Salah satu kegiatan rutin saya saat ini adalah mengikuti diskusi buku yang diselenggarakan oleh salah satu klub di sebuah cafe di Ponorogo. Diskusi buku tersebut diadakan setiap hari Ahad tiap akhir bulan. Rutinan tersebut sudah saya ikuti sejak bulan Agustus 2025. Diskusi tersebut biasanya mengangkat suatu tema besar, dan masing-masing peserta mengulas bacaan yang relate dengan tema tersebut lalu mendiskusikannya dengan peserta lain. Namun, saya sudah absen menghadiri acara tersebut selama 2 bulan karena jadwal dengan keluarga yang bertabrakan. Setelah alpa selama 2 bulan, akhirnya saya mengikuti lagi di bulan Desember ini. Temanya waktu itu tentang buku-buku terjemahan dari Korea. Saya ke sana karena pengen hadir saja, bukan karena saya mengikuti segala hal berbau Korea seperti K-Pop atau drama Korea.
Memang dasarnya bukan K-Poper, saya tidak terlalu mudeng dengan diskusi tersebut, apalagi kalau menyangkut artis atau drama Korea yang disebutkan dalam forum tersebut. Namun, ada beberapa poin menarik dalam diskusi kemarin. Budaya Korea yang didiskusikan tidak hanya sebatas K-Pop atau K-Drama, ia juga meliputi berbagai isu-isu santer yang mungkin relate dengan kehidupan kita dewasa ini, seperti self healing, mental health, kultur patriarki di sana dan sebagainya. Itu terlihat dari buku-buku diulas oleh peserta yang kebanyakan membahas isu-isu tersebut. Di samping itu, diskusi kemarin justru banyak mengarah ke pembahasan seputar problem manusia dewasa ini. Poin lainnya adalah beberapa peserta membaca buku tersebut karena dipengaruhi oleh idola atau bias mereka. Poin terakhir inilah yang akan saya coba ulas dalam tulisan ini.
Budaya membaca karena artis, influencer atau figur publik lain unik buat saya. Ia hadir karena rasa ingin mengikuti kehidupan idolanya. Buat saya, ini jauh lebih baik daripada sekadar mengikuti urusan pribadi artis yang nirfaedah seperti flexing harta atau isu perceraian artis. Kalau flexing bikin kita ikut-ikutan pengen membeli, mengikuti isu cerai malah bikin menggosip nambah dosa, mengikuti bacaan tokoh publik bisa menggerakkan minat baca kita.
Saya melihat itu dari diskusi kemarin. Beberapa (atau mungkin mayoritas) peserta mengungkapkan kalau mereka membaca bku karena ikutan bias-nya. Contohnya adalah novel Almond karya Sohn Won-pyung yang dibaca oleh beberapa member BTS. Artis Indonesia pun ada juga yang merekomendasikan buku bacaan di media sosial, seperti DIan Sastro. Saya pun beberapa kali membaca buku karena ngefans. Saya sudah menamatkan "Yang Katanya Cemara" karya Vania Winola yang saya kagumi karena satu almamater di Fisip Unair. Ada juga buku "Hidup Adalah Mencari Jalan Pulang", novel karya Rumah Untuk Hati, akun self-healing milik teman sekelas saya di S2 (entah ini masuknya ngefans atau gimana).
Membaca buku karena ngefans bukan sekadar membaca, ia merupakan penegasan. Penegasan atas statusnya sebagai fans. Ia menjadi validasi simbolis bahwa dengan membaca bacaan yang sama, ia termasuk bagian dari kehidupan sang idola.
Membaca bukan hanya didorong dari motivasi pribadi, namun juga terpengaruh dari produk budaya yang disebarkan oleh tokoh publik di media sosial. Hal tersebut sejalan dengan modal simbolis-nya Pierre Bordieu yang menyatakan bahwa selera tidak mesti dari dorongan pribadi, namun juga pengaruh dari modal simbolis dan sosial. Seseorang figur publik mempunyai modal budaya yang membentuk selera fansnya. Fans pun berupaya memperoleh pengakuan simbolis melalui bacaan yang dibentuk dari modal budaya figur tersebut. Ia juga membentuk distingsi yang membedakan antara tokoh, fans, dan orang lainnya. Itu dapat ditunjukkan dari literasi serta intelektualitas mereka. Seorang figur yang mengunggah dan merekomendasikan bacaannya menunjukkan tingkat intelektualitasnya sehingga layak diidolakan. Fans yang tertarik sehingga ikut membaca juga menunjukkan dirinya sebagai fans si anu. Gaya ini semakin ditunjukkan ketika seorang fans mengulas dengan fasih serta menyintesiskan bacaan dengan idolanya. Saya menjadi semakin ngefans dengan Andrea Hirata setelah menamatkan tetralogi Laskar Pelangi-nya, atau seseorang akan ngefans dengan Cak Nun setelah membaca Markesot Bertutur-nya. Kemudian, ia akan menjadi identitas sosial sebagai fans tatkala mampu mendalami makna dalam buku tersebut.
