Abstrak:
Khulafa’ ar-Rasyidin adalah sahabat Rasulullah saw. yang
memegang kepemimpinan umat Islam setelah Rasulullah saw. wafat. Setiap khalifah
memiliki karakter kepemimpinan masing-masing dan menjadi ciri kepemimpinannya.
Akan tetapi, mereka selalu bermusyawarah dalam membahas urusan
pemerintahan
baik bersama sahabat lainnya atau umat Islam pada umumnya. Musyawarah yang
mereka laksanakan bertujuan untuk mencapai kesepakatan sehingga tidak ada lagi
perselisihan mengenai suatu perkara. Tidak hanya dalam membahas sebuah masalah,
suksesi khalifah dilakukan pula melalui musyawarah. Musyawarah dalam Islam
merupakan suatu kewajiban negara. Musyawarah juga adalah hak rakyat untuk
memilih pemimpin dan menentukan arah kebijakan seorang pemimpin. Segala hal
yang berkaitan dengan kepentingan umat adalah urusan duniawi. Dengan konsep
syura, makalah ini akan membahas praktik syura selama era khulafa’ ar-rasyidin.
Latar Belakang
Khulafa’ ar-Rasyidin merupakan penerus pemerintahan umat Islam
sepeninggal Nabi Muhammad saw. Mereka yang menentukan arah perpolitikan Islam
di masa itu. Segala keputusan mereka akan terkait dengan kepentingan umat
muslim. Untuk menyelesaikan segala permasalahan, mereka terlebih dahulu
bermusyawarah dengan para sahabat atau kaum muslimin. Musyawarah mereka lakukan
demi kesepakatan bersama terjaganya kehidupan sosial umat Islam.
Konsep syura merupakan konsep yang harus
dijalankan dalam setiap penyelenggaraan
negara. Syura adalah diskusi yang diselenggarakan oleh sekelompok orang untuk
mencapai keputusan dalam suatu permaslahan (Kurdi, 2000, hal. 134) . Konsep ini juga
merupakan hak istimewa yang dimilik seluruh elemen negara, baik warga negara
untuk memilih pemimpin atau pemimpin untuk mengambil keputusan. Syura merupakan
kewajiban kedua negara setelah keadilan. (Rais, 2001, hal. 272) .. Apabila
dimusyawarahkan, keputusan pemimpin dapat disepakati oleh segala pihak tanpa
ada perselisihan atau perselisihan tersebut dapat diatasi. Maka dari itu, syura
dalam pemerintahan perlu dijalankan. Hamka dalam bukunya Keadilan Sosial
dalam Islam membuat pernyataan tegas di dalam judul
pembahasannya, “Sekali lagi, Syura!”
Makalah ini akan membahas tentang peranan
majelis syura pada zaman Khulafa al-Rasyidin. Peran mereka sangatlah
penting dalam pemerintahan empat khalifah setelah wafatnya Rasulullah saw.
Salah satunya adalah pengumpulan Al-Quran dalam pada era Abu Bakar. Keberhasilan
para sahabat dalam mengumpulkan Al-Quran tidak lain karena musyawarah di antara
mereka. Sebelum itu, pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah merupakan hasil
musyawarah antara kaum Muhajirin dan Anshar hingga pemakaman Rasulullah saw.
waktu itu tertunda (Hamka, 2015) . Memang sebelum
Rasulullah saw. wafat, Abu Bakarlah yang selalu ditunjuk untuk memimpin shalat
kaum muslimin. Akan tetapi, kaum muslimin tetap bermusyawarah hingga semuanya
rela akan kekhalifahan Abu Bakar dan membai’atnya. Akhirnya para khalifah
bermusyawarah dalam memutuskan segala sesuatu.
Pemerintahan Khulafa’ Ar-Rasyidin dan
Musyawarah-Musyawah Penting
Abu Bakar merupakan Khalifah pertama setelah
Rasulullah saw. wafat. Pembai’atannya sebagai khalifah tidak mendapat tentangan
dari pihak manapun. Ada yang berpendapat karena kedudukan Abu Bakar di mata
Rasulullah. (Haekal, 2008, hal. 54) . Kaum Muhajirin
menganggapnya yang paling utama di antara mereka hingga rela melantiknya
sebagai khalifah (Hamka, 2001,
hal. 204) .
Ketika Abu Bakar menjabat khalifah, banyak
kabilah yang enggan membayar zakat. Menghadapi kasus ini, Abu Bakar
bermusyawarah dengan para sahabat. Umar dan mayoritas sahabat berpendapat agar
tidak memerangi umat yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, adapaun yang
menolak mungkin sebagian kecil saja. Ketika perdebatan semakin larut, Abu Bakar
akhirnya mengambil sikap untuk memerangi pembangkang zakat. Dengan lantang ia
berkata, “Demi Allah, aku akan memerang siapapun yang memisahkan shalat dengan
zakat. Zakat adalah harta.” (Haekal, 2008, hal. 89) . Akhirnya para
sahabat sepakat untuk memerangi pembangkang. Pertempuran berakhir dengan
kemenangan di pihak Abu Bakar.
