Pemikiran Politik Islam Abad Pertengahan


a.    Pembukaan
Politik merupakan pembahasan yang selalu menimbulkan perdebatan sejak zaman Romawi klasik. Perdebatan ini lumrah terjadi karena beberapa sebab. Perbedaan seorang ahli dalam mengobservasi realita, keadaan lingkungan dan perkembangan sejarah melatarbelakangi perdebatan-perdebatan tersebut. Perdebatan ini meliputi kriteria sebuah negara, pemimpin dan syarat-syarat lain. Perdebatan tentang sebuah pemikiran politik tak hanya antara pemikiran klasik dan kontemporer, namun juga antar pemikir sezaman. Pemikiran Plato berbeda dengan Aristoteles begitu pula antara Marx dan Adam Smith.
Politik Islam merupakan sebuah kajian yang masih berjalan hingga saat ini. Meskipun praktiknya sangat jarang ditemukan, masih banyak ulama yang mengkaji studi ini. Bidang kajian politik Islam masih hangat karena perkembangan politik Timur Tengah saat ini. Politik Timur Tengah saat ini tengah berolak dan Islam saat ini menjadi bahan stigma negatif dari dunia Barat. Di tengah cercaan dan hinaan terhadap Islam, timbullah beberapa ulama yang ingin mengkaji tentang Islam dari berbagai segi dan bergerak untuk membangkitkan Islam. Mereka yang bergerak ini tak hanya dari Timur Tengah, tetapi mereka lahir dari berbagai penjuru dunia. Maka perdebatan lagi-lagi muncul di kalangan para tokoh Islam kontemporer.
Pemikiran politik Islam sejatinya sudah berkembang sejak zaman Rasulullah saw. Rasulullah telah meletakkan dasar-dasar dalam politik Islam walaupun belum ada literatur yang memuatnya di zaman itu. Rasulullah lebih banyak melakukan kegiatan-kegiatan politis selama beliau berdakwah. Keputusan beliau dalam memindahkan Hajar Aswad, Piagam Madinaah dan Hudaibiyah menjadi bukti konkrit Rasulullah juga melakukan aktivitas politik. Hal ini diteruskan oleh para Khulafa al-rasyidin dengan membentuk lembaga-lembaga baru. Sebagai contoh Umar bin Khattab yang membentuk lembaga kehakiman dan membentuk Ahl al-Hill wa-l ‘aqd.
Pemikiran-pemikiran politik Islam baru berkembang setelah masa Khulafa al-rasyidin.  Para pemikir politik Islam kebanyakan merupakan para ulama yang pernah berguru pada sahabat Nabi atau penasihat kerajaan. Hasil ijtihad mereka telah menelurkan karya-karya politik yang terhitung maju di zamannya, seperti Mukaddimah-nya Ibnu Khaldun dan As-Siyasah al-Syar’iyyah milik Ibnu Taimiyah.

