Jelajah ke Geopark Ciletuh

geopark ciletuh dari puncak darma

Pagi itu, Ayah sudah menyuruh kami sekeluarga untuk bersiap-siap. Beliau menjanjikan kami semua untuk menghabiskan akhir pekan dengan berwisata sambil menawarkan destinasinya. Saya pun berpikir ke mana kami bisa berlibur. Setelah berpikir agak lama, saya teringat dengan janji orang tua saya. Mereka berjanji untuk mengajak saya berwisata ke Geopark Ciletuh. Saya usulkan ke sana dan sekeluarga pun setuju. Namun, saat itu kami tak langsung berangkat. Kami harus menunggu adik menyelesaikan vaksinasi, yang katanya lama mengantri. Maka, kami baru berangkat setelah Ashar.

Geopark Ciletuh adalah sebuah taman bumi (geopark) yang terbentuk dari runtuhan bebatuan dan letusan gunung berapi sejak jutaan tahun lalu. Reruntuhan tersebut membentuk bulatan besar di bumi berbentuk tapal kuda disebut amfiteater besar (mega amphitheater). Tak hanya membentuk amphitheater, namun juga membentuk pulau-pulau kecil di sekitar pantai. Geopark Ciletuh diakui oleh UNESCO pada tahun 2018 karena memiliki keragaman geologi, hayati, dan manfaat budaya yang besar. Secara administratif, Geopark Ciletuh sangat luas, ia meliputi 74 desa di 8 kecamatan di pesisir selatan Sukabumi.

Secara bahasa, Ciletuh sendiri berasal dari bahasa Sunda berarti air keruh; gabungan dari dua kata yakni Ci (air) dan letuh (keruh), atau berarti pula “leubuh” tenggelam. Hal ini terkait erat dengan legenda Ratu Laut Jawa yang masyhur di pantai selatan Jawa khususnya Pelabuhan Ratu.

Bagaimana Menuju Ke Sana?


Jarak dari Bogor menuju Geopark Ciletuh sangat jauh. Letaknya dari Pelabuhan Ratu saja masih harus menempuh jarak ±30 km. Kalau naik mobil, perjalanan kira-kira memakan waktu satu jam lebih. Belum lagi kalau macet, bisa lebih lama waktunya!

Kami berangkat dari Bogor setelah Ashar, kurang lebih pukul 15:30. Kami melewati Tol Lingkar Bogor yang lebih lancar, lalu melewati Jagorawi, hingga berakhir di Bocimi. Kami tidak menjumpai kemacetan sampai Cigombong (akhir dari tol Bocimi arah Sukabumi). Keluar tol, Jl. Raya Bogor-Sukabumi sudah macet. Jalan padat dengan kendaraan di dua arah, baik ke Bogor maupun ke Sukabumi. Parahnya lagi, truk-truk kontainer juga lewat jalan ini. Kemacetan panjang ini penyebabnya adalah karena jalan itu merupakan satu-satunya jalan penghubung dari Bogor ke Sukabumi dan sebaliknya. Sebenarnya ada beberapa jalan alternatif, namun hampir semuanya kembali ke jalan itu. 

Kami pun mencari alternatif untuk sampai ke Ciletuh. Akhirnya kami menemukan jalan lain ke CIletuh, yaitu lewat daerah CIkidang. Jalur Cikidang ini tidak seramai jalur utama. Akan tetapi, jalur ini sempit, berliku, banyak tanjakan dan turunan curam. Kadang-kadang kami melalui jalan yang bersisian dengan jurang dan tebing. Bahkan, kami sempat gantian dengan mobil di arah berlawanan agar tidak lepas kontrol dan berakibat kecelakaan. Apalagi, kami melawati jalur Cikidang di malam hari. Jadi, kami perlu ekstra hati-hati agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan. 

Akan tetapi, kelebihan jalur Cikidang adalah jalur ini langsung menuju ke Pelabuhan Ratu. Jalur Cikidang lebih cepat kira-kira 15 menit dari jalan utama (Cibadak) menurut Google Maps. Sepertinya jalur Cikidang dibangun dengan mengikuti kontur pegunungan, lain halnya dengan jalan raya yang dibagun mengelilingi pegunungan. 

Namun, perjalanan belum berakhir. Setelah beristirahat sebentar di salah satu rumah makan di Pelabuhan Ratu, kami masih harus berjalan jauh lagi. Awalnya, perjalanan kami cukup baik selama melintas Jembatan Kuning dan daerah perkampungan yang relatif datar. Namun, setelah melewati perkampungan, lagi-lagi kami harus melewati jalan yang curam. Jalan ke Ciletuh berbukit, curam dan terkadang berbatasan dengan laut. Kurangnya penerangan memperburuk perjalanan kami. Salah sedikit, bisa-bisa mobil nyemplung ke laut. 

