Perlunya Bersyukur: Cerita di Balik Sepiring Nasi

Ilustrasi sepiring nasi (sumber en.wikipedia.com)
Suatu hari saat makan malam, saya berbincang santai dengan Adi Mustofa, teman saya (model foto terakhir saya di Instagram) tentang lauk pauk di makan malam itu. Lauk yang kami santap waktu itu adalah telur rebus dengan bumbu sambal yang pedasnya membakar sekaligus membuat ketagihan. Di sela-sela pembicaraan, dia memuji nasi yang saat itu kami makan. Baginya, nasinya pulen dan enak.

“Nasinya enak, ya! Kayak gini mendingan dari kemarin.” Ujar temanku.
“Terus yang enggak enak gimana?” balasku.
“Nasi meteor[1], gitulah” balasnya.
“Yang lebih enggak enak ada lagi!”
“Apaan, tuh?” tanya temanku penasaran.
“Nasi habis....”jawabku sekenanya. “Kita makan apa kalau nasi habis?” saya melanjutkan jawaban tadi.
“Kalo nasi habis, kan bisa makan mie” balasnya menyangkal jawaban tadi.
“Yah...itu mah jauh banget.” Timpalku.
Jawaban saya atas pertanyaan Adi seolah sebuah guyonan. Namun di balik guyonan saya, ada satu hal yang ingin saya sampaikan. Hal ini adalah sesuatu yang sering kita lupakan. Sesuatu yang kita mungkin hampir selalu mendengarnya hingga bosan. Meski sering kita lupakan, ternyata hal ini sangat berarti dalam kehidupan kita. Hidup akan terasa mudah dan ringan apabila kita selalu melakukannya. Sebaliknya, kita akan selalu mengeluh jika kita melewatkannya.
Satu hal yang ingin saya sampaikan pada waktu itu adalah bersyukur. Bersyukur atas segala keadaan. Bersyukur karena kita masih mampu menikmati hidup dalam segala keadaannya. Bersyukur atas hasil yang kita raih. Ada nasi enak dan lauk komplit, bersyukurlah, karena makan lebih nikmat. Nasi agak keras, bersyukurlah karena masih bisa makan. Bersyukurlah juga karena saudara-saudara kita yang di luar sana belum tentu merasakan nikmatnya sepiring nasi lengkap dengan lauknya. Mereka harus susah payah bekerja dari siang hingga malam demi sepiring nasi; di usia mereka yang mungkin masih amat belia untuk bekerja. Tak jarang pula ada yang menunggu uluran tangan dari orang lain karena kemiskinan dan ketidakmampuan fisiknya untuk bekerja.
Mensyukuri nikmat bukan sekedar dengan perkataan. Ucapan “Alhamdulillah” kita akan lebih bermakna jika diselingi dengan perbuatan nyata. Kita bisa makan enak, kita syukuri dengan menikmati apa yang kita makan. Alangkah lebih indahnya jika kita dapat berbagi apa yang kita dapatkan. Rasa syukur akan semakin bertambah, tidak hanya yang mendapatkan apa yang kita bagikan, kita juga merasa bersyukur karena mampu membahagiakan orang lain.
Kesyukuran kita atas apa yang kita berikan tak akan sia-sia. Allah swt. akan memberikan ganjaran bagi setiap hamba-Nya yang bersyukur. Allah telah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7:
و إذ تاذّن ربّكم لإن شكرتم لأزيدنّكم ولإن كفرتم إنّ عذابي لشديد
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.
Allah juga akan membebaskan hamba-Nya yang bersyukur dari siksa neraka, seperti tertulis dalam Al-Quran surat An-Nisaa ayat 147:
ما يفعل الله بعذابكم إن شكرتم و آمنتم وكاالله شاكرا عليما
Artinya: Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui.
Selain dari kedua kenikmatan di atas, masih ada nikmat lain dari bersyukur. Hidup akan terasa lebih ringan apabila kita mampu mensyukuri apa yang kita miliki. Manusia pasti mempunyai hasrat untuk memiliki. Rasa memiliki ini jika selalu dituruti apalagi ditunggangi hawa nafsu akan menjadi keserakahan. Bersyukur akan menghilangkan rasa serakah ini dan membuat kita merasa cukup atas apa yang kita miliki. Dari sini, saya ingin berpesan agar teman-teman selalu bersyukur atas segala nikmat dan keadaan kita saat ini agar Allah menambah kenikmatan kepada kita dan meringankan beban hidup kita.




[1] Istilah santri Gontor untuk nasi yang keras dan menggumpal, kadang kerikil menyelip karena proses penggilingan

Posting Komentar

0 Komentar