Berbicara tentang warung ataupun UKM, saya
mempunya kisah menarik tentang berbelanja di warung tetangga. Ketika saya masih
duduk di bangku sekolah dasar di Bogor, saya selalu berbelanja di warung
samping Rumah Sakit TNI AU. Saya dulu memang tinggal di komplek militer maka
keluarga memenuhi kebutuhan rumah di pasar atau toko-toko di sekitar komplek.
Hampir setiap sore saya membeli jajan di warung tersebut. Terkadang, ketika ibu
saya kehabisan bahan makanan dan bumbu dapur di malam hari, beliau selalu
menyuruh saya berbelanja di warung tersebut. Kebetulan saya kenal dekat dengan
dua orang ibu pemilik toko itu. Tidak hanya memiliki toko, mereka juga mempunya
warung telepon (wartel) yang masih populer saat SD dahulu (tahun 2000an). Suatu
ketika saya pulang sekolah dan mendapati rumah kosong. Saya kemudian berlari ke
wartel untuk menelpon ibu memintanya pulang. Beberapa menit kemudian, ibu
datang menjemput dan pulang setelah membayar telepon saya tadi.
Sekian tahun berjalan, warung itu kemudian
dirasa semakin sepi. Wartel sudah ditutup karena pelanggannya sudah
mengandalkan smartphone. Yang tersisa hanyalah warung yang tidak pernah
berubah posisi dan desaninnya. Tidak banyak yang membeli lagi di toko itu.
Ketika saya pulang menikmati liburan kuliah di Bogor, saya mengunjungi toko itu
dan mendapatinya sangat sepi. Mungkin karena sudah siang, siapa pula yang mau
belanja ke toko di panas terik. Saya amati hanya satu-dua orang yang membeli
makanan di sana. Ternyata menurut pengakuan sang pemilik toko, tokonya memang
jarang dikunjungi. Toko hanya ramai dikunjungi pada malam hari namun,
ironisnya, hanya digunakan buat tempat nongkrong anak-anak remaja.
Kita
tak bisa mengelak dari banyaknya minimarket yang berdiri entah di kota atau di
pelosok kampung. Kita tidak bisa pula menutup mata akan hadirnya toko-toko
online yang akan meudahkan kita berbelanja hanya dengan satu sentuhan. Namun,
di balik itu, ada mereka-mereka yang harus menanggung akibat dari semua
kemudahan ini. Warung-warung kecillah yang menjading korban. Warung-warung
harus menanggung derita ditinggal pelanggan yang berlarian ke minimarket.
Tak ada salahnya bila kita mencoba untuk
berbelanja di warung tetangga sendiri. Mengapa demikian? Apa untungnya kita
belanja di warung tetangga? Mending di I***mart atau A***mart! Adem, murah
lagi! Tunggu dulu! Berbelanja di warung tetangga ada untungnya juga, lho...
Kita telah membantu perekonomian tetangga kita
dengan berbelanja di warung tetangga kita. Setiap orang pasti memerlukan biaya
hidup maka mereka akan berusaha untuk
memenuhi hajat hidupnya, salah satunya dengan membuka warung. Harapan yang
mungkin tetangga anda dambakan adalah agar tetangganya dapat memenuhi
kebutuhannya lebih dekat di samping keuntungan untuk penghidupannya. Jika anda
membeli di warung tetangga, anda akan “menyumbang” untuk tetangga anda.
Interaksi akan lebih erat di warung tetangga |
Selain membantu perekonomian tetangga,
silaturrahim anda akan lebih erat dengan tetangga. Karena kita sudah mengenal
tetangga, pergaulan kita akan lebih bebas dibandingkan dengan kasir minimarket.
Sangat tidak mungkin anda akan bisa mengobrol dengan kasir di minimarket.
Obrolan kita tentunya akan menambah
panjang antrean. Akan tetapi, kita bisa berinteraksi lebih banyak di warung
tetangga. Obrolan kita di warung tetangga akan mempererat silaturrahim dengan
mereka. Jadi, cobalah untuk berbelanja di warung tetangga sendiri bagaimanapun
keadaan warungnya.
0 Komentar