Saya menyarankan untuk berangkat di pagi atau siang hari karena jalan dari Pelabuhan Ratu ke Ciletuh sangat ekstrem. Jika berangkat di pagi hari, kalian akan menemukan pemandangan bukit-bukit yang indah dan lautan luas menghampar di sebelahnya. Curamnya perjalanan tidak begitu berpengaruh asal tetap berhati-hati dan menguasai medan. Namun, jika kalian berangkat malam hari, ya kalian akan menemukan kondisi yang saya rasakan. Jangan lupa selalu cek kondisi kendaraan! 

Tiba dan Menginap

Kami tiba di kawasan wisata Geopark Ciletuh sekitar pukul 22:00. Saya langsung mencari penginapan di google maps. Ayah menyuruh saya untuk mencari penginapan model Oyo atau Reddoorz yang fasilitasnya memadai dengan harga terjangkai. Saya menemukan 1-2 tempat. Sayangnya, semua tempat yang saya survei sudah penuh.

Tak berapa lama, ada salah seorang yang menawari kami penginapan. Dia langsung menawarkan rumah sekalian sama sarana beserta tarifnya. Namun, kami langsung curiga, jangan-jangan ini calo?! Ayah langsung menolak tawarannya. Si calo agak memaksa dan sempat mengejar kami dengan motornya. Setelah beberapa meter, dia sudah tak tampak lagi.

Kami terus mencari penginapan. Ternyata, kami langsung menemukan penginapan yang sepertinya masih tersedia. Letaknya pun tak jauh dari pantai. Di depannya tertulis “Penginapan Samudra Jaya.” Kami pun langsung bertanya kepada penjaga di pos depan penginapan tersebut. Beruntung, masih ada kamar kosong. Kami pun masuk dan mengambil barang bawaan ke dalam.

Setelah merapikan barang bawaan, saya wudhu untuk melaksanakan sholat Maghrib dan Isya dengan jama’. Selepas sholat, orang tua dan adik sudah tidur duluan. Karena belum mengantuk, saya menyalakan televisi dan menonton pertandingan sepakbola, kebetulan yang main waktu itu Inter Milan melawan Genoa. Ketika rasa kantuk tiba, saya mematikan televisi lalu tidur.

Jalan-jalan Pagi ke Pantai

pantai pasir putih geopark ciletuh
Salah satu pantai di Geopark Ciletuh, bersebelahan dengan pantai Palangpang

Saya terbangun jam 5 pagi. Langsung saya menunaikan shalat Subuh. Selepas shalat,saya pun membuka pintu kamar untuk memastikan apakah saya bisa berjalan-jalan keliling pantai. Ya kali pindah tempat tidur doang?! Namun, langit masih gelap. Untungnya, ibu yang baru selesai shalat Subuh mengajak saya jalan-jalan ke pantai sekalian cari sarapan. Langit waktu sudah mulai cerah. 

Kami berdua berjalan kaki menuju pantai di balik penginapan. Jalan dari penginapan ke pantai sangat dekat, hanya berjarak kira-kira satu blok di samping penginapan. Pasir pantai dan semak belukar “menyambut” kami. Satu-dua rumah warga berdiri,ada pula semacam bagnunan terbengkalai di sana.

Kami pun tiba di pantai yang lokasinya timur pantai Palangpang. Akan tetapi, pantainya sepi karena memang bukan destinasi wisata utama. Lagipula, pantai ini tak seluas pantai Palangpang. Meski begitu, pantai ini menyajikan pemandangan luar biasa. Bukit a la Geopark Ciletuh, Samudra Hindia di depan, dan pulau-pulau menjadi komposisi asik dan menarik. Saya pun tak melewatkan kesempatan untuk mengabadikan alam di sana.

Di sebelah barat pantai ada muara sungai Ciwaru. Para nelayan menyandarkan perahu-perahu di sana. Di depan muara Ciwaru ada pasar ikan kecil. Walau kecil, pasar ikan lumayan ramai di pagi itu. Banyak nelayan menjajakan hasil laut dengan berbagai jenis dan ukuran. Ada ikan sepanjang tangan manusia, entah apa namanya. Sebelum kembali ke penginapan, kami membeli kudapan ringan dan air minum di salah satu toko kelontong di dekat pasar.

perahu nelayan muara sungai ciwaru
Perahu-perahu nelayan yang bersandar di muara sungai Ciwaru

Kami kembali ke penginapan lalu sarapan. Menu sarapan yang disediakan penginapan Samudra Jaya adalah nasi goreng. Saya menyantap sarapan ditemani kopi hangat dan jajanan sebagai penutup. Setelah sarapan, saya mandi dan bersiap-siap untuk berperahu ke sekitar Geopark Ciletuh. 

