Diskusi Mahasiswa HI UNIDA Gontor tentang Konflik Laut China Selatan


Divisi Pengembangan Keilmuan Himpunan Mahasiswa Prodi Ilmu Hubungan Internasional UNIDA (HMP-HIU) mengadakan Forum Nongkrong dan Diskusi antar Penstudi HI (Fondasi) pada hari Rabu (16/02) malam. Fondasi bertempat di Laboratorium IHI, Gedung Utama 229 UNIDA Gontor. Fondasi kali ini bertema “Membidik Laut China Selatan”. Pembicara dalam diskusi ini adalah Ihsan Iskandar, mahasiswa IHI UNIDA Gontor.

Dalam kesempatan ini, Ihsan memulai diskusi dengan memaparkan sejarah konflik Laut China Selatan. “Konflik Laut China Selatan sudah dimulai sejak 2015 bahkan sudah lebih jauh dari itu.” Kata Ihsan membuka forum. Konflik ini juga melibatkan banyak negara. Menurutnya, penyebab konflik ini adalah bahwa Republik Rakyat China  (RRC) mengklaim bahwa lautnya lebuh luas dari apa yang disepakati dalam UNCLOS. Bukti yang RRC gunakan adalah dokumen dari era dinasti Han abad XII yang  menyatakan bahwa wilayahnya melebihi kesepakatan UNCLOS. Maka wilayah laut RRC meliputi Filipina, Taiwan, dan Indonesia. Indonesia sendiri tidak mempermasalahkan konflik ini. Tapi menjadi maslah ketika merambat ke laut Natuna. Ihsan mengutip pendapat dari Kementerian kelautan dan Perikanan (KKP) yang menyatakan bahwa Indonesia netral dalam menyikapi konflik ini agar tidak terjadi ketegangan dengan RRC.

Menurut Muhammad Afrizal, mahasiswa IHI angkatan 2015, konflik Laut China Selatan adalah persoalan yang rumit. Ia mengutip pendapat Arief Havas Oegroseno yang pernah disampaikan dalam Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2016 lalu, “Konflik Laut RRC Selatan adalah konflik yang complicated karena biasanya perebutan wilayah biasanya melibatkan dua negara. Namun ini (konflik laut China Selatan) melibatkan banyak negara.” Afrizal menambahkan, konflik laut China Selatan ini harusnya selesai ketika Mahkamah Inernasional memutuskan bahwa RRC melanggar. Namun, RRC menolak keputusan tersebut. “RRC tidak menerima keputusan itu. Keputusan MI bukanlah hal yang final.” Tambah Afrizal. Ia juga mengaitkan keterlibatan AS dalam konflik tersebut. Donald Trump memandang konflik ini bisa selesai dengan segera. Trump yang anti-RRC pun berpotensi ikut campur dalam urusan ini.

Arif Rahman Majid, mahasiswa IHI angakatan 2015, memandang konflik ini dari perspektif hukum internasional. Penolakan RRC atas keputusan Mahkamah Internasional adalah biasa bagi RRC. Filipina yang menggugat merupakan negara berkembang, sedangkan RRC merupakan negara yang menuju tahap negara maju. Efektivitas hukum internasional menurutnya masih tajam ke bawah tumpul ke atas. Arif pun menawarkan solusi untuk melibatkan salah satu superpower sebagai mediator konflik.

 Beberapa mahasiswa turut mengutarakan pendapat. Faisal, mahasiswa IHI angakatan 2014, berpendapat bahwa kepentingan-kepentingan negara superpower harus menjadi perhatian ketika menjadi mediator. Iqbalullah (IHI 2016) mengatakan bahwa Indonesia dapat mengutamakan kerjasama dengan RRC dalam resolusi konflik ini. Ikhalid Rizqy (IHI 2014) mengatakan bahwa sekuritisasi dalam anggoota ASEAN sendiri perlu dilakukan karena banyak negara ASEAN yang terlibat dalam konflik ini. Apabila ASEAN sudah kuat dalam posisi ini, gugatan ASEAN ke Mahkamah Internasional lebih kuat.


Posting Komentar

0 Komentar