Ikhalid Rizqy Al Raihan (Finalis Call for Essay Indonesian Youth Summit 2015)
Diskriminasi
etnis bukanlah perkara baru di Indonesia. Masalah ini sudah terjadi sejak era
Orde Lama. Saat itu, pembangunan yang diadakan di Indonesia terpusat di wilayah
pulau Jawa namun tersisih di pulau-pulau lain. hal ini mungkin masih terjadi di
pulau-pulau kecil di negeri ini seperti di kepulauan Nusa Tenggara. Mungkin ini
tak bisa dipungkiri karena infrastruktur yang ada kurang memadai, tetapi ini
akan menimbulkan kecemburuan dari masyarakat kepulauan terhadap masyarakat
pulau-pulau besar khususnya pulau Jawa yang dianggap poros negara. Masih ingat dalam benak kita semua kericuhan
yang terjadi pada akhir masa kepemimpinan Soeharto. Para perusuh membakar
rumah-rumah milik warga etnis minoritas Tionghoa. Tak hanya itu, setelah
Soeharto menggantikan presiden Soekarno, presiden melakukan pembersihan
terhadap para pelaku dan yang tertuduh anggota PKI. Kala itu, warga etnis
Tionghoa menjadi korban. Rumah mereka dibakar dan anggota keluarga ditangkap.
Peristiwa ini terjadi di kota-kota di tanah air.
Di
zaman modern seperti ini, diskriminasi etnis masih tidak mampu lepas dari
masyarakat kita. Masyarakat modern pun masih memiliki kepercayaan terhadap
sifat umum suatu etnis padahal mereka lekat dengan kemodernan yang mengutamakan
pengetahuan dibandingkan kepercayaan. contoh yang ada adalah pandangan
masyarkat terhadap masyarakat suku Batak yang dianggap pelit dan pandangan
masyarakat terhadap masyarakat suku-suku di Papua yang dikenal kasar. Maka
diskriminasi terus berkembang dan tak terhindarkan. Seperti yang terjadi di
Yogyakarta. Menurut cerita dari teman-teman yang berdomisili di sana, masyarakat
sana resah dengan keberadaan masyarakat pendatang dari Papua yang menjarah
minimarket di sana. Bahkan salah seorang teman saya yang menimba ilmu di kota
budaya itu turut menjadi korban kejahatan. Dengan pelaku yang berciri-ciri
berambut keriting dan berkulit hitam, diindikasikan pelakunya adalah salah satu
dari kelompok pendatang dari timur tersebut. Akibatnya kelompok itu disisihkan
dalam masyarakat Yogyakarta. Bahkan seorang teman lain pernah memajang foto
profil di-BBMnya yang bertuliskan “Jangan ke Jogja Kalau Buat Rusuh” seakan
menyindir para pendatang yang “mengacaukan” ketentraman masyarakat Yogyakarta.
Itulah salah satu bentuk diskriminasi dalam masyarakat modern saat ini.
Dalam
ilmu psikologi sosial, diskriminasi merupakan suatu perbuatan yang berakar pada
stereotip. Stereotip sendiri adalah pandangan singkat terhadap anggota suatu
kelompok berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok tersebut dan pemberian sifat
kepada seseorang dari sifat-sifat yang ada dari sebagian anggota kelompok.
Setelah stereotip terbentuk, akan timbul prasangka, yakni memperkirakan sifat
individu target stereotip dengan sifat-sifat umum kelompok tersebut. Setelah
prasangka, tumbuhlah diskriminasi. Diskriminasi sendiri merupakan perlakuan
yang berbeda terhadap target prasangka.
Diskriminasi
berdampak negatif terhadap sistem sosial masyarakat. Kecemburuan sosial,
kesenjangan, bahkan degradasi moral akan terjadi dalam masyarakat. Dalam
diskriminasi terdapat macam-macam bentuk penindasan, baik yang dilakukan secara
fisik atau psikis. Penganiayaan, kekerasan dan perampasan hanya segelintir dari
praktek diskriminasi. Terlebih masalah etnis, sasaran diskriminasi adalah
penduduk yang berlainan suku bangsa dengan masyarakat mayoritas. Mayoritas
lebis dominan maka akan mempunya power lebih dibanding minoritas dan
lebih kuat untuk melakukan penindasan terhadap golongan minoritas. Namun jika
minoritas kuat maka akan terjadi bentrokan antar suku.
.