Berlayar di Geopark Ciletuh

Ketika saya sudah siap, di depan kamar ada seseorang yang siap memandu kami. Saya sempaktan mengobrol bersamanya yang kebetulan juga salah satu pengelola kawasan wisata Geopark Ciletuh. Beliau banyak bercerita tentang gambaran tentang geopark dan kondisi wisata di Ciletuh selama pandemi yang katanya menurun. Beliau pun menawarkan paket wisata berupa perjalanan ke taman laut dengan perahu. Setelah sedikit tawar menawar hingga sepakat, kami bergegas pergi.

Pelayaran dimulai dari muara tempat kapal-kapal nelayan bersandar. Kami naik perahu milik sang guide. Beliau tidak nge-guide sendirian, tapi ditemani putranya yang kuliah di Jakarta, dan saudaranya dari Pelabuhan Ratu.

Ia pun mengangkat jangkar, menyalakan mesin perahunya, dan memulai pelayaran. Perahu pun meninggalkan muara Ciwaru menuju laut lepas. Kebetulan, tak banyak wisatawan yang berlayar waktu itu karena masih dalam masa pandemi.

Setelah beberapa lama mengarungi samudera, bapak pemandu menghentikan mesin perahunya. Ia menunjukkan salah satu pulau kecil. Namanya pulau Mandra (namanya bukan dari H. Mandra om-nya si Doel lho ya!) Pulau Mandra terbentuk dari lahar dingin yang membeku selama 30 juta tahunan. Ukurannya hanya 0,5 meter persegi, tapi pulau ini yang membuka wawasan tentang sejarah geologis Indonesia. Pulau Mandra bersama beberapa kepulauan lain dulunya merupakan kawasan pegunungan api purba yang meletus dan longsor berjuta-juta tahun lalu. Longsoran ini membentuk kawasan tapal kuda di sekitar Samudra Hindia yang kini dikenal sebagai Geopark Ciletuh.

pulau mandra geopark ciletuh
Pulau Mandra, salah satu pulau purba di Geopark Ciletuh

Kami melanjutkan pelayaran setelah meninggalkan pulau Mandra. Pelayaran melintasi Samudra Hindia ini terasa menyenangkan. Perahu-perahu nelayan mulai berlayar mengantarkan wisatawan. Ombak berdebur cukup deras menggoyangkan perahu kami. Saya tak lupa mengabadikan suasana lautan sambil menikmati derasnya ombak. Dengan hati-hati, saya ambil foto dan video menghindari mabuk laut atau HP tercebur ke laut. Di kejauhan tampak bagan-bagan milik nelayan untuk menangkap ikan di malam hari. Bentuknya seperti gubuk kecil yang di atasnya terdapat lampu menggantung. Saya teringat banyak lampu berpendar di atas laut ketika berangkat malam hari.

Salah satu bagan milik nelayan di laut lepas

Setelah mengarungi laut, sekali lagi ia menurunkan kecepatan perahunya. Kami melewati pulau Kunti. Jangan bayangkan pulau ini dihuni oleh kuntilanak, ya! Namanya seperti itu karena di pulau ini terdapat gua yang bergema seperti orang tertawa apabila dihantam ombak. Pulau Kunti terbentuk dari lempengan Eurasia yang bersubduksi kira-kira 65 juta tahun lalu. Pulau Kunti menjadi salah satu spot mancing favorit pengunjung karena dekat dengan pantai dan lebih besar dari pulau Mandra. Di pulau Kunti terdapat gua purba yang ukurannya cukup besar, dalamnya 9 meter dengan tinggi kira-kira 5 meter. Katanya, setiap orang yang masuk sana akan cepat dapat jodoh. Saya pun dijahili adik, ditawari masuk gua.

pulau kunti geopark ciletuh
Pulau Kunti dengan gua jodohnya

Laju perahu melambat begitu tiba di pantai Cikadal. Perahu kami akhirnya tiba di pantai pasir putih. Beliau pun menyandarkan perahunya. Kami tak berhenti lama di situ karena hanya akan mengantarkan saudaranya menikmati pantai. Kami melanjutkan pelayaran untuk snorkeling ke taman laut.

pantai cikadal geopark ciletuh
Pantai Cikadal dari kejauhan

Kami melanjutkan pelayaran ke taman laut. Menurut pak guide, taman laut yang akan kami tuju adalah spot snorkeling baru yang belum pernah dikunjungi, katanya sekalian launching. Kami pun senang sekali bisa snorkeling di tempat baru tersebut. Kalau kami puas, beliau akan mempromosikannya ke pengunjung lain.