Umar bin Khattab meneruskan tonggak
kekhalifahan pasca Abu Bakar wafat. Sebelum memeluk Islam, ia merupakan
penentang Rasulullah paling keras. Ia beranggapan pada waktu itu dakwah
Rasulullah akan memecah belah persatuan Quraisy dan menginjak-injak kedudukan
tanah suci (Haekal, 2010,
hal. 18) .
Namun setelah ia memeluk Islam, Umar menjadi pendamping Rasulullah dalam setiap
dakwahnya. Dengan kejujuran dan kegigihannya, ia termasuk orang terpandang
dalam kalangan muslimin sampai ia diangkat sebagai khalifah. Abu Bakar pun
mengajukan nama Umar dan Abu Ubaidah untuk menjadi khalifah pasca wafatnya
Rasulullah (Hamka, 2001,
hal. 204) .
Umar telah membuat catatan emas dalam
pemerintahan Islam baik sebelum maupun saat kekhalifahannya. Dialah yang
menyarankan Abu Bakar untuk mengumpulkan Al-Quran setelah peristiwa Yamamah yang
menewaskan banyak penghafal Al-Quran (Haekal, 2010,
hal. 73) .
Saat menjadi khalifah ia selalu bermusyawarah dalam mengambil keputusan. Dalam
bermusyawarah, ia menggalang pendapat dari kaum Muhajirin dan Anshar untuk
merumuskan hukum yang tak terulis dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Tak jarang
pula ia bermusyawarah dengan orang banyak setelah shalat berjamaah. Ia juga
mengajak anak muda untuk mengutarakan pendapatnya karena ketajaman pemikiran
mereka (Haekal, 2010,
hal. 601) .
Beberapa contoh musyawarah yang Umar
laksanakan selama kekhalifahannya adalah saat Abu Ubaid terbunuh dalam perang
di Irak. Umar ingin berangkat bersama pasukan perang. Sebelumya, ia
bermusyawarah dengan para sahabat apakah ia harus berangkat atau tetap tinggal
di Madinah. Salah seorang sahabat menyarankannya agar ia menetap di Madinah dan
mengutus seseorang untuk berperang. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap di
Madinah (Haekal, 2010,
hal. 601) .
Umar terkenal pula sebagai khalifah yang membentuk lembaga keuangan. Ia
memikirkan hal ini karena terkejut dengan jawaban Abu Ubaidah yang membawa lima
ratus ribu dirham sepulangnya dari Bahrain. Ia pun mengajak bermusyawarah terkait
hal ini. Walid bin Hisyam bin Al-Mughirah menyarankan agar mendirikan lembaga
keuangan. Umar menerima sarannya kemudian membentuk lembaga keuangan (Haekal, 2010,
hal. 625) .
Sebelum kematiannya, Umar membentuk Majelis
Syura untuk memilih khalifah setelahnya. Mereka adalah Usman bin Affan, Ali bin
Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidah, Sa’ad bin Abi Waqqas dan
Abdurrahman bin ‘Auf. Mereka berdebat panjang selama sehari atau dua hari dalam
riwayat lain. Akhirnya Umar mengajak anaknya Abdullah untuk bermusyawarah. Abdurrahman bin ‘Auf pun berusaha untuk
meyakinkan khayalak ramai untuk memilih khalifah di suatu hari selepas shalat
subuh (Haekal, 2010,
hal. 27) .
Di hari itu pula, Abdurrahman melantik Usman bin Affan di hadapan kaum Muslimin
dan semua sepakat dengan pelantikannya.
Usman dikenal sebagai orang yang kaya dan
terpandang di kalangan kaum Quraisy. Dalam pemerintahannya, ia membebaskan kaum
Muhajirin untuk berpindah-pindah ke segala penjuru dan menikmati kesenangan
dunia, hal yang belum pernah dilakukan oleh dua khalifah sebelumnya yang
memerintahkan rakyat untuk hidup lebih sederhana (Haekal, 2010, hal. 119) . Ia juga yang
memperbarui Masjid Nabawi menjadi lebih megah (Haekal, 2010,
hal. 122-123) .
