Masyarakat Ekonomi ASEAN: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia



 
ASEAN yang menjadi organisasi regional Asia Tenggara benar-benar mulai berkomitmen untuk menjadi kekuatan baru politik internasional. Setelah meluncurkan anthem barunya, Asean Ways, kini Asean menjajaki sebuah komunitas baru yang menjadikannya sebagai organisasi yang diperhitungkan di kancah internasional, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Proyek besar ini sudah dicanangkan sejak KTT Asean di Bali tahun 2003. Pada KTT tersebut, para pemimpin negara-negara ASEAN sepakat untuk membentuk masyarakat-masyarakat ASEAN, seperti Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Masyarakat Sosio-Kultural ASEAN yang tertuang dalam Bali Concord II.


ASEAN sendiri mempunyai peluang untuk menjadi kawasan ekonomi yang mampu bersaing dalam ekonomi global. Dari segi penduduk, ASEAN merupakan kawasan dengan penduduk terbesar di dunia setelah RRC dan India dan lebih dari 50% penduduk ASEAN berusia di bawah 30 tahun, termasuk dalam usia produktif. Ekonomi ASEAN termasuk dalam tiga besar wilayah ekonomi Asia dan terbesar ketujuh di dunia. GDP ASEAN meningkat dari $1,3 triliun di tahun 2007 ke $2,57 triliun (2014). GDP perkapita naik dari tahun ke tahun. Dari $2343 perkapita (2007) naik menjadi $3142 perkapita (2014) yang artinya bertambah hampir 80%. Sektor perdagangan ASEAN juga mengalami peningkatan. Perdagangan bertambah hampir $1 triliun dalam kurun waktu 7 tahun (2007-2014). Terakhir, perdagangan lintas ASEAN merupakan yang tertinggi di ASEAN dibandingkan perdagangan dari kawasan lain, yakni 24% dibandingkan dari RRC (14%), Uni Eropa (10%) dan Jepang (9%).
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan salah satu komunitas ASEAN yang menjadi kesepakatan Bali Concord II.  MEA resmi terbentuk pada 31 Desember 2015 lalu. Komunitas ini dibentuk dengan tujuan untuk lebih mempererat integrasi ASEAN dalam menghadapi konstelasi politik internasional. Terdapat empat prinsip dalam integrasi ekonomi yang dibangun oleh ASEAN melalui MEA, yaitu pasar tunggal, penguatan daya saing regional, pembangunan ekonomi yang merata dan integrasi ASEAN dalam ekonomi global. Pasar tunggal dibentuk dengan pembebasan pajak barang, jasa dan investasi. Daya saing regional dimulai dari sektor UMKM. Pembangunan ekonomi di ASEAN akan mendorong terbentuknya sistem ekonomi integral seperti Uni Eropa dengan mata uang tunggalnya, Euro.


Dalam MEA. Seluruh pajak barang masuk akan dihapuskan. Pembebasan pajak juga berlaku untuk investasi, tenaga ahli dan sektor jasa. Hal ini berarti bahwa produk dari negara-negara ASEAN lain akan bebas masuk ke Indonesia. Produk luar yang datang akan lebih murah dibandingkan dengan masa pra-MEA karena pajaknya yang telah dihapus. Maka persaingan dengan produk lokal di pasaran tak terhindarkan.

Selain barang, tenaga ahli juga termasuk dalam pasar bebas ASEAN.  Beberapa bidang kerja yang akan bebas bea masuk adalah tenaga ahli engineering, tenaga ahli di  arsitek, akuntan, dokter gigi dan tenaga ahli pariwisata. Maka dalam masa ini tenaga kerja asing bebas mencari pencaharian ke Indonesia. Tak heran bila nantinya para tenaga medis dari Malaysia akan merambah pedalaman atau pilot Thailand akan bergabung dengan maskapai penerbangan Indonesia. Rakyat Indonesia tentunya harus berkompertisi dengan warga asing yang bekerja di Indonesia.

Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN akan mampu menjadi ka’bah al-qushad dalam MEA. Dengan wilayah luas dan penduduk terbanyak se-ASEAN, Indonesia harus mampu berkiprah besar. Namun hal ini bisa menjadi bumerang bagi negara ini. Dianalogikan dengan pasar malam, Indonesia akan menjadi tempat berbagai macam barang dagangan dan hiburan malam yang memanjakan para pengunjungnya, sedangkan kampung tempat pagelarannya mungkin hanya menyediakan lapangan tanpa memberi kesempatan untuk tukang cilok di desa itu untuk berjualan. Kalaupun si tukang dapat berjualan, ia harus bersaing dengan penjaja luar kampung supaya dagangannya laris.

