Mengantre adalah kebiasaan yang
paling membosankan menurut kebanyakan orang. Mengantre akan membuang waktu dan
membuat badan capek. Kadangkala kita sudah capek-capek mengantre namun tetap
kehabisan. Sebagai contoh ketika musim mudik lebaran, banyak pemudik mengantre
di loket stasiun kereta untuk membeli tiket. Bahkan ada yang rela bermalam demi
selembar tiket untuk pulang kampung. Meskipun lama-lama mengantre, tetap saja
ada yang kehabisan tiket. Tak pelak ini menimbulkan kekecewaan dan amarah bagi
mereka yang bermalam dan berdiri di loket kereta.
Bagi santri Gontor, mengantre bisa
dikatakan menjadi kebiasaan sehari-hari. Setelah bangun tidur, mereka antre di
tempat wudhu untuk berwudhu menjelang shalat subuh. Setelah shalat subuh,
mereka mempersiapkan diri menjelang masuk kelas. Setelah sekitar pukul 06.30,
mereka yang sudah siap untuk masuk kelas pagi itu mulai madi dan sarapan di
dapur masing-masing. Bagi yang belum mandi, mereka akan bergegas ke kamar
mandi. Di kamar mandi, lagi-lagi mereka mengantre untuk masuk kamar mandi.
Begitu pula yang sedang sarapan, mereka juga berdiri di depan loket dapur untuk
mendapat jatah sarapan. Antrean di dapur pun mengular bahkan sampai ke pintu
dapur. Setelah sarapan, mereka bersegera menuju kelas. Bagi mereka yang datang
tepat waktu, mereka akan duduk di kelas dengan tenang. Tetapi, bagi yang
terlambat datang, siap-siap akan menerima hukuman dari staf KMI. Hukumannya
bermacam-macam, mulai dari push-up, dijewer telinganya, sampai namanya ditulis
di blacklist (daftar pelanggaran). Untuk mendapat hukuman
sekalipun, mereka juga harus mengantre. Dalam satu pagi, para santri harus
mengantre 3-4 kali.
Suasana antrean santri mengambil makan di Gontor (sumber: www.kaliakbar.com) |
Ada hal unik di Gontor sebelum
liburan. Para santri yang ingin pulang harus melengkapi persyaratan liburan
berupa kwitansi-kwitansi tanda lunas pembayaran. Kwitansi-kwitansi ini harus
diserahkan ke Bendahara OPPM dan panitia liburan pada waktu yang ditentukan,
yaitu sore hari menjelang liburan. Untuk menyerahkan kwitansi saja, santri
harus ngoyo mengantre sejak setelah shalat Ashar. Tak tanggung-tanggung,
antrean santri saat itu sangat panjang. Antrean membentang dari teras masjid
jami’ sampai tempat penyerahan di Gedung Olahraga di ujung timur pondok. Santri
juga diwajibkan untuk berambut pendek dan rapi menjelang perpulangan. Untuk
merapikan rambut, santri mencukur rambut mereka di tempat yang telah pondok
tentukan, yaitu di bawah gedung Santiniketan. Karena tukang cukur yang sedikit,
para santri lagi-lagi rela mengantre. Tempat cukur yang sempit membuat antrean
memanjang, mungkin sampai samping gedung Madrasah.
Antrean cukur rambut yang dapat dijumpai sebelum liburan santri Gontor (sumber: Gontorgaphy) |
Mengantre memang merupakan hal yang
remeh dan membosankan. Tetapi bagi Gontor, ini merupakan sebuah media
pendidikan, khususya pendidikan mental. Para santri dilatih untuk sabar selama
mengantre. Bagi yang tidak sabar, mereka akan marah-marah sendiri, mengumpat
temannya atau petugas yang bersangkutan, atau keluar antrean. Mereka yang sabar
akan mengobrol dengan temannya atau membaca buku. Para santri juga diajarkan
untuk memanfaatkan waktu luang. Terkadang ditemukan santri yang menunggu
antrean dengan membaca buku atau menulis kosakata di buku kecilnya. Maka,
budaya antre di Gontor merupakan pendidikan karakter yang unik dan jarang
ditemukan di lembaga pendidikan lain.
0 Komentar