Bentuk-bentuk diskriminasi bermacam-macam. Ada yang berupa pemisahan hak-hak
masyarakat tertentu dalam ruang publik. Diskriminasi ini yang paling banyak
terjadi di lapangan karena bentuknya bukan berupa kekerasan fisik namun akan
“menusuk” korban diskriminasi. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat tahun
1950-an sampai 1960-an. Pemerintah saat itu menerapkan kebijakan segregasi
yaitu diskriminasi atau pemisahan berdasarkan warna kulit. Implementasinya
adalah setiap fasilitas umum yang ada dipisahkan menurut warna kulitnya. Warga
kulit putih, misalnya, menggunakan fasilitas air minum yang bersih dan
istimewa. Sedangkan warga kulit hitam menggunakan yang kotor dan berlumut. Ada
pula yang berbentuk diskriminasi fisik. Seperti pembakaran rumah warga Tionghoa
di Jakarta pada waktu krisis moneter 1997.
Kedua bentuk ini sama menyakitkan bagi korban
diskriminasi. Harta, fisik, dan perasaan mereka akan terampas. Selain itu,
kesempatan mereka untuk berkecimpung di masyarakat akan berkurang bahkan
hilang. Padahal di zaman modern ini, semua orang berkesempatan untuk hadir di
ruang publik dan menyampaikan aspirasinya. Akan tetapi mengapa seseorang tidak
dapat melakukan hal sedemikian rupa hanya karena perbedaan etnis? Inilah yang
seharusnya dipertanyakan oleh kita sebagai para pemuda. Keragaman etnis memang
hal yang lumrah terjadi dan tidak akan mampu dibendung apalagi pada era yang
semakin canggih, yang membuat kita mampu mengenal etnis lain dengan mudah tanpa
harus mengeluarkan biaya mahal untuk pergi ke tempat asalnya namun cukup dengan
membuka laptop atau HP kita. Era yang menjadikan kita mampu berkenalan dan
berinteraksi dengan kawan kita di ujung pulau sana dengan cepat. Mau tak mau
kita akan mengenal keragaman budaya dari berbagai macam suku. Kita boleh
menggeneralisasikan sifat-sifat masyarakat suatu suku. Akan tetapi itu semua
harus digunakan untuk menjaga agar kita bisa bergaul dengan seseorang yang
berbeda suku. Bukan untuk menciptakan stereotip dalam masyarakat. Maka,
diskriminasi sudah usang dan tidak lagi relevan dengan kemodernan yang diusung saat ini.
Pemuda
Indonesia pada zaman dahulu telah berjuang untuk mempersatukan Indonesia tanpa
mengenal etnis. Perumusan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dilakukan mahasiswa dan
pemuda di ruang kuliah, bukan di kantor ataupun aula besar nan mewah.
Perjuangan pemuda Indonesia dalam mempertahankan negaranya tak terbantahkan.
Ingatlah sekelompok pemuda bahkan nekat mendesak Presiden Soekarno untuk segera
memprlokamasikan kemerdekaannya. Jalur diplomasi juga dilalui pemuda kala itu.
Moh. Roem, salah seorang pionir diplomat Indonesia yang memimpin perjanjian
Roem-Royen pada 14 April-17 Mei 1949. Tak banyak yang tahu jika ia memimpin
perjanjian tersebut pada usia muda seperti kita saat ini, 20 tahun! Maka tak
heran pemuda Indonesia pada zaman kemerdekaan diakui oleh segenap lapisan
masyarakat karena perjuangan mereka yang gigih dan tak kenal lelah. Apakah kita
sebagai pemuda saat ini harus terpecah bela dan terkotak-kotak akibat provokasi
yang tak tahu sebabnya. Miris apabila kita mampu dihasut para provokator.
Pemuda dahulu rela menurunkan ego dan kedaerahannya demi kesatuan negara, masak
kita sebagai penerus bangsa rela terpecah hanya karena kedaerahan?
Kali
ini, saya akan berbagi pengalaman saya selama menjadi santri di Pondok Modern
Darussalam Gontor. Bukan bermaksud mendiskreditkan yang lain tetapi hanya
sekadar berbagi pengalaman. Selain itu, Gontor mampu mendidik dan membina
santri-santrinya dari berbagai daerah dengan keragaman suku dan etnis tanpa
diskriminasi dan dapat dikatakan sukses. Bukti tersebut adalah tidak ada
konflik etnis yang terjadi di sini baik yang dilakukan individu maupun
kelompok.
Pondok
Modern Darussalam Gontor merupakan basis pendidikan Islam yang telah ada sejak
lama. Pendidikan selalu ada dan berjalan 24 jam nonstop. Masjid merupakan pusat
pendidikan bagi para santrinya. Selain masjid, asrama juga sarana pelatihan dan
pendidikan bagi santri-santrinya. Di dalam asrama, santri belajar mengenal dan
memahami temannya dari daerah lain, mengurus kebutuhannya sendiri dan
mengorganisasikan kehidupan dalam asrama itu sendiri. Di dalam asrama juga,
santri akan mengerti keragaman budaya negara dengan penduduk terbanyak keempat
di dunia. Santri yang tinggal tidak hanya berasal dari kota sekitar pesantren,
tetapi juga dari luar kota bahkan di luar pulau sekalipun. Hal sedemikian rupa
diatur oleh sistem yang ada demi kesejahteraan santri dan keberlangsungan hidup
para santri. Kegiatan-kegiatan yang ada beroientasi pada kemasyarakatan.