Langkah Usman yang perlu diapresiasi pada
zamannya adalah penyeragaman bacaan Al-Quran dan penyatuan mushaf menjadi
mushaf Usman. Penyeragaman ini bermula ketika Hudzaifah bin Yaman terlibat
dalam perang di Armenia dan Azerbaijan. Dalam peperangan itu, beberapa jamaah
membaca AL-Quran menurut bacaan Abu Darda’ ada pula yang membaca menurut bacaan
Ibnu Mas’ud. Para jamaah itu saling mengklaim bacaannya lebih baik dari yang
lain. Hal ini menimbulkan pertengkaran antara mereka. Melihat kejadian ini,
Hudzaifah segera pulang ke Madinah dan mengadukan hal ini kepada Usman. Usman
segera bermusyawarah untuk membahas masalah ini. Menjawab berbagai pendapat, ia
sepakat dengan adanya satu bacaan. (Haekal, 2010, hal. 125) . Para sahabat yang
hadir menyetujui pendapatnya. Ia segera mengutus orang kepada Hafsah binti Umar
agar mengirimkan Mushaf milik Abu Bakar untuk disalin. Kemudian ia menugaskan
Zaid bin Tsabit untuk menulis kembali mushaf-mushaf itu. Mushaf yang telah
disalin kemudian dikirimkan ke kota-kota besar. Mushaf Al-Quran yang ada di
tangan kaum Muslimin pun menjadi seragam dan dinamakan mushaf Usman karena
penyeragamannya atas perintah Usman bin Affan .
Ali bin Abi Thalib merupakan khalifah terakhir pada masa khulafa’
ar-rasyidin. Masa kekhalifahannya penuh dengan pertentangan salah satunya
yang dilakukan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dengan menolak membai’at Ali sampai
pembunuh Usman terungkap (Audah, 2003, hal. 245) . Tak banyak pula
hal-hal yang dimusyawarahkan pada zaman ini. Kendati demikian, Ali kerap kali
ikut bermusyawarah dalam urusan negara di kekhalifahan sebelumnya. Ali
dijadikan staf khusus oleh Umar dalam membahas urusan negarayang tidak
tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah (Haekal, 2010,
hal. 601) .
Ali juga mengusulkan kepada Umar sebelum pembetukan lembaga keuangan agar harta
rampasan dibagikan setiap tahun (Haekal, 2010,
hal. 625)
Ia bersama Majelis Syura bermusyawarah untuk memilih pengganti Umar bin Khattab (Haekal, 2010,
hal. 3) .
Maka keempat khulafa’ ar-rasyidin menjalalankan syura dengan sungguh-sungguh
agar tercapai suara sepakat demi kepentingan kaum muslimin.
Pandangan Ulama tentang Syura dalam
Pemerintahan Khulafa’ Ar-Rasyidin
Syura merupakan kewajiban dalam
penyelenggaraan negara setelah menegakkan keadilan (Rais, 2001, hal. 272) . Kewajiban
menjalankan syura merupakan perintah langsung dari Allah swt. dalam surat
Asy-Syura ayat 38:
والذين استجابوا لربهم و
أقاموا الصلوة وأمرهم شورى بينهم و ممّا رزقنا هم ينفقون
Syura juga merupakan hak istimewa bagi negara
untuk menentukan pemimpin bagi setiap rakyat yang memiliki hak untuk memilih (Kurdi, 2000, hal. 133) . Dalam pemilihan
khalifah setelah Rasulullah wafat, rakyat diberikan pilihan untuk menentukan
pemimpinnya. Pemilihan ini dilaksanakan dengan jalan syura. Setelah diadakan
musyawarah, masyarakat membai’at Abu Bakar sebagai khalifah atas usulan Umar.
Begitu pula dengan suksesi Umar. Umar membentuk Majelis Syura untuk menentukan
pemimpin setelahnya. Setelah musyawarah dan perdebatan panjang, Usman bin
Affan-lah yang akhirnya terpilih sebagai khalifah (Haekal, 2010, hal. 27) . Maka, pemilihan
khalifah melalui umat atau wakil umat seperti para sahabat meupakan sebuah
urgensi (Rais, 2001, hal. 128) . Meskipun demikian,
Abu Bakar menunjuk Umar sebagai khaifah setelahnya karena kondisinya menjelang
ajal dan muslimin dalam keadaan perang melawan Persia. Ia takut umat akan
terpecah apalagi mereka sedang berperang (Rais, 2001, hal. 133) .
Segala urusan kenegaraan yang dapat
dimusyawarahkan merupakan urusan terkait kepentingan umat seperti pendidikan,
keuangan, sosial dan sebagainya. Hamka (2015, hal. 25) membagi segala
urusan menjadi dua, yaitu: yang tidak boleh diusik (ta’abbudi) yakni
yang berkaitan langsung dengan ibadah seperti shalat, puasa, haji dll, dan yang
boleh diakali dan dimusyawarahkan (ta’aqquli). Segala urusan keduniaan
termasuk pemerintahan termasuk ke dalam urusan ta’aqquli. Dalam urusan
pemerintahan, keempat khalifah selalu mengutamakan musyawarah. Abu Bakar
bermusyawarah dengan Umar dalam pengumpulan Al-Quran setelah syahidnya para
pengahafal Al-Quran. Umar juga bermusyawarah dengan para sahabat dalam
membentuk lembaga keuangan.