Selain itu, membaca karena ngefans juga menjadi bentuk imitasi. Manusia akan meniru gaya orang penting sebagaimana teori Tarde. Media sosial mempercepat penyebaran gaya hidup ini. Dalam budaya membaca, kita membaca bisa jadi karena mengikuti bacaan dari figur yang kita idolakan. Terlebih, dengan adanya media sosial serta cabang-cabang yang terkait dengan budaya membaca seperti bookstagram dan booktokers, kita akan semakin mudah meniru seseorang dalam membaca suatu buku.
Tidak hanya modal budaya dan imitasi, membaca buku karena ngefans dengan seseorang juga berkaitan dengan budaya konsumerisme. Konsumerisme menurut Jean Baudrillard tidak hanya memandang konsumsi dari fungsi komoditas, namun juga dari tanda dan makna simbolis yang melekat di dalamnya. Dalam konteks buku, membeli buku bukan cuma karena membutuhkan isi dalam teks tapi menandakan arti simbolis dari buku, yakni karena melekat dengan figur yang membacanya. Lagi-lagi, membaca buku karena ngefans menunjukkan si pembaca dekat secara simbolis, bagian dari tokoh idolanya, dan intelektualitasnya. Konsumerisme kerap mendapatkan kritik atas perilaku konsumsi manusia yang melampaui kebutuhannya. Begitu pula dalam buku, membaca buku dekat dengan konsumerisme apabila mendapatkan buku tanpa memahami maksudnya. Ia menjadi percuma karena hanya membeli buku karena sekadar ikutan idolanya. Atau, kondisi yang lebih baik apabila diikuti membaca, tapi hanya sekadar memenuhi beranda media sosial, lalu mengatribusikan perilakunya kepada junjungannya tanpa ada motivasi pribadi yang melebihi asal ngefans.
Apakah ini baik untuk budaya membaca?
Buat pribadi, membaca buku karena ngefans berdampak positif. Daripada mengikuti hal-hal receh nirfaedah, lebih baik kita mengikuti seseorang karena memiliki minat baca. Apalagi, di negara kita yang masih rendah literasinya berdasarkan skor PISA, fenomena ini jadi motivasi bagi masyarakat luas untuk membaca. Semakin banyak figur yang merekomendasikan buku, budaya literasi akan semakin tersebar luas. Seorang Davina Karamoy saja bisa bikin orang-orang sekarang ikut-ikutan main padel, masak figur lain tidak ada yang menarik fansnya untuk membaca?!
Membaca karena ngefans juga baik bagi penulis buku. Di tengah isu kecilnya royalti bagi penulis buku, rekomendasi dari figur seperti sebuah endorse atas karya si penulis. Jika fans kemudian tertarik membacanya, bukan tak mungkin buku si penulis akan habis dibeli oleh para fans. Buku tersebut bisa jadi best seller, atau malah masterpiece. Ini juga motivasi bagi penulis untuk menelurkan karya-karya lain yang lebih baik dari sebelumnya.
Namun, itu semua tidaklah cukup bagi dunia membaca. Budaya membaca tidak hanya sekadar membaca karena ngefans tanpa pemaknaan. Membaca tidak cuma sekedar membaca teks-teks tersurat, tapi juga memaknai apa yang tersirat. Jika membaca buku hanya karena ngefans, ia mungkin hanya berhenti di foto atau unggahan di media sosial tanpa refleksi diri. Padahal, refleksi diri didapatkan dari memahami apa yang tersirat dari karya tulis. Untuk memahami makna tersirat, diperlukan banyak pengalaman pribadi pembaca seperti membaca karya tulis lain, merelasikan dengan pengalaman pribadi dan lingkungan, atau merenungi diri apakah ideal dengan apa yang dibaca. Jika hanya menjadi bacaan sebab dukungan, ia tidak mampu menjadi bahan refleksi dan muhasabah diri.
Maka, budaya membaca karena ngefans seyogyanya dibarengi dengan meningkatnya minat baca dan budaya literasi. Seperti yang dituangkan sebelumnya, diperlukan pemaknaan dan refleksi diri dalam membaca suatu teks. Tahapan mencapai makna tersebut dapat dilakukan dengan menggali konteks lain dalam bacaan melalui teks lain dari buku dan artikel lain. Membaca ulasan dan review buku bacaan di internet juga upaya menemukan makna, karena dapat menggali perspektif dari pembaca lain. Bisa juga dengan merelasikannya dengan situasi diri, lingkungan sekitar, atau lingkungan digital dari apa yang ramai dibicarakan di media sosial. Di samping itu, refleksi diri atas bacaan bisa dilakukan dengan menuliskan apa yang didapat dari bacaan. Tuliskan saja hasil bacaanmu di diary atau status facebook, caption instagram, atau blogmu! Atau, cobalah ikuti diskusi-diskusi buku secara online atau offline di cafe, perpustakaan, atau taman-taman. Dari proses-proses tersebut, kita dapat memaknai dan menghayati setiap arti kata di dalam bacaan kita. Jalan-jalan tersebut bisa meningkatkan budaya kita, yang dimulai dari ngefans kepada influencer atau penulis sebagai gerbang pembuka.


0 Komentar