Kejujuran Tukang Jam Tangan

Suatu hari, aku ingin membeli sebuah jam. Jam tangan ini sebenarnya merupakan kebutuhan agar aku dapat mengetahui waktu dan memperkirakan pekerjaanku setiap hari.  Jam tangan yang aku inginkan adalah jam digital karena biasanya jam digital mempunyai fungsi stopwatch yang dapat aku gunakan saat berolahraga. Sebenarnya aku sudah mempunyai sebuah jam digital. Tetapi jam yang aku miliki mengalami kerusakan di bagian mesin dan tidak ada yang mampu memperbaikinya kecuali tukang-tukang jam profesional di kota besar. Akhirnya kuputuskan untuk membeli jam baru.

Jam di handphone menunjukkan pukul 13.10. Aku berganti baju dan mengambil dompet. Sayang sekali, cuaca saat itu mendung. Jika cuaca mulai mendung, mood-ku untuk bepergian akan turun. Aku pun menunda keberangkatanku. Setelah dirasa agak cerah, aku turun dari asrama, mengambil sepedaku dan menuju ke dapur untuk makan siang. Kebetulan kampusku kedatangan seorang tamu agung, Duta Besar Republik Arab Mesir untuk Indonesia. Maka areal kampus lebih ramai dengan mobil-mobil mewah dengan kawalan mobil polisi. Setelah makan siang, aku melaju ke luar kampus dengan sepeda lipatku. Memang bersepeda di terik siang sangat melelahkan dan panasnya luar biasa, tetapi aku lakukan ini untuk menghemat tabunganku daripada harus menyewa sepeda motor, belum lagi uang bensin yang harus bayar. Hitung-hitung lumayan untuk ditabung, siapa tahu aku bisa magang dengan tabungan itu.
Toko jam yang aku tuju  berjarak ±2,5 km dari kampus. Toko jam itu terletak kira-kira 75 meter dari perempatan Jabung, akses jalan utama ke Pondok Modern Darussalam Gontor. Ukuran toko itu seperti counter pulsa pada umumnya. Akan tetapi, untuk menuju toko itu, aku harus melewati gang sempit sepanjang 100 meter yang diapit dua tembok tinggi dan hanya mampu dilewati oleh sepeda motor. Jadi toko itu terkesan terpencil dan tak banyak orang yang menunjunginya. Aku mengetahui toko itu lantaran aku sering melewati jalan tersebut dan kerapkali memperhatikan plang kuning mencolok di bibir gang.
Sesampainya di toko, aku harus menunggu tukang jam. Mungkin saat itu dia lagi makan siang jadi bisa kumaklumi. Setelah menunggu, akhirnya penjual jam itu keluar; seorang wanita paruh baya. Ia menata sedikit rak jamnya yang bersih dari debu. Aku mulai memilih jam.
“Bu, saya ingin jam yang di depan”, kataku.
“Yang Q&Q, mas..?” tanya sang ibu sambil mengambil jam yang aku inginkan. Aku mengangguk, “Iya, bu” jawabku singkat.
“Berapa harganya,bu?”
“Seratus tiga puluh ribu,mas” ibu tukang jam menjawab.
Ibu tukang jam memperlihatkan kepadaku jam yang aku mau. Kuambil jam itu dan kuperhatikan bentuknya. Kutekan juga tombol-tombolnya. Ternyata lampu jam tidak menyala saat aku pencet tombol lampu. Aku pikir aku bisa membeli baterainya terpisah. Yang penting aku ingin jam baru.
“Bu, ini tadi saya lihat-lihat dulu. Saya tetap mau jam itu. Tapi saya ambil uang dulu, ya, bu...”
“O, ya. Silakan, mas!” jawab ibu tadi.
Aku meninggalkan toko itu menuju ATM untuk mengambil uang. Setelah aku mengambil uang, aku kembali ke toko tadi. Namun toko itu lagi-lagi sepi.
“Assalamualaikum”
“Bu, ada tamu.....” sahut seorang anak kecil menanggapi salamku. Mungkin dia anak tukang jam itu.
Sesaat kemudian, si ibu keluar ke etalase.
“Jadi beli yang tadi, mas?” sang ibu bertanya.
“Iya, bu!” jawabku.
Sang ibu mengambil jam dari etalase dn memperhatikan sejenak jam itu.
“Oh, baterainya mau habis!” ujar sang ibu.
Aku pun terkejut mendengarnya. Terlebih lagi, sang ibu langsung mengganti baterai jamnya. Aku pun kagum dengan kejujuran ibu itu. Maka tak apalah menunggu sebentar. Sembari menunggu aku menelpon ibuku di rumah. Selesai menelpon, aku kembali mengambil jam yang sudah diganti baterainya.
Kulo[1] ganti baterainya.” Kata sang ibu.
“Jadi berapa harganya?” tanyaku. Aku bertanya demikian takutnya harga jam malah bertambah setelah ganti baterai.
“Seratus tiga puluh ribu, mas! Tetap.” Jawab sang ibu.
Aku tambah kagum mendengar jawaban ibu tadi. Aku pikir harganya lebih mahal setelah ganti baterai. Namun ibu tadi menjualnya dengan harga tetap. Segera kuserahkan uangku dan kuambil jam beserta uang kembalian kemudian aku pulang ke kampus.
Kejujuran saat ini merupakan barang mahal. Pedagang-pedagang sekarang mulai nakal, mencurangi timbangan atau menjual barang yang berkualitas jelek dengan harga normal agar mendapat keuntungan. Anak sekolah menyontek selama ujian sudah lumrah bahkan gurunya ikut membantu si murid menyontek. Para penguasa berdusta atas nama rakyat untuk melanggengkan kekuasaan dan kekayaannya. Orang-orang jujur pun mulai dikalahkan para pendusta karena kedustaan yang dilakukan membawa keuntungan. “Dunia sekarang dunia untung-rugi” begitulah kata KH. Hasan Abdullah Sahal, pimpinan Gontor.
Hal yang aku kagumi dari ibu tukang jam tadi adalah kejujurannya. Bagaimana dia akan memperbaiki jam itu kalau dia ingin untung? Kalau ingin untung, dia pasti menyerahkan jam begitu saja tanpa mengganti baterainya. Mungkin dengan harapan agar aku kembali ke sana dan mengganti baterainya dan dia bakal mendapat untung. Bagaimana pula ia menjualnya dengan harga semula padahal baterainya sudah diganti? Kalau ingin untung, harganya akan dinaikkan dengan ditambah uang baterai. Namun, ibu itu tidak melakukan semuanya tadi demi keuntungan semata. Selama perjalanan pulang, aku memandangi jam baruku dengan penuh kagum, kagum dengan jam baruku dan penjualnya yang jujur. Alhamdulillah, ternyata masih ada orng-orng jujur di tengah-tengah dunia yang mengambil keuntungan dengan berbohong! Setiap akan memakai jam itu, aku berdoa agar toko penjual jam itu selalu laris dan berkah.


[1] Bahasa Jawa halus berarti saya

Posting Komentar

0 Komentar