Syura yang ada pada zaman khalifah empat ini tidak serta
merta membatasi keputusan khalifah. Para pemberi pendapat yang memberi pendapat
kepada khalifah tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada khalifah. Segala
keputusan yang ada tetaplah di tangan khalifah (Haekal, 2010, hal. 600) . Khalifah
bertanggungjawab kepada Allah dan kepada rakyat. Tanggung jawab khalifah kepada
rakyat karena ia diberikan kekuasaan dalam mengurusi rakyat melalui
pengangkatan (Rais, 2001, hal. 277) . Setiap memutuskan
hasil musyawarah, khalifah akan melaksanakan hasil tersebut dan akan mengutus
seseorang untuk menjadi pelaksana sebagai bentuk tanggung jawab khalifah kepada
rakyat. Sebagai contoh, Usman mengutus Zaid dalam pengumpulan Al-Quran.
Pengutusan Zaid merupakan bentuk tanggung jawab Usman atas keputusannya
menyeragamkan Al-Quran.
Kesimpulan
Khulafa’ ar-Rasyidin merupakan para pemimpin ummat setelah
Rasulullah saw. wafat. Dalam melaksanakan tugas mereka sebagai pemimpin, mereka
bermusyawarah dalam membahas berbagai masalah dengan para sahabat atau kaum
muslimin. Para khalifah bermusyawarah agar tercapai kesepakatan dalam
menyelesaikan permasalahan. Tak hanya dalam pembahasan suatu masalah, suksesi
khalifah dilakukan pula dengan musyawarah agar semuanya sepakat dan rela untuk
melantik khalifah mereka. Terbukti dengan musyawarah, tidak ada perselisihan
dalam pengangkatan khalifah. Hasil kesepakatan masing-masing khalifah juga
menjadi prestasi besar umat Islam saat itu, seperti pengumpulan Al-Quran dan
penyeragaman bacaannya, pembentukan lembaga keuangan serta pembentengan aqidah
dari kaum murtaddin dan nabi-nabi palsu.
Syura merupakan kewajiban dalam pelaksanaan negara. Syura
juga merupakan hak rakyat dalam memilih khalifah serta keputusan dalam urusan
negara. Urusan yang dapat dimusyawarahkan hendaklah urusan terkait masalah
keduniaan karena urusan ibadah merupakan kewenangan Allah yang tidak dapat
diganggu gugat. Musyawarah merupakan kewajiban negara dan hak rakyat untuk
berpendapat akan tetapi segala keputusan berada di tangan khalifah. Khalifah
bertanggungjawab kepada Allah dan kepada rakyat dalam setiap keputusannya.
Tanggung jawab ini didasarkan kepada pemilihannya yang ditentukan di tangan
rakyat. Khalifah berhak pula menugaskan urusan itu kepada yang kompeten sebagai
bentuk pelaksanaa hasil musyawarah antara umat
DAFTAR PUSTAKA
Audah, A. (2003). Ali bin Abi
Thalib sampai kepada Hasan dan Husain. Bogor: Litera AntarNusa.
Haekal, M. H. (2008). Abu Bakr
As-Siddiq: Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam
Sepeninggal Nabi. (terjemahan oleh Ali Audah) Bogor: Pt. Pustaka Litera
AntarNusa.
Haekal, M. H. (2010). Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam
tentang Pertumbuhan dan Kejayaan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu. (terjemahan oleh Ali Audah) Bogor: Litera AntarNusa.
Haekal, M. H. (2010). Usman bin
Affan: Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan. Bogor: Litera AntarNusa.
Hamka. (2001). Sejarah Umat Islam.
Singapura: Perpustakaan Nasional Pte Ltd.
Hamka. (2015). Keadilan Sosial dalam Islam. Jakarta: Gema Insani
Press.
Kurdi, A. A. (2000). Tatanan Sosial Islam: Studi Berdasarkan
Al-Qur'an dan Sunnah. (terjemahan oleh Ilzamuddin Ma'mur) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rais, D. (2001). Teori Politik
Islam. Jakarta: Gema Insani Press .
[1] Ditujukan untuk memenuhi tugas pengganti Ujian Tengah Semester genap mata
kuliah Sejarah Peradaban Politik Islam Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional Universitas Darussalam Gontor
0 Komentar