b.      Pembahasan
1.      Ide dan pemikiran para tokoh politik
Para tokoh politik Islam masa klasik dan pertengahan telah banyak menyumbangkan karyanya dalam bisang politik dan pemerintahan. Salah satunya adalah tentang negara utama (al-madinah al-fadhilah) yang dijelaskan oleh al-Farabi. Al-Farabi yang lahir di Turki ini banyak terinspirasi dari filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles khususnya dalam teori asal-usul negara. Al-Farabi berpendapat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk berkumpul dengan orang lain atau bermasyarakat sebab manusia tidak dapat mendapatkan kesempurnaan untuk dirinya sendirian.[1] Maka ia membutuhkan pertolongan orang lain dalam mencapai apa yang dibuthkannya.
Tentang kota utama, al-Farabi mengkualifikasikan kota-kota menjadi beberapa kota, yaitu:
    I.            Kota utama (al-madinah al-fadhilah), menurut al-Farabi, kota utama ibarat tubuh manusia yang sehat dan utuh dan bekerjasama untuk kesempurnaan hidup dan kesehatannya.[2] Di dalam negara terdapat kelompok-kelompok yang bekerjasama dalam kemajuan suatu negara. Ada kepala negara yang memeimpin negara, ada warga yang mempunyai bakat dan kemampuan satu sama lain, di bawah mereka ada kelompok yang membantu pekerjaan warga tersebut dan mereka dibantu oleh kelompok lain dan seterusnya. Jadi, sistem ini mirip piramida. Bagian puncak piramida adalah kelas penguasa. Di bawahnya adalah kelompok tentara yang membantu kepala negara. Barulah pada tatanan berikutnya ada masyarakat petani, buruh,tukang dan lain-lain yang harus tunduk pada kekuasaan negara.[3]
 II.            Lawan kota utama (mudhaddah al-madinah al-fadhilah).
Al-Farabi juga mengungkapkan lawan dari negara utama dan membaginya menjadi empat:
A.    Kota bodoh (al-madinah al-jahilah), yaitu kota yang tidak pernah mengenal kebahagiaan, dan kebahagiaan itu tidak pernah terlintas dalam hatinya. Kebahagiaan menurut mereka hanyalah sebatas pemenuhan hidup seperti makanan, minum, pakaian, tempat tinggal.[4]
B.     Kota fasik, yaitu kota yang penduduknya mengetahui apa yang dikrtahui oleh kota utama namun tidak mau melaksanakannya. Mereka ini seperti negara teori murni. Mereka tahu tentang Allah, kebahagiaan, dan akal aktif tetapi enggan melaksanakannnya bahkan berperilaku seperti kota bodoh.
C.     Kota merosot (al-madinah al-mutabaddilah), yaitu kota yang awalnya berpandangan sepeti pandangan kota utama. Tetapi pandangan hidup dan menyimpang mendominasi kota ini.
D.    Kota sesat (al-madinah adh-dhallah), yaitu kota yang penduduknya memiliki pandangan yang salah tentang Tuhan kebenaran. Para pemimpinnya menipu penduduknya dengan ucapan dan tingkah lakunya dengan mengklaim bahwa ia mendapat wahyu.
Setelah al-Farabi, muncullah tokoh lain yakni Al-Mawardi. Al-Mawardi berasumsi bahwa negara terbentuk karena kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. Pendapat ini sebgaimana diungkapkan oleh pendahulunya, yakni al-Farabi dan Ibnu Al-Rabi’. Kelemahan manusia yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, dan keberagaman dari sisi bakat, pembawaan, kecenderungan alami dan kemampuan mendorong manusia untuk baersatu hingga akhirnya membentu sebuah negara.[5]
Selain itu, al-Mawardi juga mengungkapkan sistem pemerintahan Islam. Kala itu, ia hidup di masa Abbasiyah II dalam fase kemunduran dan kehancuran. Menurutnya, imamah dilembagakan untuk mengganti kenabian (nubuwwah).[6] Perlembagaan imamah adalah fardhu kifayah menurut ijma’ para ulama. Pelembagaan imamah inibertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat
Selanjutnya, al-Mawardi menjelaskan prosedur pemilihan imam. Perangkat yang dibutuhkan dalam pemilihan imam adalah sebagai berikut:[7]
                   I.            Para pemilih (ahl al-ikhtiyar). Mereka adalah orang-orang yag memilih imam untuk umat.
                II.            Para imam (ahl-imamah). Mereka adalah para imam yang dipilih oleh para pemilih.
Al-Mawardi juga menegaskan bahwa ada dua proses pemilihan imam:[8]
                                                       I.            Proses pemilihan dilakukan oleh ahl al-halli wa-l-’aqdi (wakil rakyat);
                                                    II.            Penunjukan atau pemilihan dari imam sebelumnya.
Dalam pemilihan ini, al-Mawardi menjelaskan bahwa pemilihan diawali degan persyaratan calon imam. Setelah ada persyaratan, para calon yang memenuhi syarat diminta kesediannya. Namun dalam hal ini, al-Mawardi menolak adanya pemaksaan karena pada dasarnya kepala negara mrerupakan kontrak sosial antara kepala negara dengan rakyat yang harus dilakukan atas dasar kerelaan. Maka setelah dilakukan pemilihan, diadakn kontrak sosial antara imam dan para rakyat dan dilakukan baiat.[9]
Menurutnya, rakyat diwajibkan untuk menghormati dan mentaati imam selama masih menjalankan kewajibannya. Akan tetapi, rakyat berhak untuk tidak mentaati imam bahkan melepaskan imam dari kedudukannya apabila[10]:
                I.            Berbuat kezaliman dan tidak sesuai dengan ajaran agama
             II.            Kehilangan salah satu organ pancaindera.
          III.            Kehilangan kontrol pemerintahannya setelah dalam kawalan musuh atau dalam tawanan.
Ulama zaman kontemporer juga mengemukakan pendapatnya tentang negara. Salah satunya adalah Fazlur Rahman. Ulama yang lahir di India tanggal 21 September 1929 ini juga mengungkapkan konsepsinya tentang negara. Dia menegaskan pentingnya agama dalam suatu negara dalam pernyataannya,”antara agama dan politik tidak dapat dipisahkan.”[11] Meskipun dia tidak terlalu menyatakan bahwa al-Quran mengajarkan tenang ketatanegaraan namun tampaknya ia lebih mengakui adanya nilai-nilai etika dalam al-Quran.
Selajutnya ia juga menjelaskan bahwa Islam memerintahkan agar persoalan umat diselesaikan dengan konsep syura atau konsultasi timbal balik. Nilai-nilai dalam syura dijadikan dasar penyelenggaraan negara menurut Fazlur Rahman. Syura disini juga diartikan sebagai nasihat timbal balik melalui diskusi bersama, selain meminta nasihat kepada orang lain, sebagauman yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl al-halli wa-l-‘aqdi.