Meski penulis kiaskan Indonesia dengan pasar malam, kita tetaplah harus optimis. Indonesia masih mempunyai kelebihan-kelebihan yang belum belum tentu dimiliki oleh negara-negara ASEAN lain. Indonesia memiliki penduduk sebanyak 246 juta jiwa (data 2013, Moody’s, Fitch, S&P, Japan Credit Rating Agency), terbesar keempat di dunia. Indonesia juga memiliki luas wilayah kurang lebih 5 juta km2. Selain itu, Indonesia menyimpan sumber daya alam yang melimpah. Dari gas alam di Aceh sampai gunung emas di Papua terbentang di zamrud khatulistiwa ini.

Tak ada gading yang tak retak. Begitu juga dengan Indonesia, tak luput dari kelemahan. Sumber daya manusia Indonesia masih lemah. Data dari Sekretariat Negara RI menunjukkan bahwa SDM Indonesia masih rendah. Hanya 7% rakyat Indonesia lulusan perguruan tinggi. Memang kelulusan bukan ukuran yang mutlak, tetapi ini dapat menunjukkan rendahnya kualitas SDM. Tenaga kerja Indonesia juga tergollong buruk. Dari 1000 tenaga kerja, hanya 4,3% tenaga ahli. Padahal, tenaga ahli Malaysia sudah mencapai 32,4% dari 100 orang. Pengetahuan masyarakat mengenai MEA tergolong rendah. Dari survey yang dilakukan ASEAN Studies pada tahun 2025, golongan yang tidak tahu adanya MEA dari kalangan pengusaha sebesar 64%. Sementara itu, dari golongan pelajar dan mahasiswa, mereka yang tidak mengetahui adanya MEA masing-masing sebesar 85,3% dan 56%. Fakta yang amat miris lantaran ketiga kalangan inilah yang akan mendapat andil paling besar dalam MEA. Bagaimana ingin berperan jika tidak mengerti apa yang ia perankan?

Peluang Indonesia untuk bersaing di MEA cukup menjanjikan. Ekspor Indonesia ke negara-negara luar ASEAN mencapai 80%. Sedangkan untuk intra-ASEAN, ekspor Indonesia masih 18-19%. Indonesia dalam hal ini harus mampu meningkatkan ekspor ke kawasan ASEAN agar mampu berbicara di MEA, melihat ekspor ke luar ASEAN sudah cukup tinggi. Investasi Indonesia pun tergolong tinggi dengan proporsi 43%. Mengamati prosentase di atas, Indonesia harus mampu memanfaatkan investasi untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan mengeksplorasi sumber daya alam yang potensial.

Tantangan yang harus Indonesia hadapi dalam menyambut MEA tergolong berat. Infrastuktur yang kurang memadai menutup keran investasi bagi Indonesia. Infrastruktur buruk juga berakibat pada biaya logistik yang tinggi. Biaya ini akan menambah mahal harga produk dan mengakibatkan daya beli masyarakat rendah. Indonesia juga akan bersaing lebih ketat dengan negara-negara ASEAN lainnya. SDM rendah merupakan tantangan bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara lain. Tanpa peningkatan infrastruktur dan SDM, Indonesia hanya akan menjadi lapak bagi barang dan jasa negara-negara ASEAN.

Mengingat sudah memasuki MEA, seluruh masyarakat haruslah melek dan sadar terhadap berdirinya MEA, apa keuntungan bagi negara dan akibat yang terjadi setelahnya. Agar Indonesia mampu berperan di MEA, sektor produksi harus ditingkatkan. Kualitas tenaga kerja harus diperbaiki agar tenaga ahli semakin bertambah, bukan hanya tenaga kasar atau buruh di pabrik-pabrik. Negara juga harus memperhatikan perbaikan SDM. Segala yang berkaitan dengannya harus benar-benar dipergunakan seperti pembangunan dan rehabilitasi sekolah, pelatihan-pelatihan dan peningkatan kualitas pendidikan dari pendidikan rendah sampai tinggi. Pemerintah juga harus melakukan sosialisasi terkait MEA mengingat banyaknya masyarakat yang belum menyadari adanya MEA. Masyarakat harus cerdas pula dalam menghadapi MEA. Masyarakat akan diberikan pilihan dari produk lokal dan asing. Dalam kasus ini, mereka harus pintar dalam membeli, membeli sesuai kebutuhan, dan mengutamakan produk lokal. Semua ini akan menjadikan Indonesia berjaya dalam MEA, bukan hanya menjadi pasar tetapi juga menjadi produsen bagi negara-negara lain.

Posting Komentar

0 Komentar