Dalam
melawan diskriminasi etnis, Gontor memilik strategi yang sudah diterapkan sejak
lama dan terbukti jika diukur dari pola kehidupan santrinya. Sejak awal, santri
diajarkan untuk bersosialisasi dengan teman-teman dari berbagai macam daerah.
Mereka dipersatukan dengan asrama yang sama dan berbahasa yang sama, Arab dan
Inggris. Santri pun tidak diprkenankan bergaul dengan teman sedaerahnya lebih
dari tiga orang. Hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial dari luar dan
sterotip buruk dari santri lain di luar daerahnya. Asrama pun diatur agar
santri mengenal teman di luar daerahnya.
Dalam
setiap kegaitan, semua masyarakat Gontor diperlakukan sama. Tidak ada yang
perlakuan khusus bagi setiap santri. Tidak ada si A yang dari daerah A yang
diperlakukan baik namun si B disuruh-suruh dan di-bully karena berasal
dari daerah lain. Semua guru dan pembimbing asrama wajib membimbing semua
santri tanpa pandang daerah atau suku apapun. Santri yang ketahuan melanggar
akan dihukum sesuai dengan pelanggaran. Bagi yang ketahuan berbahsa daerah
dalam kegiatan sehari-hari, akan dikenakan sanksi menghafal kosakata tertentu
dalam bahasa Arab atau Inggris. Lebih parah lagi apabila berbicara bahasa
daerah apalagi bersama teman satu domisilinya. Akan dikenakan sanksi berat,
bisa disuruh berpidato atau melakukan percakapan dengan bahasa resmi agar
menjadi pelajaran bagi santri lain. Hampir tidak ada santri yang tinggal dalam
satu kamar di asrama dengan teman satu domisili lebih dari tiga orang. Semua
dicampur agar santri dapat berbaur. Di sana memang ada organisasi kedaerahan
yang biasa disebut konsulat, tetapi dibentuknya konsulat-konsulat bertujuan
memperkuat silaturahim antar daerah, mempermudah kontrol pembimbing terhadap
santri, dan wadah koordinasi agenda yang akan mereka laksanakan di daerah
masing-masing. Bukan untuk menyebarkan bibit-bibit provokasi antar suku dan
daerah. Di sinilah pemimpin organisasi sangat aktif dalam membina anggota agar
tidak merecoki urusan organisasi kedaerahan lain. Apabila terjadi perselisihan
antar konsulat, akan diselesaikan dengan musyarawarah untuk memecahkan masalah.
Mungkin
hanya beberapa trik di atas yang dapat dilaksanakan meski tak sempurna atau
meniru Gontor. Akan tetapi, beberapa dari langkah tersebut dapat diterapkan di
masyarakat kita. Seluruh lapisan masysrakat baik dari masyarakt asli maupun
pendatang harus aktif dalam setiap kegiatan masyarakat. Pemimpin atau tetua
masyarakat harus tetap aktif dalam menyatukan masyarakat yang dia pimpin. Sanksi
dapat ia jatuhkan bagi setiap masyarakat atau ormas yang melakukan pelanggaran
dan meresahkan masyarakat, seperti membuat keonaran atau memprovokasi. Sanksi
yang ada harus menimbulkan efek jera semisal membersihkan lingkungan. Sanksi tegas
pun dapat dikeluarkan, seperti pencabutan izin organisasi atau pembekuan
organisasi tersebut.
Organisasi kedaerahan yang ada di lingkungan
mahasiswa hendaknya membuat kegiatan positif yang menunjukkan citra baik dari
suku tersebut, contoh kontes budaya, perlombaan dll. Selain itu, ia juga harus
bekerjasama dengan perkumpulan lain semisal kelompok kajian, klub kesenian atau
mungkin organisasi kedaerahan lain untuk membentuk kegiatan lain yang bersifat
etnis. Sebagai contoh adalah kajian budaya suatu suku, perlombaan olahraga
antar kelompok atau pementasan seni budaya daerah. Hal ini merupakan
kegiatan-kegiatan postif yang dilakukan setiap pemuda demi mengisi kekosongan
daripada harus melakukan tindak kejahatan. Dengan ini pandangan masyarakat akan
etnis tersebut akan membaik dan stereotip yang melahirkan diskriminasi akan
berkurang.
0 Komentar