Jarak dari pantai ke taman laut baru itu cukup dekat. Perahu berlayar tak begitu lama hingga berhenti di taman laut. Saya dan adik mencoba snorkeling di sana, sedangkan ayah dan ibu menikmatinya dari perahu. Snorkeling kali ini didampingi oleh putranya guide. Sebelum snorkeling, saya mengenakan snorkel yang disediakan. Sementara itu, dia menyiapkan roti untuk umpan ikan-ikan di laut agar mau keluar karang.

Dan, byur! Saya pun nyemplung ke laut menyusul rombongan (cuma berdua, koq!). Dari permukaan, tampak batu-batu karang tersusun indah. Dari batu karang, nampak ikan-ikan laut kecil keluar dari karang. Mereka tampak indah dengan warna yang bervariasi, mayoritas berwarna biru. Jernihnya laut memperindah pemandangan di balik snorkel.

Namun, kenikmatannya tak berlangsung lama. Air laut beberapa kali masuk ke dalam kacamata saya karena kacamatanya terlalu longgar. Akibatnya, saya pun megap-megap dan mata pun perih. Saya bahkan terpisah dari rombongan. Saya pun berusaha mencari perahu untuk naik dengan mengikuti sumber suara obrolan dari atas perahu yang terdengar dari laut. Seperti yang kita tahu, air adalah salah satu penghantar suara yang baik. Jadi saya berenang cepat-cepat menuju sumber suara.

Begitu mendekati perahu, saya pun segera naik. Orang-orang di atas perahu kemudian bertanya mengapa naik duluan. Saya pun menjawab kalau kemasukan air laut. Ayah menenangkan dengan memberi air minum. Setelah terasa lebih tenang, saya mengencangkan snorkel dan mencoba snorkeling lagi . Awalnya saya berhasil menyusul rombongan, namun lagi-lagi air laut masuk ke kacamata. Saya pun menyerah dan segera naik ke perahu. Pak pemandu yang melihat saya meler-meler mengatakan dengan santai kalau air laut adalah obat Covid. Ya, tapi gak sampai kelabakan juga kali?!

Adik saya pun naik perahu. Adik saya sepertinya menikmati snorkeling tadi, kelihatan dari mukanya yang berseri-seri setelah snorkeling. Pak pemandu pun berkata bahwa adik sampai bernyanyi saking gembiranya. Kami semua kembali ke pantai untuk menjemput yang di pantai Cikadal.

Begitu singgah di pantai, dua orang bersaudara tersebut sudah menunggu. Mereka pun naik perahu dan mengenakan pelampung. Semua siap untuk kembali ke muara Ciwaru. Hal lucu terjadi sebelum berangkat. Perahu tak sengaja bertabrakan dengan perahu nelayan lain yang baru datang. Mengetahui hal itu, pemandu bukannya marah-marah, malah bercanda dengan nelayan itu. Katanya sih untung saudara, jadi tidak masalah! Perahunya juga tidak mengalami kerusakan sehingga dapat berlayar dengan lancar.

Perahu kami berlayar kembali ke muara sungai Ciwaru. rutenya sama seperti kami berangkat. Setibanya di muara, kami turun dengan hati-hati lalu membayar tarif wisata. Tak lupa kami berterimakasih kepada pak Adi yang sudi mengantarkan kami berwisata di Ciletuh.

Kami segera kembali ke hotel. Waktu sudah menunjukkan hampir mendekati waktu Dzuhur. Begitu adzan berkumandang, kami shalat Dzuhur lalu berkemas dan bersiap-siap untuk pulang.

Mampir ke Puncak Darma

geopark ciletuh puncak darma
Kawasan Geopark Ciletuh dari Puncak Darma

Dalam perjalanan pulang, kami semua merasa lapar setelah lama berlayar, terlebih saya sendiri yang kelabakan saat snorkeling. Kami pun mencari rumah makan sekitar Geopark Ciletuh  yang menyajikan kuliner khas laut. Saat mencari rumah makan, kami mencari rumah makan yang ramai. Biasanya, kalau ramai tandanya rumah makan tersebut enak.

