untuk memenuhi tugas pengganti Ujian Tengah Semester genap mata kuliah Sejarah Peradaban Politik Islam Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Darussalam Gontor

Posting Komentar

0 Komentar