2.      Negara menurut Islam
Islam telah mengajarkan seluruh aspek kehidupan yang telah diwahyukan dalam al-Quran dan sunnah, termasuk dalam konsep ketatanegaraan. Nilai-nilai negara yang diajarkan dalam Islam yaitu: musyawarah, ketaatan kepada pemimpin, dan konsep hukum-hukum yang berkenaan dengan muamalah ma’a an-nas.
Nilai yang paling fundamental dalam pemerintahan Islam adalah musyawarah atau syura. Kewajiban seorang penguasa adalah mengemukakan undang-undang Allah. Udan-undang yang diturunkan oleh Allah berupa al-Quran dan  Sunnah. Di dalam al-Quran dijelaskan sifat-sifat orng mu’min yang terkandung dalam surat asy-Syura ayat 38. Salah satu nilai yang terkandung dalam ayat ini adalah penyelesaian masalah melalui musyawarah. Menurut al-Maududi, ayat ini menjelaskan tentang ciri masyarakat Islam yang menyelesaikan masalah yang menyangkut kepentingan  bersama dengan cara musyawarah.[12] Rasulullah saw. juga memberikan contoh untuk bermusyawarah dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama.
Nilai berikutnya adalah keadilan. Keadilan adalah nilai pokok berikutnya. Islam memerintahkan agar berlaku adil terhadap sesama umat Muslim atau terhadap musuh. [13] Secara umum keadilan adlah melaksanakan perintah Allah sebagaimana yang telah diwajibkan oleh-Nya dan rasul-Nya. Islam  juga melarang kezaliman dan mengharamkannya bahkan mengancam bagi siapa saja yang berbuat zalim.
Masyarakat Muslim diperintahkan untuk saling memberi nasihat satu sama lain dan membentuk kelompok yang menyerukan kepada kebaikan dan menjauhkan dari kejahatan. [14] Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan pertolongan satu sama lain. Jadi Islam selain mengatur urusan kehidupan pribadi, juga mengatur urusan pergaulan dan pemerintahan negara dengan dikemukakannya nilai-nilai di atas.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Bahansawi, Salim, Wawasan Sistem Politik Islam, terjemahan oleh Mustolah Maufur, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996
Amiruddin, Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta:UII Press, 2007
Iqbal, Muhammad dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana (Prenada Media Group), 2010
Muhammad, Ali Abdul Mu’ti,Filasfat Politik antara Barat dan Islam, ditrjemahkan oleh Rosihan Anwar, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010
Tim Kajian Ilmiah Arbituren 2007, Simbiosis Negara dan Agama Reaktualisasi Syariat dalam Tatanan Kenegaraan, Kediri: Purna Siswa Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo, 2007





[1] Ali Abdul Mu’ti Muhammad,Filasfat Politik antara Barat dan Islam, ditrjemahkan oleh Rosihan Anwar, Bandung, CV Pustaka Setia, 2010, hal 353
[2] Ibid, hal 359
[3] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana (Prenada Media Group), 2010, hal 12
[4] Ali Abdul Mu’ti Muhammad, op.cit, hal.361
[5] Ibid, hal. 366
[6] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution,op.cit, hal.17
[7]  Ali Abdul Mu’ti Muhammad, op.cit, hal. 371
[8] Ibid, hal.372
[9] Ibid, hal. 376
[10] Ibid
[11] Hasbi Amiruddin,  Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta:UII Press, 2007, hal. 80
[12] Tim Kajian Ilmiah Arbituren 2007, op.cit, hal 61
[13] Ibid, hal. 65
[14] Salim Al-Bahansawi, Wawasan Sistem Politik Islam, terjemahan oleh Mustolah Maufur, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996, hal 60



  

Posting Komentar

0 Komentar