Akan tetapi, rumah makan yang ramai tak dapat kami jumpai. Mungkin karena lagi masa pandemi, kunjungan wisata sepi jadi rumah makan ikut kena getahnya. Setelah beberapa pencarian, kami menemukan rumah makan yang lumayan ramai. Ayah dan saya pun turun dari mobil. Namun, ayah malah cepat kembali ke mobil. Katanya, beliau ragu dengan pelayanannya. Iseng-iseng saya mengintip sambil mendekati salah satu meja. Ternyata benar, bukannya dilayani, kru rumah makan malah terlihat sibuk di meja kasir! Dengan muka kecewa saya kembali ke mobil.

Nama dan lokasi rumah makan tidak saya sebutkan untuk menjaga nama baik tempat tersebut. Pengalaman kalian mungkin berbeda ketika mengunjunginya.

Ayah pun menawarkan opsi lain, singgah ke objek wisata terdekat. tawaran pertama yang diajukan adalah Curug Cimarinjung. Air terjun yang dikenal karena tinggi dan pemandangan indah. Dari jalan terlihat curug dilatari tebing batu besar dan pemandangan sawah yang elok. Namun, kami menolak tawaran tersebut karena benar-benar lapar.

Perjalanan pun berlanjut. Ayah menawarkan pilihan lain. Pilihan tersebut adalah Puncak Darma. Kami pun menyetujuinya. Daripada tidak ke mana-mana, lebih baik ke Puncak Darma saja.

Puncak Darma merupakan dataran tertinggi di Geopark Ciletuh. Ia berada di ketinggian 320 mdpl. Puncak Darma merupakan gerbang utama wisatawan ke Ciletuh. Kita dapat berfoto di sana dengan latar belakang Geopark Ciletuh yang unik.

Untuk masuk ke Puncak Darma, kami membayar tiket sebesar Rp 3000,00 di pos penjaga. Dengan membayar tiket, kita bisa berfoto di sana sampai puas. Di sana terdapat beberapa titik favorit foto, seperti patung huruf “PUNCAK DARMA” dan spot foto perahu. Namun, tanpa berfoto di kedua spot tadi, kita bisa mendapatkan foto yang menarik. Dari Puncak Darma, Geopark Ciletuh tampak seperti teluk besar membentuk tapal kuda. Sungguh pemandangan unik dan langka dari berbagai objek wisata di manapun.


Pengunjung Puncak Darma siang itu terbilang sedang, tidak ramai tidak pula sepi. Cuaca panas mungkin jadi penyebabnya. Kami sekeluarga pun bisa berfoto dengan leluasa. Tapi emang dasarnya agak malas difoto, saya lebih mengambil gambar pemandangan Geopark Ciletuh dari Puncak Darma. Sisanya, saya hanya foto-foto di patung “PUNCAK DARMA” dan foto dengan latar belakang Geopark Ciletuh. Maunya foto-foto di spot perahu, tapi saya takut perahunya roboh karena keberatan badan.

perahu puncak darma geopark ciletuh
Anjungan perahu di Puncak Darma

Setelah puas foto-foto, kami kembali ke mobil untuk pulang. Pemandangan Ciletuh selama perjalanan pulang sangat memukau, kontras dengan perjalanan ketika berangkat. Di sisi jalan terlihat tebing-tebing menjulang dan lautan luas menghampar. Jalanan yang naik turun bukan jadi halangan, tertutupi dengan pemandangan yang apik. Setibanya di Pelabuhan Ratu, kami menyempatkan makan siang di pasar ikan lalu kembali ke rumah.

Posting Komentar

6 Komentar

  1. Iya, kak... Udah jauh, jalannya naik turun bukit juga! Jadi harus ekstra hati-hati sama ekstra tenaga

    BalasHapus
  2. Ciletuh cantiknya luar biasa. Kapanya, saya bisa ke sana. Terima kasih telah berbagi, Mas. Selamat malam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga ada waktu untuk ke sana... Pasti ada aja kesempatannya. Btw, terima kasih telah berkunjung ke blog ini

      Hapus
  3. wah jauh ya, katanay ke daerah sukabumi sok macet pula

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Apalagi kalau di Cibadak. Macetnya minta ampun! Makanya emang harus ekstra sabar kalau mau ke sana

      Hapus
  4. Naah yg puncak darma yg sering aku lihat kalo sedang baca tulisan ttg geopark ini mas. Baru kali ini baca tulisan yg ada wisata laut di sekitar sana. Dan menariiiik ternyata :D. Aku jadi kepengin ke pulau Kunti dan pulau Mandra. Penasaran aja.

    Udah lama tau ttg geopark tp selama ini blm kepikiran kesana Krn aku pikir ga banyak yg dilihat. Tapi abis baca ini jadi berubah pikiran :D

    BalasHapus